
berita indonesia, JAKARTA — Konferensi Perubahan IklimCOP30di Belem, Brasil, akhirnya berakhir dan mencapai sebuah kesepakatan bersama dalam menghadapi krisis iklim.
Meski hasil kesepakatan bertajukMutirão Globalhal itu menimbulkan kekecewaan bagi banyak negara, proses penyusunannya menggambarkan dengan jelas kerapuhan kerja sama multilateral global.
Pada jam-jam kritis konferensiperubahan iklimpada Sabtu (22/11/2025), Presiden COP30 Andre Correa do Lago mengingatkan para delegasi tentang besarnya biaya dari sebuah kegagalan dalam mencapai kesepakatan. Negosiasi telah berjalan melebihi tenggat waktu awal, tetapi konsensus kesepakatan belum juga tercapai seiring munculnya suara-suara keberatan.
Ini adalah konferensi iklim internasional pertama sejak pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump memutuskan untuk mundur dari Perjanjian Paris pada Januari 2025. Tindakan Trump tak terhindarkan membuat pertemuan ini menjadi ujian penting bagi negara-negara dalam menunjukkan persatuan.
"Mereka yang meragukan bahwa kerja sama adalah jalan terbaik dalam menghadapi krisis iklim akan senang melihat bahwa kita bahkan tidak mampu mencapai kesepakatan. Karena itu, kita harus mencapai sebuah kesepakatan," kata Andre Correa do Lago di hadapan para delegasi, sebagaimana dikutip.Reuters.
Pada akhirnya, hampir 200 negara berhasil mencapai sebuah kesepakatan. Namun, isi dokumen dan proses yang rumit yang menyertainya menggambarkan dinamika perpecahan dunia yang sama kuatnya dengan tekad kolektif untuk merespons krisis iklim, menurut sejumlah pengamat, delegasi, dan aktivis lingkungan.
Kesepakatan akhir menyetujui peningkatan tiga kali lipat pendanaan adaptasi untuk negara-negara miskin yang paling rentan menghadapi dampak pemanasan global. Namun, dokumen tersebut tetap menghindari penyebutan eksplisit pada bahan bakar fosil sebagai penyebab utamanya.
Perjalanan dua minggu menuju kesepakatan akhir juga diwarnai drama yang biasanya muncul dalam situasi penuh kelelahan, frustrasi, dan kebuntuan: aksi protes masyarakat adat yang memasuki gerbang pertemuan; Arab Saudi mengancam membatalkan kesepakatan jika industri minyaknya disentuh; Panama menyebut jalannya pembahasan sebagai "pertunjukan badut"; dan sidang penutup harus dihentikan selama satu jam ketika Brasil sebagai tuan rumah mencoba menyelesaikan berbagai keberatan.
Saat palu akhirnya diketuk pada sore hari Sabtu, Correa do Lago pun menitikkan air mata.
Ketidakhadiran Amerika Serikat menggantung di seluruh proses pembahasan. Negara dengan emisi historis terbesar sekaligus ekonomi terkuat di dunia itu tidak mengirimkan delegasi resmi setelah Trump menyatakan pemanasan global sebagai sebuah tipu muslihat dan menilai upaya penanganannya merugikan daya saing ekonomi negara tersebut.
Komisaris Iklim Uni Eropa Wopke Hoekstra mengakui bahwa membangun konsensus tanpa kehadiran Washington menjadi tantangan besar. Dalam pemerintahan sebelumnya, AS dan Uni Eropa sering kali berperan sebagai motor pendorong ambisi transisi energi bersih.
"Ketidakhadiran aktor sebesar itu tentu menjadi pukulan besar," katanya.
Tahun ini, Uni Eropa dengan keras mendorong dimasukkannya bahasa yang memperjelas transisi global dari bahan bakar fosil, tetapi akhirnya harus menyerah menghadapi tekanan konsorsium sejumlah negara yang dipimpin oleh Arab Saudi.
Seorang perwakilan Riyadh mengatakan kepada para delegasi pada jam-jam akhir negosiasi bahwa setiap bahasa yang menargetkan industri minyaknya berpotensi menggagalkan konsensus global, menurut tiga sumber yang mengetahui pembahasan tertutup tersebut. Arab Saudi menolak memberikan komentar.
Hasil tersebut, ditambah dengan langkah-langkah konkret yang sedikit untuk melindungi hutan, membuat banyak negara kecewa.
"Sebuah COP Hutan tanpa komitmen terkait hutan adalah lelucon yang sangat buruk. Keputusan iklim yang bahkan tidak mampu menyebut bahan bakar fosil bukanlah netralitas, tetapi keterlibatan. Dan apa yang terjadi di sini melebihi sekadar ketidakmampuan," kata negosiator Panama, Juan Carlos Monterrey.
Kekesalan itu mencapai puncaknya dalam sidang pleno penutupan, ketika sejumlah negara Amerika Latin mengajukan keberatan sehingga sesi penutupan yang terlambat satu hari harus ditunda lebih dari satu jam.
Kerja Sama Iklim Masih Akan Diuji
Perjanjian tersebut memenuhi salah satu tuntutan utama negara berkembang dengan mengajukan peningkatan tiga kali lipat pendanaan adaptasi untuk menghadapi dampak pemanasan global, mulai dari kenaikan permukaan laut hingga gelombang panas dan badai ekstrem.
Beberapa pihak menyambut baik capaian itu.
“Kami berhasil mencapai kesepakatan. Dari perspektif AOSIS, ini merupakan kemenangan,” kata Ilana Seid, Ketua Aliansi Negara-Negara Pulau Kecil (AOSIS), kepadaReuters.
"Inilah kemenangan bagi multilateralisme dan kesempatan untuk menegakkan tujuan Perjanjian Paris yang sangat penting bagi kami," lanjutnya, merujuk pada komitmen untuk membatasi pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celsius (°C).
Mantan Wakil Presiden AS Al Gore menilai hasil COP30 sebagai lantai dasar, bukan langit-langit dalam upaya global menghadapi krisis iklim.
Ia mencatat bahwa meskipun negara-negara produsen minyak berhasil memblokir penyebutan penghentian bahan bakar fosil, Presidensi COP30 Brasil tetap akan memimpin upaya penyusunan peta jalan tersebut dengan dukungan lebih dari 80 negara.
"Pada akhirnya, negara-negara produsen minyak, industri fosil, dan sekutu-sekutunya sedang kehilangan pengaruh. Mereka mungkin dapat memveto bahasa diplomatik, tetapi mereka tidak dapat memveto tindakan nyata di dunia," kata Al Gore.
Ketahanan kerja sama iklim internasional akan kembali diuji beberapa bulan mendatang ketika Brasil memimpin penyusunan peta jalan penghentian bahan bakar fosil dan mobilisasi pendanaan bagi negara berkembang.
Aleksandar Rankovic, Direkturlembaran pikirInisiatif Bersama, secara tegas mengatakan bahwa penutupan diskusi di Belem mencerminkan seluruh konferensi yang tidak transparan.
"Secara prosedural pembahasan di Belem patut dipertanyakan, substansinya kosong, tetapi dibungkus seolah puncak multilateralisme," katanya.