
Di tengah kemajuan teknologi yang canggih, keterhubungan digital, dan arus informasi yang tidak terbatas, empati seharusnya menjadi kemampuan yang semakin mudah berkembang. Namun, realitanya berbeda; empati justru menjadi sesuatu yang mahal dan langka, seolah semakin sulit ditemukan dan semakin jarang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kemajuan yang membawa kenyamanan ternyata juga menciptakan jarak emosional yang tak terlihat.
Arus Informasi yang Mengikis Kepedulian
Zaman digital memungkinkan kita untuk menerima ratusan informasi hanya dalam hitungan menit. Setiap hari, kita melihat berita bencana, konflik, penderitaan manusia, hingga keluhan pribadi yang memenuhi timeline media sosial. Pada awalnya, paparan seperti ini dapat membangkitkan empati. Namun, seiring berjalannya waktu, otak manusia mengalami kelelahan emosional akibat terlalu sering terpapar penderitaan.
Akibatnya, banyak orang menjadi kebal. Bencana di negara tetangga, kekerasan terhadap komunitas minoritas, atau musibah pribadi orang lain sering dilewati begitu saja tanpa menyentuh perasaan. Kita mulai terbiasa melihat tragedi hanya sebagai konten belaka yang tujuannya sekadar mencari popularitas, bukan sebagai cerita manusia.

Kebudayaan Serba Cepat yang Mengorbankan Kepedulian
Gaya hidup modern menuntut semuanya berjalan cepat, mengutamakan efisiensi dan efektivitas untuk terus bekerja cepat, merespons cepat, dan bergerak cepat. Di balik kemampuan ini, ada konsekuensi yang tidak terlihat: kita kehilangan waktu untuk berhenti, mendengarkan, dan merasakan. Empati membutuhkan ruang dan ketenangan, tetapi kehidupan modern nyaris tidak memberikannya.
Ketika orang terlalu sibuk mengejar target dan produktivitas, perhatian terhadap perasaan orang lain menjadi prioritas yang mudah terabaikan. Bahkan, dalam hubungan keluarga dan persahabatan, percakapan sering berjalan terburu-buru dan minim kedalaman. Akhirnya, kita mengenal banyak orang, tetapi sangat sedikit di antaranya untuk benar-benar memahami.
Keterhubungan dan Kepalsuan
Media sosial menawarkan ilusi kedekatan. Kita bisa mengetahui aktivitas orang, melihat senyum mereka, membaca curahan hati dan kisah hidup mereka, tetapi semua itu adalah potongan kecil dari realitas yang disunting. Fenomena ini membuat banyak orang menjadi pembanding sekaligus penilai, bukan pendengar yang penuh empati.

Selain itu, media sosial memicu polarisasi. Diskusi mudah berubah menjadi perdebatan panas dan opini sering disampaikan tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain. Budaya yang memahami orang lain terlebih dahulu menjadi hal yang langka. Akhirnya, ruang publik digital dipenuhi kritik cepat, humor yang menyentuh batas sensitif, dan sinisme yang merajalela.
Individualisme yang Menguat
Zaman modern mendorong nilai kemandirian dan pencapaian diri. Hal ini positif, tetapi ketika berlebihan, ia melahirkan kecenderungan untuk berfokus pada diri sendiri dan mengutamakan kenyamanan pribadi tanpa melihat orang lain sebagaimana seperti yang dikemukakan istilah kuno Zoon Politicon oleh filsuf Aristoteles, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan saling membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan serta mengembangkan diri, yang terwujud dalam berbagai interaksi dan kerja sama, gotong royong, empati, dan kepatuhan pada norma sosial.
Di lingkungan modern saat ini, empati sering dianggap sebagai beban. Membantu orang lain membutuhkan waktu, tenaga, dan terkadang mengorbankan kelebihan yang kita miliki. Ketika lingkungan sosial mendorong kita untuk memprioritaskan diri sendiri, kepekaan terhadap kesulitan orang lain perlahan memudar, bahkan hilang. Empati menjadi mahal bukan karena tidak mampu dilakukan, melainkan karena tidak dianggap sebagai prioritas.
Ketakutan untuk Terlibat

Perkembangan zaman saat ini penuh dengan berbagai risiko dan ketidakpastian. Banyak orang memilih untuk menjaga jarak secara emosional. Mereka takut terlibat dalam drama, takut disalahpahami, atau takut emosi yang tidak seharusnya muncul tidak sesuai tempatnya.
Akhirnya, empati dianggap sebagai pintu yang membuka masalah baru, sehingga banyak yang memilih untuk menutup diri dengan membentengi kemampuan, menganggap semuanya biasa yang dilakukan salah tapi dibenarkan, bukan yang benar dibiasakan dan hanya respons singkat yang netral. Padahal, empati sejati tidak sekadar memberi respons, tetapi hadir bersama orang lain dalam keterbukaan dan ketulusan tanpa harus memikirkan balasannya.
Empati adalah Investasi Sosial
Di era modern, empati terasa mahal karena membutuhkan hal-hal yang semakin jarang kita miliki: waktu, perhatian, dan keberanian untuk terlibat secara emosional. Namun, justru karena mahal, empati menjadi semakin berharga dan diperlukan.
Dengan empati, kita mengembalikan esensi menjadi manusia: saling memahami, saling mendukung, dan hadir untuk satu sama lain. Dunia yang semakin cepat dan keras hanya bisa dilunakkan dengan hati yang tetap lembut, dan itu dimulai dari diri kita sendiri.