Iklan

Guru Tewas di Papua: Kekerasan yang Membunuh Masa Depan Bangsa

Monday, March 24, 2025, 5:14 PM WIB Last Updated 2025-03-24T10:14:46Z

 


Oleh: Rofiq Ali Muhsin


Seorang guru tewas dan enam lainya luka akibat ditembak orang tak dikenal di Distrik Anggruk, Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan pada 21 Maret 2025. Ia bukan korban pertama, dan jika kita terus berpaling, ia mungkin bukan yang terakhir. Tragedi ini bukan sekadar kisah pilu seorang guru, melainkan potret buram sistem yang gagal melindungi pahlawan tanpa tanda jasa di daerah konflik. Di balik angka statistik, ada ribuan anak Papua yang kehilangan mentor, keluarga yang berduka, dan masa depan bangsa yang terkubur peluru. Sebagai masyarakat, kita harus bertanya: sampai kapan pendidikan akan menjadi korban kekerasan yang tak berkesudahan?  


Para guru memilih mengabdi di Papua Pegunungan, wilayah dengan akses terbatas, minim listrik, dan jarak tempuh berjam-jam ke sekolah. Para guru bertahan di Papua demi mencerdasakan anak bangsa meski gaji tak sebanding risiko. Data Kementerian Pendidikan (2023) menyebut, 40% guru di Papua adalah tenaga honorer dengan penghasilan di bawah UMR. Mereka bukan hanya berjuang melawan keterbatasan fasilitas, tetapi juga ancaman nyawa.  


Komnas HAM mencatat, dalam lima tahun terakhir, setidaknya ada 15 guru tewas dalam insiden kekerasan di Papua. Ironisnya, mereka yang seharusnya dilindungi justru menjadi sasaran empuk konflik bersenjata. Tragedi ini memperlihatkan betapa pendidikan—sektor vital pembangun peradaban—ternyata paling rentan dihancurkan.  


Konflik Papua sering disederhanakan sebagai persoalan separatis versus keamanan. Padahal, akarnya lebih dalam: ketimpangan struktural. Papua memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah di Indonesia (60,4), dengan 30% anak usia sekolah tak mengenyam pendidikan dasar. Sekolah-sekolah di pedalaman seringkali hanya bangunan reyap tanpa meja, buku, atau guru tetap.  


Selain itu, pendekatan keamanan yang masif justru memperuncing ketegangan. Guru dan tenaga kesehatan sering terjebak di tengah konflik, dianggap sebagai “tangan pemerintah” oleh kelompok bersenjata. Padahal, mereka hanya ingin mengajar anak-anak membaca.  


Pemerintah sebetulnya udah ada berkomitmen memberikan insentif tambahan untuk guru di zona konflik. Langkah ini patut diapresiasi, tetapi ia hanya solusi permukaan. Uang tak akan berarti jika nyawa guru terus dipertaruhkan. Begitu pula penambahan personel keamanan di sekolah—ia diperlukan, tetapi tidak cukup.  


Akar persoalannya adalah sistemik; Pertama, belum adanya perlindungan hukum khusus bagi guru di daerah konflik. Mereka perlu diakui sebagai pekerja kemanusiaan yang dilindungi hukum internasional. Kedua, kurang maksimalnya melibatkan masyarakat adat dalam merancang kebijakan pendidikan. Tanpa dukungan tokoh lokal, program pemerintah akan dianggap asing. Ketiga, pembangunan infrastruktur yang timpang. Papua butuh sekolah aman, akses jalan, dan internet, bukan sekadar bantuan sporadis.  


Pendidikan sebagai Jalan Damai


Apa yang Bisa Kita Lakukan? Jika kita serius ingin menghentikan lingkaran kekerasan ini, langkah-langkah yang bisa diambil; Pertama menjadikan Guru sebagai Prioritas Nasional. Guru di daerah konflik harus mendapat status khusus dengan jaminan asuransi jiwa, pelatihan keselamatan, dan akses evakuasi darurat. Pemerintah perlu terus bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mempercepat aturan protokol perlindungan guru. Kedua, pendidikan yang memberdayakan. 

Kurikulum di Papua harus kontekstual, menghargai kearifan lokal, dan melibatkan tokoh adat sebagai mitra guru. Anak-anak Papua tidak hanya perlu calistung, tetapi juga pendidikan perdamaian untuk memutus siklus kebencian. Ketiga, Melanjutkan dialog. Konflik Papua tak akan selesai dengan senjata. Pemerintah harus terus membuka ruang dialog inklusif dengan melibatkan semua pihak, termasuk kelompok sipil dan perempuan adat, untuk merumuskan solusi berkelanjutan.  


Jangan Biarkan Guru Jadi Pahlawan yang Terlupakan


Guru yang meninggal ini mungkin sudah tiada, tetapi kita masih bisa mencegah guru-guru lain menjadi korban berikutnya. Setiap kali seorang guru tewas, kita kehilangan seribu cahaya pencerdasan bangsa.  


Pendidikan adalah hak asasi, bukan privilege. Jika kita membiarkan kekerasan terus mencabut hak itu, maka kita semua bersalah atas pembunuhan masa depan Papua. Sudah waktunya pemerintah dan masyarakat bersatu, bukan hanya mengutuk kekerasan, tetapi membangun sistem yang menjamin keamanan dan keadilan bagi guru-guru di garis depan.  


Seperti kata Ki Hajar Dewantara, "Pendidikan adalah tuntunan untuk tumbuhnya jiwa dan raga.” Mari tuntun Papua menuju kesuksesan dimulai dari melindungi para guru yang berani menyalakan lilin di tengah malam konflik.  


Peneliti utama di Insan Cendikia Institute Indonesia

Komentar

Tampilkan