Iklan

KPK Ungkap Kesalahan Ira Puspadewi di Kasus Korupsi ASDP

Thursday, November 27, 2025, 8:50 AM WIB Last Updated 2025-11-28T02:21:16Z

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersikeras menemukan tindak pidana dalam proses pengambilalihan PT Jembatan Nusantara (JN) oleh ASDP Indonesia Ferry. Penyidikan yang dilakukan oleh tim telah mengungkap tindakan ilegal dari mantan Direktur Utama ASDPIra Puspadewidan dua mantan pejabat lainnya.

Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyebutkan terdapat paling sedikit 12 kesalahan yang dilakukan Ira Puspadewi dan merupakan tindakan melanggar hukum. Pertama, mengubah dasar perusahaan PT ASDP dalam memenuhi syarat kerja sama usaha (KSU) dengan PT JN, yang kemudian diubah kembali setelah proses berlangsung. “Mengganti Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) dari rencana pembangunan kapal menjadi akuisisi perusahaan pelayaran,” ujar Budi dalam pernyataan resminya, Kamis, 27 November 2025.

Kemudian, kata Budi, Ira tidak membuat rencanafeasibility studyyang cukup untuk proses pengambilan alih, sambil mengabaikan penilaian risiko, meskipun tindakan pengambilan alih memiliki risiko yang tinggi. "Menetapkan nilai pengambilan alih terlebih dahulu dengan melakukan konsultasi bersama pemilik/penerima manfaat (beneficial owner) PT JN dan meminta konsultan untuk menyesuaikan hasil penilaian," kata Budi.

Berikut adalah beberapa variasi dari teks tersebut: 1. Selanjutnya, memberikan informasi yang tidak benar kepada konsultan, termasuk status kapal yang sebenarnya sedang tidak beroperasi; tidak mempertimbangkan utang PT JN, kondisi kapal, biaya perbaikan, dan utang pajak. Tetap memaksakan pembelian meskipun secara finansial PT ASDP tidak mampu, hingga harus meminjam dari bank, "Mengabaikan rekomendasi BPKP mengenai penilaian kapal yang terlalu tinggi," ujar Budi. 2. Berikutnya, menyampaikan data yang salah kepada konsultan, seperti status kapal yang sebenarnya tidak berjalan; tidak memperhitungkan utang PT JN, keadaan kapal, biaya perbaikan, dan utang pajak. Terus memaksa proses akuisisi meskipun PT ASDP secara finansial tidak sanggup, sehingga harus berhukum ke bank, "Mengabaikan saran BPKP tentang penilaian kapal yang terlalu tinggi," kata Budi. 3. Selanjutnya, memberikan data yang tidak akurat kepada konsultan, termasuk informasi mengenai kapal yang sebenarnya tidak beroperasi; tidak mempertimbangkan utang PT JN, kondisi kapal, biaya perbaikan, dan utang pajak. Memaksa akuisisi meskipun PT ASDP tidak mampu secara finansial, hingga harus meminjam dari bank, "Mengabaikan rekomendasi BPKP mengenai penilaian kapal yang terlalu tinggi," ucap Budi. 4. Berikutnya, memberikan data yang tidak benar kepada konsultan, termasuk status kapal yang sebenarnya tidak dalam kondisi operasional; tidak mempertimbangkan utang PT JN, kondisi kapal, biaya perbaikan, dan utang pajak. Tetap memaksa pengambilalihan meskipun PT ASDP tidak memiliki kemampuan keuangan, hingga harus berhukum pada bank, "Mengabaikan saran BPKP tentang penilaian kapal yang terlalu tinggi," jelas Budi. 5. Selanjutnya, memberikan informasi yang tidak akurat kepada konsultan, termasuk status kapal yang sebenarnya tidak beroperasi; tidak memperhatikan utang PT JN, kondisi kapal, biaya perbaikan, dan utang pajak. Tetap memaksakan akuisisi meskipun PT ASDP tidak mampu secara finansial, hingga harus meminjam dari bank, "Mengabaikan rekomendasi BPKP terkait penilaian kapal yang terlalu tinggi," kata Budi.

Ira juga dianggap telah membeli kapal yang tidak layak beroperasi dan tidak sesuai dengan standar Organisasi Maritim Internasional (IMO), serta beberapa kapal tidak memiliki asuransi, dan izinnya belum lengkap. "Tidak mempertimbangkan kondisi bisnis penyeberangan yang sudah jenuh, karena lebih banyak"supply daripada demand,” kata Budi.

Terakhir, memengaruhi konsultan agar memberikan pernyataan yang mendukung skenario tertentu.

Dalam perkara ini, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan hukuman kepada Ira Puspadewi berupa 4,6 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta. Sementara itu, Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono masing-masing mendapat hukuman 4 tahun penjara serta denda Rp 250 juta. Putusan tersebut ditetapkan pada hari Kamis, 20 November 2025.

Namun, Presiden Prabowo Subianto memanfaatkan hak istimewanya untuk memberikan pemulihan kepada tiga terpidana kasus korupsi ASDP, yaitu mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry, Ira Puspadewi, mantan Direktur Komersial dan Pelayanan Muhammad Yusuf Hadi, serta mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan Harry Muhammad Adhi Caksono. Pemulihan tersebut merupakan usulan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyampaikan bahwa lembaganya telah menerima berbagai keluhan dan aspirasi terkait isu yang terjadi di ASDP pada Juli 2024. Dasco menjelaskan, setelah mendapatkan aspirasi dari masyarakat, pimpinan DPR kemudian meminta Komisi III yang menangani hukum untuk meninjau kasus tersebut sejak Juli 2024. "Hasil penelitian hukum tersebut selanjutnya kami sampaikan kepada pemerintah," ujar Dasco di Istana Kepresidenan, Selasa, 25 November 2025.

Dalam pidato pembelaannya, Ira membantah tudingan korupsi. Ia menyatakan bahwa apa yang dibeli oleh perusahaannya pada masa itu bukanlah kapal, melainkan saham dari sebuah perusahaan yang sedang beroperasi. Ira merasa KPK tidak pernah menemukan bukti suap yang menghubungkannya dengan dua rekan kerjanya.

Ira menyatakan bahwa proses akuisisi yang dilakukan oleh perusahaan pada saat itu telah mematuhi prosedur sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurut Ira, hal ini tercantum dalam laporan audit investigasi yang dilakukan oleh BPK, yang diterbitkan pada 14 Maret 2023.

"Secara keseluruhan, kegiatan investasi akuisisi ini telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku dalam semua aspek penting, dan hal ini juga dikonfirmasi dalam persidangan pada 21 Oktober oleh saksi ahli dari BPK," katanya, 6 November.

Sosok mantan pejabat ASDP juga ikut meragukan perhitungan kerugian negara dalam kasus ini. Menurut Ira, laporan kerugian keuangan negara tidak dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

"Namun, (laporan kerugian keuangan negara) merupakan hasil dari KPK sendiri dan baru selesai pada akhir Mei 2025 atau tiga bulan setelah penahanan saya. Lalu apa dasar penahanan saya selama ini?," katanya.

Eka Yudha Saputra berperan dalam penyusunan artikel ini.
Komentar

Tampilkan