
Menunggu sering kali terasa seperti perjalanan panjang tanpa peta. Waktu melambat, detak jam terdengar lebih keras daripada biasanya, dan seseorang bisa merasa sendirian meski berada di tengah keramaian. Dalam setiap detik menunggu, kita sering kali mencari-cari cara untuk membuat waktu berjalan lebih cepat. Beberapa orang memilih menatap layar gawai, mengusir jenuh dengan guliran tanpa akhir. Sebagian membuka buku yang entah sudah berapa lama tidak tersentuh. Ada pula yang memilih berbicara tanpa arah, sekadar agar suasana tidak terlalu sunyi. Namun, bagi sebagian lainnya, menunggu justru mengantarkan mereka pada ruang kontemplasi: ruang untuk diam, merenung, dan sesekali, tanpa disadari, mengenang wajah seseorang entah ayah, entah anak yang pernah, atau masih, mereka tunggu.
Saya juga menjalani masa menunggu itu saat mengantar anak saya berlatih taekwondo setiap malam. Latihan dimulai pukul tujuh dan berakhir sekitar pukul setengah sepuluh, kadang-kadang bahkan lebih larut. Dua hingga tiga jam bukanlah waktu yang singkat untuk sekadar duduk di bangku depan dojang, di bawah lampu kuning yang redup dan terkadang berkedip perlahan, seolah ikut merasakan kelelahan bersama para orang tua yang menunggu. Jika seseorang hanya melihat dari kejauhan, mungkin yang terlihat hanyalah ayah-ayah biasa yang mengantar anaknya. Tetapi jika diperhatikan lebih dekat, di sanalah tersimpan kisah cinta yang paling sunyi yang pernah ada.
Di awal-awal saya mengantar anak latihan, saya masih membawa buku. Meskipun lampu terlalu redup untuk membaca dengan nyaman, saya tetap menyimpan satu buku di tas, seolah ingin memberi harapan pada diri sendiri bahwa waktu menunggu ini akan berlangsung produktif. Namun kenyataannya berbeda. Cahaya yang redup membuat saya hanya membuka halaman pertama, lalu menutupnya kembali. Saya tertarik untuk bertanya kepada para senior tentang teknik, tahapan sabuk, disiplin latihan, dan banyak hal lainnya, namun saya tidak berani mengganggu mereka. Selain karena rasa malu, saya juga merasa bahwa waktu latihan anak-anak ini terlalu berharga untuk dihentikan hanya demi memuaskan rasa ingin tahu seorang ayah baru seperti saya.
Hari-hari berlalu. Minggu menjadi bulan. Dan lambat laun, rasa bosan mulai tumbuh seperti rumput liar. Ketidaktahuan saya tentang taekwondo membuat rasa ingin tahu justru berubah menjadi rasa terasing. Saya ingin memahami dunia anak saya, tetapi saya tidak memiliki siapa pun untuk bertanya. Setiap kali saya membuka grup chat WhatsApp dojang, saya membaca tanpa benar-benar memahami. Ada istilah yang asing, instruksi yang samar, dan jadwal yang kadang membuat saya bertanya dalam hati apakah semua orang selain saya sudah begitu berpengalaman.
Pada suatu hari, semesta seakan menghadirkan seseorang untuk menemani waktu menunggu saya. Seorang pria tua, seorang ASN dari sebuah sekolah menengah atas negeri di Kota Tangerang, duduk di sebelah saya. Percakapan itu dimulai dengan sapaan sederhana, mungkin hanya komentar ringan tentang cuaca atau panjangnya antrean latihan malam itu. Namun siapa sangka bahwa percakapan kecil itulah yang membuka pintu pertemanan baru bagi saya. Kami berbicara tentang pekerjaan, tentang anak-anak, tentang pendidikan, bahkan tentang kegelisahan sederhana yang sering muncul di antara para ayah yang jarang punya waktu untuk saling berkomunikasi. Namun seperti halnya obrolan pada umumnya, lama-kelamaan kami kehabisan topik. Lalu kami kembali terdiam, menatap anak-anak kami yang sedang berlatih di kejauhan.
Dari perkenalan itu, saya kemudian dikenalkan dengan Tuan Ali, seorang pengusaha warung yang sering hanya mengantar anaknya lalu kembali bekerja. Terkadang ia ikut menunggu, terkadang ia harus pulang lebih dulu. Ada malam-malam ketika kursi di samping saya kosong, dan saya kembali sendirian, berusaha mencari sudut yang lampunya lebih terang agar buku saya bisa dibaca meski hanya beberapa paragraf.
Namun, malam itu, segalanya berubah. Untuk pertama kalinya, saya bertemu Pak Sudiyono. Sosoknya sederhana, wajahnya ramah, dan dari caranya berbicara, saya bisa merasakan ketulusan yang alami. Kami berdiri bersebelahan, memperhatikan anak-anak berlatih, dan entah bagaimana, percakapan itu mengalir dengan begitu mudah. Saya bertanya banyak hal, dan ia menjelaskan semampunya. Hingga ketika ia tidak bisa menjawab, ia berkata dengan senyum kecil, "Nanti bapak ikut saja Komunitas Kopi Hitam." Saya mengernyit pelan. Komunitas apa itu? Apakah itu semacam perkumpulan ayah-ayah penunggu? Atau hanya sebutan untuk mereka yang nongkrong di warung kopi? Saya tidak tahu. Namun kalimat itu menancap, seperti undangan menuju sesuatu yang lebih besar.
Waktu berlalu. Sebelum saya benar-benar bertemu dengan komunitas yang dimaksudkan Pak Sudiyono, anak saya lebih dulu mengikuti kejuaraan di Indomilk Arena. Itu adalah kejuaraan kedua kami. Suasana ramai, sorak-sorai terdengar di setiap sudut, dan di antara kerumunan itu, saya melihat beberapa ayah memakai kaos bertuliskan Kopi Hitam. Entah mengapa, dada saya tiba-tiba menjadi hangat. Ada rasa ingin mendekat, ingin bertanya, ingin memperkenalkan diri. Namun keraguan menahan langkah saya.
Justru salah satu dari mereka yang datang menyapa saya terlebih dahulu. Pak Eko, dengan wajah ramah dan tatapan sabar, bertanya apakah saya sudah menyiapkan ikat pinggang dan baju olahraga untuk anak saya. Seketika saya merasa seperti seorang anak yang tidak membawa tugas sekolahnya. Saya tidak tahu apa pun. Saya tidak tahu perlengkapan apa yang harus disiapkan, tidak tahu teknis pertandingan, tidak tahu prosedur apa pun. Namun yang membuat saat itu begitu berarti bukanlah informasi yang saya dapat, melainkan penerimaan. Pak Eko menenangkan saya, memberi arahan, menjelaskan dengan sabar, dan mengajak saya untuk tidak ragu bertanya kepada para orang tua lain.
Setelah kejuaraan itu, ketika rutinitas latihan kembali dimulai, saya merasakan sesuatu yang berbeda. Ada rasa hangat yang tumbuh, seperti ada keluarga baru yang menjalani perjalanan yang sama dengan saya. Pada suatu malam, Pak Eko mengajak saya bergabung ke dalam Komunitas Kopi Hitam. Di sanalah saya dipertemukan dengan sosok yang kelak menjadi figur penting dalam perjalanan saya menunggu: Pak Hendry.
Pak Hendry adalah ketua Komunitas Kopi Hitam. Posturnya tegas, namun perkataannya hangat. Karismanya terasa, namun hatinya lembut. Meskipun beliau seorang birokrat dengan jabatan strategis di kementerian, beliau tidak pernah menunjukkan sedikit pun rasa sombong. Justru sebaliknya, beliau membawa tawa. Setiap malam, beliau memulai percakapan dengan candaan, lalu menutupnya dengan nasihat yang lembut namun melekat dalam. Saya bisa merasakan bahwa komunitas ini tidak terbentuk begitu saja. Ia tumbuh dari hati yang bersentuhan melalui waktu menunggu yang panjang.
Komunitas Kopi Hitam berawal dari empat orang ayah: Tuan Hendry, Tuan Lindu, Tuan Imam, dan ayah dari Bian. Mereka duduk, menunggu, bercerita, dan dari situlah ikatan terbentuk. Dari empat orang itu, komunitas ini berkembang menjadi keluarga besar yang hangat, penuh tawa, penuh cerita, namun juga penuh kepedulian. Setiap orang datang dari profesi yang berbeda, namun semua menyatukan hati pada satu titik yang sama: cinta pada anak-anak mereka.
Di antara mereka, saya menemukan sosok-sosok hebat. Ada yang ahli olahraga, ahli elektronika, ahli transportasi, ahli investasi, ahli keamanan, ahli arsitektur, pedagang yang menjunjung keberkahan, birokrat, pensiunan, hingga orang tua biasa yang hanya ingin anaknya bertumbuh dalam disiplin. Tapi di balik semua itu, yang paling terasa adalah kehangatan mereka. Setiap malam, tiga hingga empat jam terasa seperti percakapan lima belas menit. Waktu seperti mengecil ketika diisi dengan tawa, diskusi, cerita hidup, dan nasihat yang keluar dari hati.
Pada saat-saat seperti itulah saya menyadari bahwa menunggu bukan sekadar tentang waktu yang berlalu. Ia tentang hati yang bertemu. Tentang cinta yang tumbuh dalam diam. Tentang ayah-ayah yang sibuk menahan kantuk, duduk di bangku keras, rela tidak pulang, hanya untuk menyaksikan anaknya mengejar mimpi. Ada sesuatu yang begitu mulia dari cara seorang ayah mencintai anaknya: diam, namun nyata; sederhana, namun dalam; tidak bersuara, namun terasa sampai ke tulang.
Pak Hendry sering mengulang sebuah kalimat yang kini saya pahami dengan sungguh-sungguh: "Hidup itu ibarat kopi hitam, kalau tidak dinikmati, maka yang terasa hanya pahitnya saja." Dan setiap kali saya mendengar kalimat itu, saya teringat malam-malam ketika saya duduk di bawah lampu temaram, memandangi anak saya yang sedang berlatih, sambil sesekali menatap ayah-ayah lain yang membawa perjuangan yang sama. Di sana, di tengah dingin malam dan suara hentakan kaki dari dalam dojang, saya melihat cinta paling sunyi yang pernah ada. Cinta seorang ayah, yang tidak meminta apa-apa, selain melihat anaknya tumbuh menjadi manusia yang lebih baik.
Dan pada akhirnya, saya memahami bahwa menunggu bukanlah beban. Menunggu adalah bentuk cinta yang jarang diungkapkan dengan kata-kata. Menunggu adalah doa yang tidak diucapkan, tetapi dilakukan. Menunggu adalah waktu yang dipersembahkan dari hati, demi seseorang yang kita cintai lebih dari hidup kita sendiri.