Iklan

Perjuangan Atap yang Runtuh: Kisah Sekolah Harapan Baru

Wednesday, November 19, 2025, 10:49 AM WIB Last Updated 2025-11-19T14:54:10Z



Oleh: Zaituni*

Di sebuah desa kecil di tepi Pantai daerah pesisir bernama Desa Sukamaju, berdirilah sebuah sekolah dasar yang sudah berusia puluhan tahun. Namanya SD Negeri Harapan Baru. Sekolah itu seperti nenek tua yang setia, menyimpan kenangan ribuan anak-anak yang belajar di bawah atapnya yang kini mulai mengelupas. Tapi, musim hujan yang deras tahun lalu membawa malapetaka. Atap kelas-kelas mulai runtuh, dinding retak-retak seperti urat nadi yang lelah, dan lantai basah kuyup oleh tetesan air yang tak henti. Setiap kali hujan turun, suara gemuruh atap yang bergoyang membuat hati saya, Pak Andi, kepala sekolah yang baru dua tahun menjabat, berdegup kencang. Saya membayangkan anak-anak berlarian ketakutan, dan rasa bersalah menyelimuti dada seperti kabut pagi yang dingin—kenapa saya tak bisa melindungi mereka? Anak-anak terpaksa belajar di musholla dan ruang kelas yang dibagi 2, sambil memegang payung ala kadarnya. Guru-guru, termasuk Bu Siti yang sudah mengajar selama 20 tahun, hanya bisa menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. "Kapan ini selesai, Pak? Anak-anak kita butuh tempat belajar yang aman, bukan tempat yang bikin mereka trauma," gumamnya, suaranya pecah, membuat air mata saya ikut menetes diam-diam.

Beban itu seperti gunung di pundak saya. Saya bukan pahlawan, hanya seorang ayah dua anak yang tahu betul rasa sakit melihat masa depan desa terancam. Malam-malam saya terjaga, memeluk foto keluarga sambil menatap langit-langit rumah yang bocor, bertanya pada Tuhan: "Kenapa harus saya? Apa saya cukup kuat?" Rasa takut itu menggerogoti—takut gagal, takut anak-anak kehilangan mimpi, takut desa ini ditinggalkan seperti sekolah-sekolah lain yang terlupakan. Awalnya, saya ragu, bahkan ingin menyerah. "Siapa saya ini? Hanya kepsek kecil di desa terpencil," pikir saya, sambil menahan isak di balik pintu kamar mandi. Tapi, semuanya berubah saat saya bertemu dengan Pak Hadi, Wakil Ketua DPRD kabupaten. Beliau datang ke desa untuk kunjungan kerja, dan saat melihat kondisi sekolah, matanya melebar, wajahnya pucat. "Ini darurat, Pak Andi! Anak-anak ini haknya belajar, bukan bertahan hidup dari runtuhan," katanya, suaranya bergetar penuh empati. Kata-katanya seperti pelukan hangat di tengah badai. Beliau menawarkan dukungan: "Saya bantu perjuangkan. Mulai dari sini, kita ke Bupati langsung." Saat itu, hati saya yang hancur mulai menyala—campuran antara harapan rapuh dan ketakutan yang masih mengintai.

Dengan hati berdegup kencang seperti genderang perang, saya memberanikan diri. Pagi itu, hujan masih gerimis, tapi semangat kami membara, meski perut saya mual karena gugup. Bersama Pak Hadi, kami menyusuri jalan berlumpur menuju kantor Bupati. Saya membawa foto-foto sekolah yang hancur—gambar anak-anak yang tersenyum di kelas basah, yang membuat dada saya sesak setiap kali melihatnya—laporan kerusakan dari guru-guru, dan data anak-anak yang terdampak: sebanyak 65 jiwa kecil yang mimpi mereka tergantung di atap reyot itu. Di hadapan Bupati, suara saya gemetar saat menyampaikan: "Bapak, sekolah kami sudah tak layak. Kami butuh bantuan rehab, minimal untuk atap dan dinding. Anak-anak kami tak boleh belajar di bawah ancaman roboh." Air mata hampir jatuh saat saya ceritakan kisah perjuangan mencari bantuan rehab sekolah,"Baik, saya dukung. Tapi, urus dulu legalitas lahan. Tanpa surat kepemilikan yang jelas, bantuan rehab sulit turun. Ajukan ke Dinas Pendidikan, saya akan follow up." Kami pulang dengan setengah hati senang—senang karena ada pintu terbuka, tapi frustrasi karena tugas baru terasa seperti beban tambahan. Malam itu, saya berlutut di masjid, berdoa dengan tangan gemetar: "Ya Tuhan, beri saya kekuatan untuk tak menyerah." 
Menindaklanjuti arahan Bupati, saya menghadap Kepala Dinas Perhubungan—karena lahan sekolah merupakan milik pelabuhan di bawah dinas perhubungan ."Pak, ini dokumen awal. Tolong bantu percepat," pinta saya, suara hampir putus asa. jawaban : "Nanti kami proses, Pak. Sabar ya." Minggu berganti bulan, tapi tak ada kabar pasti. Frustrasi menumpuk seperti air bah di dada—saya marah pada diri sendiri, hujan yang tak berhenti seolah mengejek. Anak-anak semakin sering bolos karena hujan, dan orang tua mulai protes dengan nada menyalahkan. "Kapan sekolah kami diperbaiki, Pak Kepsek?! Anak saya takut sekolah sekarang!" Kata-kata itu seperti pisau, menusuk luka yang sudah dalam. Saya pulang malam-malam, menangis sendirian di teras rumah, merasa seperti pecundang yang gagal melindungi desa. Ada saat dimana saya hampir menyerah, ingin mengundurkan diri, tapi wajah Rina yang kini jarang tersenyum menghantui mimpi saya.

Di saat itulah, dorongan kuat dari Pak Hadi datang lagi, seperti cahaya di kegelapan. "Jangan menyerah, Andi! Kita buat statement yang lebih keras. Saya dampingi kamu. Kita ajukan surat pengajuan legalitas lahan sekarang juga," katanya lewat telepon, suaranya tegas tapi penuh kehangatan, seperti ayah yang tak mau anaknya jatuh. Beliau tak hanya bicara, tapi bertindak. Kami susun surat resmi: permohonan verifikasi kepemilikan lahan sekolah sehingga diterbitkan surat Hak Guna Pakai "Ini bukti kami serius. Bupati sudah arahkan, sekarang giliran kalian gerak," katanya tangannya menepuk bahu saya erat, menyuntikkan keberanian yang sudah pudar.tiba-tiba HP ku berdering,"Kami diminta untuk segera berangkat ke Jakarta. untuk hadir dalam pertemuan koordinasi awal dan penandatanganan komitmen untuk mendapatkan Bantuan Revitalisasi sekolah dari dinas pendidikan.
Proses itu tak mudah. Ada bolak-balik ke kantor di tengah panas terik yang membuat keringat bercampur air mata frustrasi, Tapi, setiap kali lelah, saya ingat wajah anak-anak yang tersenyum di foto kelas darurat itu—senyum polos yang membuat hati saya luluh. Dan Pak Hadi, seperti kakak tua, selalu menelepon: "Tetap semangat, Andi. Ini perjuangan untuk generasi kita. Kamu tak sendirian." Kata-katanya seperti obat, menyembuhkan luka emosi yang menganga. Akhirnya, setelah tiga bulan penuh keringat, doa, dan tangis diam-diam, surat legalitas lahan keluar. Saat membacanya, air mata bahagia mengalir deras—rasa lega yang tak terlukiskan, seperti beban gunung itu terangkat seketika, saat itulah sekolah mendapatkan bantuan Rehab Program dari Bapak Presiden (Revitalisasi)

Hari itu tiba seperti mimpi yang lama ditunggu.truk-truk material mulai berdatangan ke SD Harapan Baru. Pekerja konstruksi memasang pagar pengaman, dan atap baru mulai dipasang. Anak-anak berlarian riang, tawa mereka seperti musik yang menyembuhkan luka lama. Bu Siti menangis haru saat mendapat bantuan untuk rehab total enam ruang kelas. "Terima kasih, Pak Andi. Dan Pak Hadi. Kalian pahlawan kami," katanya, memeluk saya erat, dan kami berdua menangis bahagia di depan anak-anak yang tak mengerti betapa dalam perjuangan itu.

Sekarang, rehab sedang berjalan lancar. Atap baru yang kokoh sedang dibangun, dinding diperkuat, dan lantai diganti. Setiap pagi, saya berdiri di halaman sekolah, menatap progres itu dengan hati penuh syukur—dari ketakutan yang mencekik hingga kegembiraan yang meluap. Saya belajar banyak dari perjuangan ini: keberanian dimulai dari satu langkah kecil di tengah air mata, didukung oleh tangan yang tepuk bahu saat kita hampir jatuh. Dan bagi desa Sukamaju, SD Harapan Baru bukan lagi sekadar bangunan—ia adalah simbol bahwa perjuangan, meski penuh luka emosi, tak pernah sia-sia. Suatu hari nanti, anak-anak ini akan tumbuh, dan mereka akan ceritakan kisah atap yang runtuh, tapi bangkit lebih kuat. Karena, seperti kata Pak Hadi, "Pendidikan adalah fondasi. Kalau fondasinya goyah, kita yang perbaiki—bersama, dengan hati yang tak kenal menyerah."




*Guru SD Negeri 7 Pesisir 
Kec. Besuki Kab. Situbondo
Komentar

Tampilkan