
berita indonesia- Dina adalah seorang mualaf yang menikah secara sah dengan Rudi, seorang pria non-Muslim, di luar negeri.
Kalimat di atas sebenarnya merupakan bagian dari sebuah soal. Dan artikel ini akan menampilkan seperti apa bentuk lengkap soalnya serta referensi jawabannya dengan penjelasan yang disusun lebih runtut agar konteksnya menjadi lebih mudah dipahami.
Penjelasan yang diberikan tetap bersifat contoh sehingga tidak dimaksudkan sebagai jawaban pasti atau satu-satunya cara dalam menyelesaikan soal.
Seluruh isi yang tercantum di sini hanya berfungsi sebagai rujukan awal yang dapat dikembangkan lagi sesuai kebutuhan.
Selain itu, tidak diperbolehkan untuk menyalin atau menjiplak jawaban secara persis, sehingga tetap diperlukan pengolahan kembali agar hasil akhirnya tetap orisinal.
Soal Lengkap
Dina adalah seorang mualaf yang menikah secara sah dengan Rudi, seorang pria non-Muslim, di luar negeri.
Setelah kembali ke Indonesia, mereka sepakat bercerai karena perbedaan prinsip agama yang semakin tajam.
Perceraian dilakukan melalui jalur Pengadilan Negeri karena Rudi tidak ingin menyelesaikan perkara ke Pengadilan Agama.
Setelah secara resmi bercerai di Pengadilan Negeri, Rudi mengajukan permohonan hak perwalian (wali nikah) atas putri mereka yang kini sudah dewasa dan akan menikah. Ia mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri.
Namun, calon suami dari anak tersebut yang beragama Islam tidak menyetujui hal itu, karena menurutnya, wali harus seorang Muslim.
Ia kemudian mengajukan keberatan dan meminta agar hak pengampuan ditentukan melalui Pengadilan Agama.
Apakah Pengadilan Agama berwenang menangani sengketa pengasuhan anak dalam konteks anak dari perkawinan beda agama?
Jelaskan berdasarkan dasar hukum! Sebutkan dan jelaskan asas-asas hukum acara peradilan agama yang dapat digunakan untuk menyelesaikan perkara ini secara adil dan efisien.
Referensi Jawaban
Ya, Pengadilan Agama berwenang menangani sengketa perwalian dalam konteks ini, meskipun anak tersebut lahir dari perkawinan beda agama, karena perwalian terkait pernikahan anak perempuan Muslim merupakan ranah hukum Islam.
Wewenang ini diatur dalam Pasal 49 huruf a UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa perkara di bidang pernikahan bagi orang yang beragama Islam.
Wali nikah merupakan bagian dari syarat sahnya perkawinan menurut syariat, sehingga ketika calon mempelai perempuan beragama Islam, penentuan wali tidak dapat dilakukan oleh Pengadilan Negeri.
Selanjutnya, KHI Pasal 20–23 menegaskan bahwa wali nikah harus seorang laki-laki Muslim dan tidak sah jika wali adalah non-Muslim. Karena itu, permohonan Rudi yang non-Muslim untuk menjadi wali nikah tidak memenuhi ketentuan hukum Islam, sehingga keberatan calon suami dapat diajukan ke Pengadilan Agama untuk menentukan wali yang berhak, biasanya wali hakim.
Dalam menyelesaikan perkara ini, Pengadilan Agama menerapkan sejumlah asas penting dalam hukum acara. Asas personalitas keislaman memastikan bahwa setiap sengketa yang melibatkan norma hukum Islam diputus oleh peradilan agama, terlepas dari apa pun latar belakang perkawinan orang tuanya.
Asas lex specialis derogat legi generali menyatakan bahwa aturan khusus (Undang-Undang Peradilan Agama dan KHI) mengesampingkan aturan umum (hukum perdata umum) ketika subjeknya beragama Islam. Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan memberikan jaminan bahwa penyelesaian perkara dilakukan tanpa prosedur yang rumit sehingga tidak menghambat proses pernikahan anak tersebut.
Selain itu, prinsip keadilan dan manfaat menjadi pedoman agar putusan tidak hanya sesuai hukum, tetapi juga memberikan perlindungan terbaik bagi calon mempelai perempuan.
Dengan dasar itu, Pengadilan Agama memiliki wewenang penuh untuk menentukan siapa wali yang sah dan menyelesaikan sengketa perwalian secara adil serta sesuai ketentuan hukum Islam.***