Jakarta, Newsindonesia - Kathmandu, Nepal diguncang gelombang protes besar yang dipelopori generasi muda atau Gen Z. Aksi yang bermula dari penolakan terhadap larangan pemerintah atas sejumlah platform media sosial itu berkembang menjadi gerakan luas yang menyoroti korupsi, stagnasi ekonomi, hingga lemahnya respons pemerintah terhadap kebutuhan rakyat.
Kerusuhan pecah di berbagai wilayah. Gedung pemerintah, kantor partai politik, hingga fasilitas publik menjadi sasaran amuk massa. Aparat keamanan berulang kali bentrok dengan demonstran.
Laporan resmi menyebut korban jiwa mendekati 30 orang, sementara ratusan lainnya mengalami luka-luka. Rumah sakit di Kathmandu dan kota besar lainnya penuh dengan korban bentrokan.
Situasi semakin genting memaksa pemerintah mencabut larangan media sosial, termasuk Facebook, X, dan YouTube, yang sebelumnya diblokir.
Namun, langkah itu tak cukup meredakan kemarahan massa. Perdana Menteri K. P. Sharma Oli akhirnya memilih mengundurkan diri dari jabatannya pada 10 September, di tengah desakan agar pemerintahan segera diganti dengan kepemimpinan transisi.
Militer Nepal kini dikerahkan untuk memulihkan keamanan. Tentara dan kendaraan lapis baja terlihat berpatroli di ibu kota Kathmandu.
Beberapa wilayah bahkan memberlakukan jam malam untuk menekan eskalasi kekerasan.
Di tengah kekacauan politik, sejumlah demonstran mendorong nama mantan Ketua Mahkamah Agung, Sushila Karki, sebagai figur pemimpin interim.
Usulan ini dinilai bisa membuka jalan bagi dialog nasional, meski masih menuai perdebatan.
Gelombang protes ini tidak hanya menyingkap keresahan terhadap pembatasan kebebasan berekspresi, tetapi juga menjadi simbol kegelisahan generasi muda Nepal yang merasa terpinggirkan dalam pembangunan negara.
Dengan masa depan politik yang belum jelas, Nepal kini berada di persimpangan jalan: antara menuju perubahan besar atau terjerumus dalam ketidakstabilan berkepanjangan. (Dik_ar)
Kredit foto: AP
