Iklan

Bitcoin Jatuh ke Level Terendah dalam 7 Bulan

Monday, November 17, 2025, 1:31 PM WIB Last Updated 2025-11-18T07:26:55Z

NEW YORK, newsindonesiaBitcoin turun ke posisi terendah dalam tujuh bulan di tengah penurunan bursa saham Amerika Serikat (AS) dan kekhawatiran pasar terhadap pelemahan daya beli konsumen.

Pada perdagangan Senin (17/11/2025), Bitcoin turun di bawah 92.000 dolar AS, melanjutkan penurunan hampir 30 persen dalam enam minggu. Koreksi tersebut terjadi bersamaan dengan meningkatnya sentimen hati-hati investor menjelang akhir tahun.

Pasaran juga menunggu laporan keuangan Nvidia serta dimulainya kembali rilis data ekonomi AS yang sempat tertunda akibat penutupan pemerintahan.

Indeks utama Wall Street juga melemah. S&P 500, Nasdaq, dan Dow Jones turun antara 0,9 persen hingga 2 persen. Tekanan terbesar menimpa saham berkapitalisasi kecil. Sektor energi dan keuangan turun sekitar 2 persen. Teknologi dan material melemah 1,5 persen. Hanya sektor layanan komunikasi dan utilitas yang menguat.

Saham Alphabet naik 3 persen dan mencetak rekor baru. Dell dan Super Micro Computer turun 8 persen dan 7 persen akibat penurunan peringkat analis.

Dolar AS menguat terhadap hampir semua mata uang utama. Yen kembali tertekan dan melewati level 155 per dolar AS.

Penurunan Bitcoin kali ini dianggap berbeda. Koreksi tajam sering terjadi, namun pelemahan saat ini mencerminkan menurunnya selera risiko setelah kenaikan besar sejak April. Investor mulai menarik dana dari aset spekulatif di tengah ketidakpastian global.

Di pasar obligasi, imbal hasil Treasury AS turun 1-2 basis poin. Imbal hasil obligasi Inggris juga mengalami penyesuaian setelah kenaikan tajam pada Jumat. Harga minyak melemah 0,3 persen. Emas turun 1,4 persen.

Volatilitas pasar meningkat. Indeks VIX mencatat penutupan tertinggi dalam sebulan, sekaligus yang ketiga tertinggi sejak Mei. Volatilitas jangka pendek euro/dolar juga naik ke level tertinggi dalam sebulan.

Penurunan ekspektasi pemangkasan suku bunga Federal Reserve pada Desember memicu aksi ambil untung dari reli besar yang terjadi sepanjang tahun, termasuk pada saham dan posisi jual dolar.

Tekanan global ditambah data ekonomi Jepang. Produk domestik bruto negara tersebut menyusut 1,8 persen pada kuartal III. Angka tersebut merupakan kontraksi pertama dalam enam kuartal, meskipun lebih baik dari perkiraan penurunan 2,5 persen. Situasi ini kembali memicu perdebatan tentang stimulus fiskal baru.

Gubernur Bank of Japan, Kazuo Ueda, memperingatkan agar kebijakan moneter tidak terlalu longgar saat yen terus melemah.

Di Tiongkok, tekanan deflasi terus menghantui. Inflasi konsumen sedikit positif pada Oktober, tetapi harga produsen masih turun selama 37 bulan. Investasi aset tetap turun 1,8 persen, penurunan terdalam dalam tiga dekade di luar masa pandemi.

Imbal hasil obligasi 10 tahun Tiongkok tetap rendah di 1,8 persen. Sejumlah industri besar seperti otomotif dan teknologi hijau menghadapi kelebihan kapasitas, kompetisi ketat, dan perang harga yang menekan margin.

Permintaan domestik yang lemah mendorong produsen Tiongkok kembali bergantung pada ekspor. Pengiriman kendaraan listrik, panel surya, dan produk manufaktur bernilai tinggi lainnya meningkat tajam. Surplus manufaktur Tiongkok diperkirakan melebihi 2 triliun dolar AS atau 10,5 persen PDB, lebih besar dari gabungan surplus manufaktur Jerman dan Jepang pada masa puncaknya.

Penurunan harga ekspor Tiongkok sebesar 10 persen diperkirakan dapat menekan harga produsen AS hingga 0,2 persen dan mengurangi harga di Asia Tenggara hingga 1,6 persen. Kondisi ini dapat membantu upaya AS untuk menekan inflasi meskipun menjadi tantangan bagi Beijing.

Pasaran kini menunggu rilis risalah RBA Australia, data pesanan barang tahan lama AS, aliran modal TICS, serta pidato sejumlah pejabat Federal Reserve yang diperkirakan memberi sinyal arah kebijakan moneter berikutnya.

Komentar

Tampilkan