Iklan

TITIK TEMU

Wednesday, February 28, 2024, 12:13 PM WIB Last Updated 2025-08-19T04:17:25Z

 
















DEFFEAT! Suara notifikasi yang membuat semua jengkel ketika kalah dalam bermain game.


"Hadeeehhh.... coba kalo lo tadi backup gue"

"Yaelah maaf. Ulti gue cooldown"


Jika sudah menguasai dunia game yang mereka mainkan, keasyikannya tidak akan melihat keadaan disekitar.

Seorang wanita berkacamata dan satu temannya yang duduk di depan mereka, merasa terganggu akan kelakuan dua lelaki yang ada di belakangnya.


"Heh! Kalian berisik banget sih. Ini kafe, bukan arena turnamen game. Belajar etika nggak sih!". Ucap wanita berkacamata memarahinya.



Mereka berdua terdiam. Lalu meminta maaf karena sudah berisik dan mengganggu kenyamanan di sekitar, terutama kepada pelanggan meja yang ada di depannya, yakni wanita berkacamata dengan satu temannya.


"Kalo gak salah, mereka berdua satu kampus dengan kita, ya? Anak jurusan Manajemen." Bisik Rio


Tidak banyak omong dan penuh percaya diri. Jico, temannya Rio menghampiri kedua wanita tersebut.


"Sebelumnya mohon maaf nih... Karena keasyikan kami, kalian jadi terganggu. Sekali lagi maaf, tadi kami salah banget udah bikin kegaduhan." 

"Oh iya... kenalin gue Jico Andrean dan temen gue yang itu, Rio." Tertuju dan 


menjulurkan tangannya kepada wanita berkacamata tersebut.

"Kalo boleh tau, kalian berdua ini dari jurusan Manajemen, satu kampus dengan kita, kan? Salam kenal ya... gue berdua dari jurusan Sastra". Lanjutnya dan menarik kembali tangannya yang diabaikan.

"Gak nanya!" Cetus wanita berkacamata.

"Hahaha... lo cantik banget sih, kalo lagi cemberut". 

"Apaan sih lo... so akrab bener jadi orang!"

"Tenang... pasti suatu hari nanti, gue akan buat lo tersenyum bahagia. Percayalah." Canda Jico kepada wanita berkacamata tersebut. Dan mereka hanya diam saja, mengabaikan omongan Jico yang so merasa kenal dan merasa dekat.


"Bener, mau diem aja nih? Gue sumpahin lo berdua kagak bisa ngomong lagi, hayo gimana?" Canda Jico cengengesan.


"Apaan sih, kok bawa-bawa gue juga". Ucap wanita sebelahnya.

"Heh! Kalo punya mulut, omongan itu di jaga. Dan lo maunya apa sih? Nyebelin banget jadi orang!". Wanita berkacamata merasa kesal.

"Gue punya itikad baik di sini. Meminta maaf, karena gue salah udah mengganggu kenyamanan kalian berdua".

"Orang lain juga merasa terganggu karena lo berdua. Sekalian sana lo minta maaf kepada semuanya. Jangan disini terus, risih gue lihatnya!".

"Entah kenapa gue pengennya disini, gimana coba?" Jico tersenyum.

"Bener nih, gak mau kenalan? Yaudah, kalo gitu gue gak akan nyingkir." Jico menarik sebuah kursi kosong yang ada di sebelahnya dan duduk berhadapan dengan wanita berkacamata tersebut.


Dengan terpaksa dan merasa risih akan 


nyebelinnya kepada satu lelaki yang bernama Jico ini, akhirnya dua wanita tersebut memperkenalkan dirinya masing-masing. Yang memakai kacamata, bernama Asmaradiya Tamara. Dan teman satunya bernama Hestia. Jico bertaruh penuh pada wanita yang memakai kacamata yang ada di depannya itu, merasa tertantang akan timbul getaran hatinya. Ingin lebih kenal dan dekat lagi, yakni dengan Asmaradiya Tamara.


"Maaf ya, Balita..." 

"HESTIA......" 

"Eh... iya, Hestia maksudnya. Gue boleh kan, ngobrol bentar sama temanmu yang cantik ini?" Pinta Jico tersenyum.

"Boo....."

"Apaan sih, gak mau ah. Ayo kita pulang aja, Ada orang gila yang so kenal disini!". Menarik tangan Hestia dan beranjak pergi.


"Gue yakin. Suatu saat nanti, lo bakal jadi pacar gue Asmaradiya...." Jico berteriak.

"Gila! Baru juga kenalan udah maen gebet aja lo". Rio tertawa.


Keesokan harinya Jico dengan semangat, mumpung jam kuliahnya masuk pagi, ia berniat kembali untuk menemui Asmaradiya dan berharap semoga saja ia pun masuk pagi. Jico sudah membulatkan tekad, dengan niat yang kuat sebisa mungkin dekat dengannya sekaligus mengikuti ambisi hatinya untuk mengungkapkan rasa yang mengganjal, terpikirkan hingga membuatnya insomnia. Penuh harap bisa bertemu di area kampus dengan waktu yang pas, bila perlu mengobrak-abrik di setiap kelas, bahkan di penjuru dunia sekalipun Jico akan tetap mencari sosoknya. Padangan pertama, terpikat akan keindahannya, yang membuatnya jatuh cinta.


Setiap malam Jico selalu membayangkannya. Ketika menyebut dan mengkhayalkan sosok Asmaradiya Tamara, jantungnya berdegup tidak beraturan bagai sebuah F1 yang melaju dengan kencang. Atas sakral nama cinta yang segera ingin di ucapkan, terus-menerus mengganggu pikirannya. Makan tidak enak, tidur pun tidak nyenyak. Jico tidak peduli dengan hasil akhir, meskipun optimis di tolak, ia ingin terus berusaha sampai akhir untuk mendapatkan cintanya.



Hari berganti

Musim kian menepi

Meski alam semesta meradang

Guncangan tanah rata menggersang

Sekalipun maut menjemput pulang

Asmaradiya tetap satu yang tersayang

Namanya bagai ayat-ayat prosa yang nikmat di eja


Mengingatnya  membuat euphoria membara

Wajah cantik mempesona tiada banding dengan lainnya.

Sempurna?

Tentunya aku berani adu dengan wanita seluruh penjuru dunia

Aku akan melindunginya

Walau seribu lelaki menyukainya

Takkan pernah sekalipun ku melepaskannya

Secuil wanginya pun tak sudi ku bagi

Sepenuhnya telah aku miliki

Jangan pernah berpaling

Akulah satu-satunya lelaki yang pantas kau sanding

Bagaimanapun akhirnnya

Aku tetap mencintaimu


Kedua kali, ketiga, keempat, dan seterusnya masa terlewati, Jico tetap teguh walaupun terus-menerus di abaikan 


olehnya. Ia penuh semangat bermentalkan baja tidak ada kamus kata menyerah, hatinya tetap saja sama. Berjuang hingga di akhir nafas.


 Aku mencintaimu... Aku mencintaimu... Aku mencintaimu, Asmaradiya.

Sekalipun keyakinan yang melarang, cintaku padanya takkan pernah tumbang.

 

Rasa penasaran yang kian memburu, karena meminta nomor teleponnya pun sulit tidak pernah di beri. Ia pun bersikeras mencari tahu alamat rumahnya dan beruntung teman baiknya, Hestia memberitahu. Jico yang nekat, ia langsung menghampiri ke rumahnya tanpa memberi tahu sama sekali kepada pemilik rumah.


"Ngapain sih lo kesini, hah?!".

"Ya gue kangen, mau main ke rumah lo. 


Gue boleh masuk, kan?" Tanpa izin darinya, Jico langsung masuk.

"HEH! Pulang nggak lo!!!".


"Siapa sih sayang?". Sahut suara dari dalam rumah.


Seorang ibu, yang masih muda menyambut tamunya dengan ramah.


"Eh ada tamu... ayo duduk sini. Mau dibuatkan apa?". Ucapnya

"Oh, makasih Tante. Perkenalkan, saya Jico Andrean, pacarnya Asmaradiya". 

"Heh! Bukan Mah... dia itu orang gila yang dateng kesini." Asmaradiya tambah geram dan kesal.

"Asmaraaaa.... jangan bilang gitu. Maafin anak tante ya, Jico. Oh iya, saya Anna Tamara, ibunya Asmara."

"Tante baik banget sih. Gak kebayang kalo aku nanti jadi menantu Tante, pantas saja 


anaknya cantik, ternyata ibunya sama cantik juga". Jico tersenyum lebar.

"Bisa aja kamu. Sayang bikinin minum dulu buat pacarmu, ayo." Ujarnya

"Mamaaaah.... please! Jangan dengerin omongan dia. Dia bukan pacar Asmara, dia itu orang gila."


Karena kekesalannya sudah memuncak. Asmaradiya merasa risih terhadap Jico, Ia mencoba ngusirnya dengan paksa.


"Ayo ikut gue!" Asmaradiya langsung menarik tangan Jico membawanya keluar.

"Kenapa sih sayang. Jangan kasar-kasar ah...." canda Jico.

"Pulang nggak! Atau gue panggil satpam ke sini buat ngusir lo, biar dikatain maling, mau?!"

"Iya iya iya, gue akan pulang. Seenggaknya gue mau pamitan dulu ke calon mertua gue". Lanjut candanya Jico.

"Pulang nggak. Gue nangis nih!!!". 


Asmaradiya semakin geram.

"Iya iya gue pulang". Serentak Jico masuk lagi kerumahnya.

"Tante mohon maaf. Jico pamit pulang dulu ya, putri tante yang cantik itu marah-marah mulu."

"Kalian berdua ini kenapa sih, bukannya duduk dan ngobrol dulu". Ujarnya kebingungan

"PULAAAAAANG!!!!" Asmaradiya berteriak kencang.

"Tenang tante, Nanti aku main lagi, kok. Kalo gitu Jico pamit dulu, jaga kesehatannya tante, dan jaga Asmaradiya buat Jico ya. Permisi...." Ucap Jico sambil mencium tangannya.


Keesokan harinya lagi, ketika kelas sudah bubar. Jico selalu setia menunggu Asmaradiya di depan kelasnya, kadang juga di taman, arah gerbang depan. Setiap harinya Jico seperti itu, tidak mudah putus 


asa untuk mendapatkan sang pujaan hatinya. Meskipun jam masuknya siang pun, Jico tetap menemuinya.


"Hallo calon pacar. Aku cinta kamu..." 

"Gue mau ngomong sama lo!". Serentak langsung menarik tangan Jico.

"Nah gitu dong, gak sia-sia usaha gue". Jico tertawa.

"Heh dengerin! Gue tuh benci ama lo! Lo tuh nyebelin banget! Gue jadi risih, tau nggak!!!" Celotehnya menangis di penuhi amarah.


Jico memandang lekat wajahnya yang penuh amarah, dan melihatnya menangis. Ia merasa sangat bersalah atas dengan tindakannya yang berlebihan selama ini.


"Jangan nangis, iya maafin gue. Yang gue lakukan ini cuma mau ngungkapin rasa gue yang sesungguhnya. Gue suka sama 


lo, dan lo suka nggak sama gue. Udah gitu doang. Jangan nangis, Asmaradiya... maafin gue" Mencoba menyapu air matanya

"Plakkk...!" Menepis tangan Jico "Jangan ganggu hidup gue, mohon. Gue cape di hantui setiap hari sama lo. Dan inget, Gue gak suka sama lo, najis banget punya cowok kayak lo. Gue benci sama lo! Gue benci! Dan sekali lagi tolong, mulai detik ini jangan pernah ganggu gue lagi!".

"Jika itu maumu. Baiklah kalo gitu. Maafin gue ya, gue janji gak akan ganggu hidup lo lagi. Tapi gue mohon, jangan nangis Asmara....".


Tak sempat berpamitan, Jico pergi meninggalkannya dengan hati yang kandas. Lontaran kata yang Asmaradiya ucapkan. Meskipun sakit atas usaha perjuangan cintanya, Jico mengerti dan sebisa mungkin harus menjauhinya dari 


sekarang. 


Seminggu setelahnya, Hestia main ke rumah Asmaradiya untuk mengerjakan tugas semester pertamanya bersama-sama. Dan dia juga penasaran ingin menanyakan tentang Jico yang tidak lagi menjahilinya.


"Tumben seminggu ini lo kagak di semangatin si Jico?". Tanya Hestia tertawa

"Please... jangan ngomongin cowok nyebelin itu di depan gue ya!".

"Lo jangan kek gitu, kasihan dia tau. Nanti lo bakal rindu nyebelinnya dia coba aja. Gue yakin itu." Tegas Hestia

"Kok lo belain dia sih?". 

"Bukannya ngebela dia, tapi gue kasihan sama lo. Nanti ke makan kata-kata sendiri, awas." Hestia menyadarkan.

"Bodo amat!"


Terang saja, memang benar adanya. Bukan hanya tertancap oleh kata-kata dari Hestia yang di katakan tadi. Padahal Asmaradiya dalam hatinya pun sama, tidak bisa di bohongi dengan rasa kegelisahannya setiap malam yang selalu memikirkan sosok Jico. Ia rindu akan nyebelinnya, setiap hari selalu setia menunggunya pulang di depan kelas, bahkan rela kelas siangnya di jadikan pagi, demi bertemu dengannya, terngiang-ngiang dengan ungkapan rasa tulusnya yang setiap hari bilang, cinta dan cinta. Dan ketika berkabar dengan ibundanya pun, ia selalu iseng bertanya tentang sosok Jico.


Hatinya tidak bisa di bohongi lagi, ia rindu akan Jico. Akan tetapi gengsi dan egonya masih tinggi, juga tidak mau berbagi cerita tentang kegelisahannya dengan temannya yang ia rasakan selama ini. Baru kali ini, ia 


merasakan tergoda rayuan oleh seorang lelaki sampai di bawa perasaan membara. Dan dibalik itu juga, Asmaradiya belum pernah berpengalaman soal percintaan. Jadi, sekalipun banyak rayuan dari lelaki yang menyambutnya, hanya rayuan Jico lah yang telah terpahat dalam pikirannya. Membuka lebar pintu cinta pertamanya yang selama ini terkunci rapat.


Sekarang aku menyerah. Aku mengakui semuanya pada-Mu Tuhan. Aku rindu nyebelinnya dia seorang, Jico Andrean.


Sedangkan diposisi Jico, juga sama halnya, Rio pun heran. Yang tadinya dia ceria setiap hari, sekarang malah lembek kebanyakan melamun. Jico seorang yang tidak mau terbuka setiap punya masalah, ia selalu membungkamnya sendirian, tidak bercerita kepada siapapun termasuk Rio salah satu temannya. Sebagai tetangga kost yang baik sekaligus teman 


dekatnya satu kelas, ia pun sudah tahu, jika setiap ada masalah yang datang ke padanya, pasti raut wajahnya terlihat muram dan matanya yang sayu. 


"Mabar kuy". Ajaknya menghibur

"Gasin....".

"Yaudah gue bikin kopi dulu."


Rio mencoba menghiburnya, supaya Jico mau bercerita dan terbuka setiap masalah yang di rasakannya.


"Gue suka pusing. Sampai sekarang gue gak tau kapasaitas otak manusia itu berapa." Rio mengawali pembicaraan.

"Yaelah... masa gitu aja susah"

"Emang lo tau?".

"Misalkan gini, lo pasti inget sejak kapan lo mulai menonton video porno?". Jico mulai bercanda.

"Bangke! Kenapa harus menyangkut kata 


itu"

"Hahahaha... kalo gak salah, otak manusia itu memiliki kapasitas satu petabyte. Buktinya lo pasti inget, banyaknya nama-nama pemain porno kan?"

"Bangsat lo..." Rio tertawa dan Jico sama halnya terhibur.

"Lo fans garis keras, sekaligus duta koleksi video porno". Jico terbahak-bahak.

"Gue mau nanya ama lo, boleh?" Ucap Rio

"Yaelah...tinggal ngomong aja"

"Tumben banget seminggu ini lo gak nemuin si Asmaradiya dulu?".

"Dahlah... jangan dibahas. Ayo main." Jico mengalihkan.


Dari percakapan tersebut akhirnya Rio tahu, pasti Asmaradiya lah penyebabnya. Akan tetapi rasa tanggung jawab sebagai teman, ia sebisa mungkin berusaha menyemangatinya agar tidak terlihat menderita memikirkan terus-menerus 


tentang masalahnya.


SESAL


Kamis sore, ketika kelas bubar. Asmaradiya tidak sengaja melihat Jico duduk sendirian di taman, sambil membaca materi pelajaran. Lalu ada seorang wanita yang tidak dikenal menghampirinya, duduk berduaan dengan Jico. Tertawa dan bercanda bersama, layaknya keakraban dua orang sedang pacaran. Entah kenapa air matanya tiba-tiba mengalir dengan sendirinya, melihat mereka berduaan dengan penuh kebahagiaan saling canda dan tawa. hati Asmaradiya seperti tergores luka kecewa.


"Eh...eh... aku ini kenapa?" Kedua tangannya menyeka air mata yang sedang tumpah. Lalu dibelakang ada Hestia memperhatikan kelakuan temannya dan 


mencoba mengagetkannya.


"Heh, lo kenapa Asmara. Kok nangis, Ada apa?". Hestia menyadarkan dengan mendekap tubuhnya.


Ketika Hestia melihat ke arah taman, ada Jico duduk berduaan dengan seorang wanita. Hestia sekarang paham, lalu tersenyum pada Asmaradiya. Karena keluguan darinya yang membuat gemas, mencoba menenangkan temannya yang sedang menangis tersendu melihat kejadian tersebut.


"Hmmm gue tau. Asmara... hei, he...." mencoba menyadarkan dengan melambaikan tangan ke depan mukanya yang sedang melamun kearah taman itu.


Setelah tersasar, Asmaradiya langsung berlari sambil menangis ke arah parkiran 


mobilnya, dan langsung bergegas pulang.

Di dalam mobil pun, ia terus saja menangis. Dan bertanya-tanya pada hatinya yang ia pun tak tahu kenapa bisa timbul rasa seperti ini.  "Aku ini kenapa....." teriaknya menjerit.


Waktu itu mereka juga tak sengaja saling berpapasan, Jico pun menjadi cuek pura-pura tidak melihatnya. Tidak lagi menyapa, bahkan sekarang seperti orang asing lagi melihat Asmaradiya.


Hestia tahu, Asmaradiya orang yang gampang sekali cengeng, bahkan baper. Karena khawatir, ia pergi bergegas ke rumahnya. Mencoba menenangkan dan berencana untuk membantu meluruskan kejadian tadi. Siapa tahu bukan pacarnya Jico, dan jika benar Hestia akan membuat mereka berdua dekat lagi.


"Hmmm... gue juga bilang apa. Lo pasti ke makan omongan sendiri, kan?". Serentak Asmaradiya pun memeluk Hestia.

"Gue ini kenapa sih, padahal dia bukan siapa-siapa gue. Tapi..." Terjeda dengan tangisannya.

"Udah jangan pake tapi, ribet banget sih jadi anak. To the point aja, lo rindu nyebelinnya si Jico, kan?" Dan Asmaradiya mengangguk.

"Yaudah. Gue coba mempertemukan lo dengan dia lagi, tapi lo harus nurut sama gue. Jangan egois..."

"Tapi gue malu. Gue udah jahat sama dia..." 

"Tenang. Gue yakin, si Jico bukan tipe cowok kek gitu. Percaya deh sama gue." Ucap Hestia yang menenangkan.


Asmaradiya bercerita tentang sesal hatinya yang ia rasakan saat Jico tidak lagi menemui atau menjahilinya. Dan ketika waktu itu, Asmaradiya tersandung 


saat turun tangga, Jico melihat lalu menolongnya dengan sigap. Tanpa sepatah katapun, ia langsung pergi. Padahal Asmaradia ingin mengungkapkan rasa terima kasih dan meminta maaf atas perlakuan terhadapnya. Jujur saja ia berharap akan ada lagi percakapan atas kejadian itu. Akan tetapi, mungkin karena waktu itu ucapannya terlalu kasar terhadapnya, mungkin Jico berubah dan menjauh. Meskipun lontaran kata yang membuatnya kecewa, bagi Asmaradiya ucapan itu ialah justru kebalikannya. Ia sangat menyesali, sekarang ia rindu akan nyebelin serta rayuan Jico kepadanya. Dan Hestia pun paham, lalu memberi masukan yang terbaik buatnya agar kembali bersemangat.


Demi keinginan temannya yang lugu itu, Hestia berusaha mencari ide terbaik. Meminta kerja sama dengan Rio, untuk 


membujuk Jico dan merahasiakan pertemuan mereka berdua. Rio akhirnya setuju, singkatnya ia juga bercerita tentang Jico, pikirannya selalu di penuhi nama dia yang terus membuatnya melamun berkepanjangan setiap harinya. 


Kafe Titik Temu. Kafe yang dulu awal pertemuan pertama mereka. Rio mengajaknya tanpa memberi tahu akan ada pertemuan dengan Asmaradiya.

Hestia dan Asmaradiya sudah duluan di kafe tersebut. Ketika Rio dan Jico masuk, Rio mengirim pesan pada Hestia. Beralasan untuk meninggalkannya, dan Rio pun sama hal nya. Sebelumnya Hestia berpesan kepada Asmaradiya, jikalau ada Jico datang, ia harus menyapa duluan.

Asmaradiya sudah melihat Jico yang sedang duduk di meja nomor 2, tempat duduk yang waktu itu ia duduki. Lalu Asmaradiya memberanikan diri untuk 


menghampiri dan menyapanya duluan.


"Hai orang Nyebelin...." Sapa panggilan baru untuk Jico.

Jico terdiam, dan mengabaikannya.

"Kok diem aja sih gue tanya? Heh! Jawaaaab!"


"Ini si Rio kemana sih, katanya ke toilet kok lama banget." Jico mengabaikannya dengan ngomong sendiri. Lalu beranjak dari tempat duduknya untuk keluar.

"Heh! Mau kemana, Nyebelin..." Asmaradiya menarik tangan Jico.

"Bukan urusan lo!" Melepaskan genggaman tangannya.

"Jico.... lo benci sama gue?". Teriaknya sambil menangis


Mendengar teriakan tangisnya yang membuat Jico merasa kasihan, dan malu di lihat oleh orang-orang sekitar. Lalu ia 


kembali lagi menghampirinya.


"Lo kenapa sih... cengeng bener jadi anak!".

"Jangan nangis, malu di lihat banyak orang." Lanjutnya.

"Gapapa, gue ini yang nangis..." Keras senggukan dari tangisnya.

"Iya iya.... maafin gue. Tapi lo jangan nangis, ya..." Menghibur dan memberinya tissue.

"Lo kenapa sih, Nyebelin. Lo harus tanggung jawab! Tiap hari gue kepikiran lo terus. Gue ini kenapa Jico, HAH?".

"Lo nya aja sendiri yang lebay".

"Iya.... Gue lebay, gue cengeng, gue juga gak tau, gue ini kenapa!" Kedua tangannya memegang pundak Jico.

"Lo kenapa ngejauhin gue, kenapa gak nyapa gue lagi, lo kenapa?!" 

"Iya gue salah. Gue udah menghina elo dengan omongan gue yang gak enak. Gue 


minta maaf, Jico. Gue mohon maaf...." Lanjutnya berderai air mata yang berjatuhan.

"Tapi gue mohon, jangan ngejauhin gue. Gue gak sanggup lagi sama apa yang di rasakan hati gue sekarang ini. Gue gak sanggup..... Maafin gue, Jico". Menangis dan terjatuh lemah.


Tidak tega melihatnya jatuh merangkak, air mata yang dia sangat sesali terus membasahi riasan di pipinya yang kemerah-merahan. Jico mencoba menenangkan kembali dan merangkulnya untuk berdiri menghibur agar dia tersenyum.


"Iya...iya..udah jangan nangis. Kacamata lo buram nanti. Malu juga dilihat orang".

"Iya apa?"

"Iya gue maafin. Udah jangan nangis lagi. Cengeng banget jadi anak!"

"Iya gue cengeng. Gue cengeng karena lo, 


dan gara-gara lo!". Memukul dada Jico

"Lo mah aneh. Pengen menang sendiri mulu jadi orang, heran gue...". Niatnya menghibur

"Harusnya gue, yang sakit hati karena ucapan lo waktu itu". Lanjutnya

"Yaudah! Silahkan sakit hati sekarang. Besok mah jangan". Tangisnya mulai mereda

"Lo tuh nyebelin. Nyebelin banget, tau.... Lo tuh cowok paling nyebelin sedunia. Tapi entah kenapa, gue juga heran. Kenapa gue kepikiran lo terus. Dan gue juga suka....". Ungkap Asmaradiya

"Makanya, jadi cewek jangan sok jual mahal. Kena batunya mampus lo." Jico tertawa lepas.

"Iya gue jual mahal! Karena selama ini gue belum pernah di goda macam cowok kayak elo!"

"Gue belum pernah pacaran sekalipun. Jadi tolong, jangan siksa gue seperti ini, 


gue cape!" Lanjut Memukul kembali dada Jico.

"Gue ini kenapa Jico...?!"


Jico kembali menenangkan dengan cara yang sering di ucapkan setiap hari kepadanya. Asmaradiya pun terdiam, dan Jico kembali melepaskan kacamatanya untuk mengusap air mata yang membasahi wajah cantiknya.


"Lo itu cowok paling nyebelin..." memukul dada Jico dan tangisnya pun mereda.

"Lo maunya apa sih, gue jadi salah mulu perasaan".

"Yang gue mau, lo minta maaf ke gue!".

"Jadi gue yang minta maaf ke lo sih? Jelas elo yang salah." Jico menghela nafas

"Kok jadi nyalahin gue? Udah tau lo salah, lo udah ngejauhin gue". Asmaradiya tidak mau kalah

"Iya iya gue ngalah... nyebelin banget sih 


jadi cewe". Jico kesal

"Lo yang nyebelin"

"Lo....." 

"DIAAAAAM!!! Lo yang nyebelin". Teriak keras Asmaradiya.


Serentak orang-orang di sekitar terdiam dan melihat kedua pasangan ini ribut terus. Kesan yang romantis tapi banyak dramatis. Sedangkan Rio dan Hestia melihatnya di area depan meja kasir, menonton keasyikan adu mulut mereka berdua jadian.


"Gue cinta sama lo Asmaradiya, lo mau kan jadi pacar gue?". Jico mengikrarkan

"E N G G A K! Gue... gak cinta ama lo" Mengeja kata.

"Yaudah, kalo gitu! Gue mau balik".

"Ihhh... jangan. Iya gue juga cinta sama lo, orang nyebelin." Menaikan kedua sudut bibir dengan manis.


"Nah gitu dong. Kenapa gak dari dulu lo jawab cinta gue, mungkin gak gini dramanya". Sambil memakaikan kembali kacamatanya.

"Jangan tinggalin gue lagi ya, Jico..." Memeluknya dengan erat.


Dia telah membuatku jatuh hati. Aku tak peduli walau melalui lensa kacamata ini menghalangi, mataku telah tertuju padamu dan aku akan mensejahterakannya.


KEBAHAGIAAN


Dandan, wangi parfum, dan olesan lipstik naturalnya telah menempel lekat dan menjadi sebuah anugerah untuk sosoknya yang cantik mempesona. Karena dunia telah menunjukan seorang kesatria yang sudah menaklukan hatinya yang kukuh menjadi luluh. 


Baginya cinta adalah nafas semesta. Dan sebagai layaknya wanita, sekaligus penyempurna segala kekurangan dari kekasihnya, ia ingin selalu terlihat menawan di matanya.


Sebelumnya Asmaradiya tidak pandai berdandan, bahkan menggoreskan lipstik pun ia masih gemetaran. Tapi dengan adanya keinginan yang penuh keharusan terhadap sang kekasih, ia berambisi untuk sebisa mungkin mata kekasihnya itu harus terus menatap lekat keelokan wajahnya, ia tidak mau pandangan matanya tertuju pada wanita lain, sungguh tidak mau, lirihnya. Maka dari itu ia belajar dengan melihat tutorial di platform video berulang kali. Karena begitu keinginannya dengan memaksakan diri, yang layak adalah yang berhak, agar orang lain iri terhadap pasangan yang satu ini. 

Tetap saja di setiap berkaca, ia selalu 


merasa kurang percaya diri terhadap yang sudah terlulur. Hanya terpaku dan terpatung, seakan pikirannya selalu suudzon terhadap kekasihnya. Akankah Jico selalu memandangnya lekat, ataukah dia akan tertawa melihat riasannya yang belepotan, dan masih banyak lagi komat-kamit di mulutnya yang terus saja merasa kurang. Karena dasarnya sang kekasih orangnya paling nyebelin, sudah terpikirkan akan mendapat jawaban komentar atau pujian.


Bedak yang ku miliki tak seberapa nilai harganya. Tapi cinta yang ku miliki sangat begitu besar padanya.


Ia menunggu balasan dari sang kekasih, sudah 30 menit tak kunjung datang balasan darinya. Terus mencoba spam kirim pesan dan menelponya berkali-kali, alhasil tetap saja tidak di angkat.


"Dih nyebelin banget sih dia. Pasti masih tidur". Asmaradiya merasa jengkel.


Pagi-pagi sudah tersiram dengan rasa jengkel yang semakin memuncak terhadap kekasihnya. Ia langsung saja pergi menghampiri ke Apartemennya selepas dandan yang memakan waktu lama. Karena kesal menunggu pesan dan telponnya tidak di respon, jadwal jam kuliahnya yang sekarang bareng masuk pagi dan khawatir takut bangunnya kesiangan, akhirnya nekat ingin membangunkan kekasihnya dengan paksa. Karena sudah pagi, dan janji akan berangkat ke kampus bareng.

Berdandan aja udah bikin kesel, di tambah lagi dengan dia yang pagi-pagi udah bikin kesel, jadi ngeselin. Ucap dari bibir manisnya yang sudah terwarnai rapi, kini ternodai dengan kekesalan menggerutu.


Ketika sudah di depan Apartemennya, ternyata pintunya masih tertutup. Benar saja pasti masih tidur, ucap Asmaradiya.

Ia mencoba mengetuk pintu dengan keras, masih saja tidak di buka. Lalu tetangga kost nya keluar, yaitu Rio. Memberitahukan bahwa Jico anaknya kebo kalau tidur, susah di bangunin. Maka dari itu sering sekali Rio membangunkannya dengan kunci pintu cadangan kamarnya. Karena Jico sudah berpesan, dia tidak akan kedengaran kalo lagi tidur, maka dari itu di kasih kunci cadangannya ke Rio untuk membangunkannya setiap hari.


"BAAANGUUUUN!!!". Teriak keras Asmaradiya di kupingnya

"Berisiiik banget sih ah...." Ucapnya yang masih merem melek

"Bangun nggak. Kalo nggak, gue siram sama air cabe nih. Bangun ih, sayang...."


"Ya Allah... ini bidadari apa biduan dangdut ya? Duuhh... serasa jadi anak presiden saja aku, dimanjakan seperti ini" lirihnya melantur kesana-kemari

"Banguuuuunnnn Nyebelin!" Lalu memukul pundaknya

"Eh... pacarku, kok kamu cantik banget sih". Menggeliat dan beranjak dari tempat tidur

"Cium dulu dong, kecupan paginya mana nih biar aku semangat" Lanjut Jico nyengir.

"Ogah, bau! Cepetan ayo mandi dulu sana". Menggoyangkan badan Jico

"Gak mau... gak mau... gak mau. Aku pengen di cium kamu dulu". Rayunya dengan suara yang manja

"Udah normalnya nyebelin, belum sadar juga masih nyebelin lagi nih orang". Asmaradiya tambah kesal.

"Buruan mandi. Lihat, udah jam 7 itu sayangku. Kesiangan tahu rasa kamu."

"Ayo gih. Kamu mandi, nanti aku bikin 


sarapan buat kamu". nya menyemangati.

"Bener nih?". Jico langsung berdiri mengambil handuk.

"Iya cintaku...."

"Aku pengen di cium kamu dulu..."

"BURUAN MANDI!"


Aku punya kekasih layaknya bidadari, wajahnya cantik indah berseri. Ku di beri cinta, ku berikan cintaku hanya untuknya. Lalu dia berbisik, aku lah yang terbaik.


Kebanyakan lelaki ketika di kamar mandi, selalu mengetes vokal suaranya dengan bernyanyi. Karya Jico yang baru saja mengarang dengan gaya candaan untuk merayu kekasihnya agar mandi bareng, ia ingin melihat buah batoknya yang indah, saling bercumbu untuk menyatu. 


"In the necromancer's cradle and melancholy masturbation. I'm still hoping 


to find it eternal love come on honey unite our bodies together carve with a drop of contemptible cum then we're both happy."

Melirikkan lagu dengan suaranya yang nyaring dalam kamar mandi.


"Hei Nyebelin.... berisik. Lagu apaan itu, jorok bener". Sahut Asmaradiya tertawa.

"Ayo sayang sini masuk. Kita saling membasuh".

"Udah cepet ih, buruan mandinya. Ini udah mateng sarapannya". 


Tidak hanya cantik, yang cantik juga perlu bisa memasak. Meskipun alakadarnya yang di buat. Yakni, untuk kekasih tercinta sesederhana apapun menunya, tetap saja akan berusaha membuat yang special untuknya. Aroma dan rasa, tidak berpengaruh pada penikmat yang sesungguhnya. Atas dasar kasih sayang, sepiring berdua akan terasa nikmat. Teori bukan lagi kenikmatan yang di dapat 


justru bahagiaan yang merapat. 


"Wahh... Makasih banyak Mbak, atas telor dadarnya. Tolong sekalian juga nanti baju-bajuku cuci yang bersih, ya..." Berkacak pinggang

"Bilang apa kamu?". Merasa tersinggung

"Nikmat yang mana lagi aku dustakan? Sarapan di siapin, tidur pun di bangunin. Ah, fiks calon istriku yang baik." Jico merayu

"Bilang apaaaa?!" Tangan Asmaradiya mendarat di bahunya

"Aku cicip ya?" Mengalihkan pertanyaan

"Bilang apa tadi...?" Tetap kekeuh atas singgungannya

"Mbak... mbak!" lanjutnya mulai cemberut.

"Iya..iya maaf sayangku. Aku cuma becanda doang dih, jangan marah". Menempelkan kedua tangan ke wajah Asmaradiya

"Pengen nangis aku..."


"Jangan nangis dih. Yaudah, aku makan ya." 

"Silahkan...". Bibirnya tersenyum indah.

"Gak jadi ah. Gak enak kayaknya nih, kalo gak di suapin kamu mah". Lanjut lagi candaanya.

"Diiihhhh... Nyebelin banget sih kamu. Yaudah sini." 

"Ammmmm... rasanya seperti kebahagiaan mulai berdatangan." Bibir yang berbicara, mulut tetap mengunyah.

"Bacot, Si Nyebelin." Dan masih sama, Asmaradiya tersenyum bahagia.


Mereka bersiap-siap untuk berangkat ke kampus. Jico sekejap menghapiri dan mengelus-elus motornya yang kini sekarang di anggurkan, ia memohon maaf pada motor kesayangannya yaitu (Roger) KLZ 150, nama panggilan kesayangan pada motornya. Jikalau nanti, suatu saat dia akan mengajak pacarnya Asmaradiya 


menaikinya bersama, sambil menikmati macet dan kepanasan debu di jalan. Ujarnya ngomong dengan motor. Asmaradiya pun tertawa melihat kelakuan pacarnya yang nyebelin, ngomong sama motor sendirian seperti orang gila. Lalu ia pun menanggapi dari perkataannya itu, ia juga ingin menaiki motornya berduaan mengintari jalan raya kota.

Melaju melewati rintangan di jalanan layaknya cinta mereka yang belajar menempuh kebahagiaan.


Dan di dalam mobil pun, Asmaradiya selalu manja kepada Jico yang sedang menyetir. Mengelus pipinya, menggelitik pinggang, dan memegang tangannya erat-erat. Sedangkan Jico selalu menjahilinya dengan omongan yang membuat Asmaradiya sebal. Mereka berharap dengan mengetahui karakter masing-masing seperti ini, akan tetap selalu 


seperti ini bersama selamanya.


Seorang lelaki teman masa kecilnya Asmaradiya, Jatniko. Jurusan Akutansi. Dari kecil, ia sudah menaruh hati pada Asmaradiya. Sudah beberapa kali ia ingin dekat dengannya pada waktu SMP dan SMA, akan tetapi Asmaradiya mengabaikannya. Bahkan sempat mengukapkan rasa cinta, dan Asmaradiya pun menolaknya dengan tegas. Karena di saat itu, Asmaradiya tidak mau mengenal percintaan yang menurutnya phobia bucin, dari kejadian pengalaman temannya yang bercerita.

Tetapi, Jatniko masih bersikeras sampai sekarang. Mau bagaimanapun nanti, ia akan menghalalkan segara cara dengan ambisinya untuk mendapatkan Asmaradiya menjadi kekasihnya. 

Ketika tahu, Jatniko melihat Asmaradiya turun dari mobil bersama seorang lelaki 


berangkat ke kampus. Amarahnya mulai menaik, ia sudah memiliki rencana untuk menghancurkan hubungan mereka. Dan ia yakin, pasti suatu saat Asmaradiya jadi miliknya. Hatinya membara.


"Semangat untuk semuanya. Dan satu hal, ingat aku selalu, biar kamu tambah semangat, oke?". Masukan Jico pada kekasihnya

"Ngapain inget kamu. Yang ada aku gak akan fokus. Yee...". Menjulurkan lidah untuk meledeknya

"Yaudah. Aku pun gak akan inget kamu."

"Kok kamu tega sih gak inget aku!" Isakkan tangisnya mulai terdengar.

"Iya iya.... gue akan inget lo. Kalah mulu gue perasaan." Kesal Jico mengeluarkan suara mishoponia dari bibirnya.

"Kok kamu marah sih? Bilang elo lagi ke aku. Kasar banget, aku kan pacarmu". Tangis itu membendung di kelopak 


matanya

"Iya iya sayangku, cintaku. Maafin aku ya... Jangan nangis. Aku sayang kamu." Membelai wajah Asmaradiya.

"Jangan genit ya?"

"Iya.."

"Kok jadi jutek sih kamu, cuma bilang iya doang" 

"Iya sayaaaangku, maksudnya."

"Nyebelin banget nih anak". Keluar suara kecil dari mulut Jico.

"Bilang apa kamu?"

"Hei bilang apa?" Teriak Asmaradiya kepada Jico yang berlari meninggalkannya.

"Aku sayang kamu.." Sahut Jico bergegas pergi dan tertawa.

"Awas aja kamu. Dasar Nyebelin!"


Ketika Asmaradiya masuk ke kelasnya, lalu Jatniko menghadang dan mulai menanyakan tentang pacar barunya, yaitu Jico. Asmaradiya mengabaikan, dengan 


perkataannya yang tidak penting. Dan ia sudah berkomitmen untuk menutup mata dan telinga. Hatinya cuma buat Jico seorang. 

Aura jahat Jatniko pun muncul. Dalam hatinya berkata, ia akan segera menghancurkan hubungann Asmaradiya dan kekasihnya.


Seperti biasa, Jico selalu menunggu di depan pintu kelas Asmaradiya. Menunggunya keluar dan melanjutkan pulang bersama.

Terlihat dari jendela kelas, Asmaradiya selalu tersenyum akan kekasihnya yang selalu setia menunggu. Bahkan waktu itu sebelum mereka jadian pun, dosennya pernah menulis sebuah lembar ulangan atas nama Jico dan Asmaradiya menjadi sebuah perumpamaan kata ganti.

Karena jam kuliah Jico yang selalu cepat pulangnya, berbeda dengan kelas-kelas 


yang lainnya. Jico rela menunggu Asmaradiya walaupun lama.


"Hallo Darling... kita mau kemana nih sekarang?". Sapa Jico menggoda dengan menaik-turunkan kedua alisnya

"Hmmm... ke KUA juga boleh." Senyuman manisnya yang terlihat sedikit giginya, membuat Jico semakin tergila-gila.

"Emang udah gak sabar tah, mau cepet-cepet bikin anak sama aku? Yaudah gas sekarang aja" Jico tertawa

"Hiiihh!" Memukul bahu Jico


Dering telpon di dalam tas Asmaradiya berbunyi. Menjawab pertanyaan dari suara tersebut dengan sangat riang gembira, ternyata kedua orang tuanya sudah menunggu di rumah dengan penuh kerinduan. Karena sering meninggalkan puteri tunggal kesayangannya di Indonesia, karena sang Ayah memiliki 


perusahaannya sendiri untuk di kelola. Setiap 4 bulan sekali, mereka berdua selalu menjenguk keadaannya puterinya di sini. 

Asmaradiya langsung bergegas mengajak kekasihnya untuk menemui kembali Mamahnya, sekaligus mengenalkan pada Papa nya. Jico yang bersemangat, sudah mempersiapkan semuanya untuk berkenalan dengan calon mertuanya.


"Papaaa... Mamaaah... Aitakute." Memeluk mereka berdua.

"Aku boleh ikutan kan? Om, tante?". Jico berdiri memandang  dengan nyengir

"Hallo Jico, apa kabar... Pah kenalin, ini pacarnya Asmaradiya. Yang waktu itu Mamah ceritain".

"Oh ini yang namanya Jico. Hallo, Saya Hachiman Tamara, Papa nya Asmaradiya. Salam kenal ya Jico." Sapanya ramah, yang masih terbawa dengan logat 


Jepangnya.

"Salam kenal juga om. Saya Jico pacarnya Asmaradiya. Sekaligus calon suaminya kelak, dan itu pasti." Candaanya penuh percaya diri.


Mereka semua tertawa lepas, atas kelucuan Jico yang diucapkan. Percaya diri dalam dirinya yang kian menjadi sebuah anekdot.


"Oh iya Mamah ingat. Waktu itu kamu marah-marah gak jelas kepada dia. maksu..." Ucapnya tepotong

"Ohhh... waktu ituuu..." 

"Gini Om-Tante, anak om dan tante yang satu ini masih malu buat ngungkapinnya. Makanya dia kebanyakan ngeles bilang anggap Jico gila, padahal anak Om-Tante yang tergila-gila sama Jico". Jico merincikan omongan dari Asmaradiya, menambal kesalahpahaman menjadi 


ngarang cerita.

"Hahahahaha". Mereka semua tertawa

"Ihhhh....apaan sih". Asmaradiya kesal menyubitnya pahanya dengan keras

"Lucu banget sih kamu Jico. Iya..."  ucap mereka berdua

"Yaudah, Jico mau minum apa? Tante yang bikinin." Ujarnya Menawarkan

"Gak usah repot-repot tante. Jico mau nya cuma Asmaradiya doang". Jico menoleh ke arah kekasihnya, ia pun tersenyum kegirangan.


"Bisa aja kamu".

"Yaudah, Tante bikin lemon tea aja ya?". Lanjutnya menawarkan

"Iya boleh Tante".

"Kalo boleh Jico nawar, Jico jangan di kasih gula ya, Tante. Biar si Asmara aja yang tersenyum ketika Jico mau minum, sebab rasa manisnya ada pada dia." 

"Ayaaaaang..." Papa-Mamahnya kembali 


lagi terhibur.

"Aku bantuin ya Mah". Pinta Asmaradiya membuntuti Mamahnya.


Obrolan lelaki selalu nyambung saat mengobrol, alias satu frekuensi. Tidak mengenal muda atau tuanya. Berbagi cerita dan pengalaman adalah sesuatu yang berharga menurut kaum Adam.

Sang ayah mulai tertarik dengan lelaki yang ada di depannya, sebagai pacar dari anaknya. Jico yang tadinya gugup ketika berhadapan dengan seorang ayah dari pacarnya, kini ketika ia menanyakan asal dan nama orangtuanya. Lalu dengan lantang, Jico menyebutkannya secara jelas. Papa dari pacarnya pun kaget, mendengar Nama ibu Jico ialah, Rummy Az-zahra. Dan nama almarhum ayahnya adalah Ali Andrean. Dan ketika menyebutkan nama tersebut, baginya sudah tak asing lagi mendengar nama tersebut. Ia ingat ketika dulu masih kuliah 


di Jepang. Serentak Papa dari pacarnya ini langsung memanggil sang isteri, yang sedang membuatkan jamuan. Sang isteri dari Hikigaya pun terlihat gembira mendengar nama tersebut.


"Jico, yang kau katakan itu benar kan? Nama ibu mu Rummy seorang dokter?".

"Iya Tante, benar."

"Kami-sama... ternyata benar, dunia itu sempit ya, Pah? Tersenyum menoleh kepada suaminya.

"Bolehkah Tante minta nomor telpon Ibumu?". Jico pun memberinya


Melihatnya bahagia. Jico tidak tahu apa yang akan terjadi, ketika videocall dijawab. Mereka saling bergembira, asyik menanyakan kabar masing-masing. Sudah masuk ke dunia mereka yang dulu bangun bersama-sama. Menceritakan tentang mereka yang dulu berjuang 


bersama, menempuh pendidikan yang jauh di negara orang. Ibunya Jico dulu seangkatan Mamahnya Asmaradiya sekaligus teman susah-senangnya, satu jurusan di Universitas Tikyo. Sudah puluhan tahun mereka tak berbagi kabar, akhirnya di pertemukan dan di ceritakan kembali oleh anak-anaknya.

Mereka banyak bercerita tentang Jico disini, yang sudah menjadi pacar anaknya. Dan ibunya Jico pun tidak tahu, bahwa temannya dulu yang selama ini ia rindukan mempunyai anak perempuan. Waktu telah di pertemukan, kebahagiaan akan datang bersamaan. Begitu pula papa nya Asmaradiya, sekaligus juga teman almarhum ayahnya Jico di kampus dulu. Dan akhirnya mereka ikut belasungkawa atas kepergian ayahnya Jico, Ali Andrean. Yang sudah tiada.


"The right time, ya sayang". Asmaradiya 


tersenyum

"Apa sih gak ngerti". Jico tertawa

"Ihhh... Nyebelin banget sih."

"Maka dari itu, kamu tercipta untukku".

"Aku mencintaimu, Jico Andrean". Bisiknya, dan tersenyum bahagia.


Takdir mempertemukan kita berdua, dan sudah menjadi catatan dari-Nya untuk menyatu bahagia.



KETAKUTAN


Dari kecil, kelebihan Asmaradiya bisa melihat hal-hal tak kasat mata. Bahkan ketika beranjak dewasa, Mamahnya meminta bantuan ke Pendeta untuk menutup mata batinnya agar tidak terganggu oleh makhluk-makhluk halus. Asmaradiya merasa lelah dengan memiliki kemampuan penglihatan tersebut. Karena 


setiap harinya selalu melihat makhluk yang buruk rupa, yang menakutkan. Membuatnya selalu berteriak histeris ketakutan dimanapun sosok itu bermunculan.


Tengah malam, tepatnya pukul 10:47. Asmaradiya tergesa-gesa menelpon Jico kekasihnya, ia terus menangis dan selalu menyebut namanya. Meminta untuk datang ke rumahnya sesegera mungkin. Jico kaget, kekasihnya menangis kencang dengan senggukan yang tidak biasa di dengarnya. Ia langsung bergegas menuju ke rumahnya.

Asmaradiya yang sendirian di rumah, kunjungan Papa-Mamahnya yang kemarin, kini anak semata wayangnya itu di tinggal kembali karena sibuk kewajiban perkerjaan yang padat di negara asalnya.


"Aku takut sayang..." Membuka pintu 


langsung memeluk Jico menangis ketakutan.

"Kamu kenapa sih, ngagetin aku aja. Kamu nangis kenapa, Belum makan, apa belum aku kasih ciuman?". Mencoba menenangkan dengan guyonan

"Jangan becanda terus sayang. Aku serius."

"Iya iya kenapa, coba cerita. Udah jangan nangis lagi ya..." Mengelus-elus rambutnya agar tetap tenang


Asmaradiya pun menjelaskan. Ia melihat sebuah sosok di pojokan lemari kamarnya, sosok besar dengan berambut gimbal, bertanduk, mata yang keluar merah menyala, dan memiliki taring yang panjang tertawa kepadanya, lalu dengan kedua tangan yang sangat besar itu, seperti meraih leher untuk di cekiknya.

Jico tak percaya dengan omongan kekasihnya ini, ia merasa terhibur, cekikikan atas cerita yang ia ucapkan. 


Seperti orang yang sakaw terkena sugesti, mengigau melihat hal begituan. Asmaradiya jengkel karena kekasihnya telah menyepelekan cerita darinya, hingga tertawa lepas yang mengatakan seperti karangan cerita darinya. Memang Jico sudah tahu, dan ia sadari meski belum percaya terhadap supranatural. Mungkin di karenakan tidak pernah merasakan di posisi kekasihnya saat ini. Jico meminta maaf karena terlalu berlebihan atas candaanya. Dan ia mencoba menenangkan kembali kekasihnya yang dari tadi menangis terus-menerus. Jico mencoba menanyakan keingintahuannya tentang kelebihan yang di milikinya, dan sejak kapan kekasihnya itu mempunyai mata batin atau bisa di sebut indigo. 


Kala itu saat masuk SMP, ketika sang ibu masih menemaninya disini, padahal Asmaradiya sudah menutup mata 


batinnya, berharap sampai sekarang dan seterusnya tidak mau bahkan jangan pernah lagi melihat hal begituan. Tapi ternyata sekarang ini ia bisa melihatnya kembali dengan jelas, para bangsa jin yang terlihat menakutkan di matanya. Karena sebagai kekasih yang selalu ada, Jico menyarankan padanya untuk memperkerjakan MRT, supaya bisa menemani kesendirian dan membantunya mengurus rumah. Akan tetapi ia tetap tidak mau. Yang ia ingin, dari kesendiriannya ini belajar untuk mandiri dalam segala hal, dan tidak manja. 

Jico hanya nyengir terkagum, dan mencoba memberi pondasi padanya agar jangan pernah takut lagi pada sosok hal-hal begituan. Membandingan dan mengokohkan kepadanya sebuah makhluk, pada dasarnya manusia lah yang lebih sempurna ciptaannya di dunia ini.


"Aku pengennya di temani kamu." Lirihnya yang kini sudah tenang

"Benar sekali sayang. Malam ini akan menjadi kesempatan buatku..." Jico tertawa

"Emang niatmu mau nyari kesempatan kan?". Tambah Asmaradiya dengan cubitan.


Jika kau tertawa, aku bahagia.

Jika kau menangis, aku pun teriris.


"Tapi aku takut, sayang..." Lirihnya kembali memeluk Jico dengan erat.

"Makanya kalo hari minggu tuh ibadah. Lha... kamu malah ngajak main mulu ke aku. Durhaka banget pada Tuhanmu yang gak pernah lihat kamu setor muka ke Gereja". Canda Jico tertawa

"Emang aku juga pernah lihat kamu sholat, Kan nggak, yeee...". Tidak mau kalah terhadap kekasihnya, membalasnya 


dengan menjulurkan lidah. 

"Mulut siapa itu yang ngomong".

"Aku..." Asmaradiya yang mesem-mesem

"Kalo jumatan, aku selalu ada di masjid kampus, kan?"

"Ya itu hari jumat doang. Orang kain juga tahu, tapi dengan 5 waktunya, kamu kemana? Emang aku pernah lihat kamu di kost-an sholat? Bangun aja kesiangan mulu."

"Hahahaha..." Jico hanya tertawa

"Aku laporin ke Ummi, biar kamu di marahin abis-abisan olehnya, yang gak pernah sholat".

"Yeee... jangan. Ummi bakal ngamuk dateng ke sini nanti".


Asmaradiya tertawa bahagia, terhibur akan kekasihnya yang sudah menemani kesendiriannya di rumah.

Hunian tersasa nyaman ketika sepasang kekasih saling berbagi canda dan tawa.



"Tapi aku masih takut, sayang". Lanjutnya yang masih memeluk erat Jico.

"Yaelah...Udah jangan takut. Yang kayak gituan mah pada takut lihat mukaku, mereka juga pasti pada jiper".

"Berarti muka kamu lebih serem dong dari mereka?" Asmaradiya terhibur akan leluconnya

"Nah gitu aja ibaratnya.... Jadi, kamu harus takut ke muka aku aja, jangan ke hal-hal begituan, yaa?" Tegasnya.

"Iya aku takut. Takut, kalo tidak melihat mukamu lagi di dunia ini". Asmaradiya menoleh dan tersenyum kepadanya

"Kok gue jadi baper sih". Jico tersipu malu

"Bilang apa kamu? Gue....gue... inget ya, aku ini p-a-c-a-r. Sopan dikit apa, harus bilang a-k-u". Mengeja setiap kata tersebut 

"Iya iya rewel bener nih anak"

"Kok kamu yang marah sih..."


"Iya iya maaf".

"Cuma iya maaf doang, udah?"

"Yaudah ayo ke kamar, kita tidur bareng."

"Hahaha... ayo siapa takut."


Asmaradiya tertawa lepas, ia terhibur akan kehadiran Jico yang selalu menemani di sisinya. Menghilangkan ketakutannya menjadi kekuatan, menciptakan tawa menjadi bahagia.

Jico menemani Asmaradiya hingga terlelap pulas. Memindahkan Asmaradiya yang tadinya tertidur di pangkuannya, memopongnya ke dalam kamar. Jico menunggu di luar, berjaga-jaga agar tidak terjadi apa-apa lagi padanya. Tadinya, ia berniat ketika Asmaradiya sudah tidur kembali,ia akan langsung pulang. Tetapi ia takut Asmaradiya terbangun lalu mencarinya kembali. Demi sang kekasih, Jico melawan lewati malam hari dengan sendiri, hanya di temani segelas kopi panas sembari bermain game untuk ia 


terjaga.


"Ayaaaang..." Benar fikirnya, pasti dia terbangun kembali dengan memanggil

"Iyaaa...." Sahut Jico lalu menghampiri ke kamarnya

"Jangan di luar, di sini aja temani aku"

"Hadeeehhhh. Aku takut terjadi". Jico nyengir

"Terjadi apa, sayang?"

"Nih dengerin. Kamu sekarang itu udah di mode tempur bagi aku. Apa? Kalo pake kacamata dan pakaianmu yang normal, mode imutmu membuat mataku tidak mau berpaling. Tapi kalo kacamatamu di lepas, itu membuatku ketakutan, takut nafsuku hilang arah. Jika kamu tahu, sampe ku tahan dari tadi air liurku melihatmu seperti ini, untung saja tidak tumpah."

"Lihat aku kayak gini, kamu nafsu?" Asmaradiya merayu memandang wajahnya sangat dekat sekali.


"Hadeeehhh... cowok siapa yang gak munafik, berduaan di rumah gak ada siapa-siapa lagi, cuma kita berdua. Dan..."

"Dan...."

"Dan piyamamu juga menggoda ." Tanggap Jico mengalihkan

"Ayooo..." Rayuan dari ajakannya semakin memuncak

"Ayo apa?"

"Ayo...mau nggak, sayang?" Tersenyum, terus menaik-turunkan kedua alisnya

"Serius ini?" Jantungnya berdegup kencang

"Astagfirullah.... Nggak ah. Belum waktunya, sayang..." Komat-kamit di dalam hatinya terus menahan

"Hahahaha... kuat juga iman kamu".

"Udah ah, ayo lanjut lagi tidurnya" Ujar Jico

"Iya sayangku..."


Debar jantung Jico yang tak normal degupannya, ia berusaha sekuat tenaga agar tidak tergoda oleh rayuan 


kekasihnya. Jico tahu, dia hanya bercanda untuk menggodanya. Bukannya munafik akan rayuan tadi, tapi Jico teringat dengan kata-kata Ummi nya yang selalu tengiang-ngiang di kepalanya sebagai peringatan dan mengingatkan.

Jangan pernah mengambil hak dalam diri orang lain, sebelum berlaku bagi hukum syariat. Dengan kata itu Jico bisa bertahan, meski kelakuannya bandel dan urakan, hanya kepada seorang wanita ia sebisa mungkin menghormati.

Jico mengalihkan pembicaraan tersebut dengan bercerita saat ia kecil, yang dulu sering di marahi oleh Ummi-nya karena kelakuannya yang bandel, dan almarhum Ayah-nya pun menjadi sosok penyempurna, alias pemberi nasihat baik agar jangan terpicu oleh nafsu. 

Waktu itu Jico di suruh memilih antara pupuk dan setangkai bunga oleh ayahnya, Jico pun lebih memilih bunga. Karena 


bunga menurutnya lebih terlihat indah dan harum ketika bermekaran dari pada pupuk yang terbuat dari fermentasi kotoran hewan. Akan tetapi sang ayah menjelaskan dengan bijaknya; Takkan pernah tumbuh dan harum setangkai bunga jika tidak ada pupuk yang menjadi pendampingnya. Jadi, nikmati prosesnya, dan hormatilah yang menjadikan dirimu seorang yang berharga, menurutnya.

Asmaradiya pun terdiam dan terharu mendengar kisahnya dan almarhum Ayah Jico ketika ia kecil. Seperti dongeng pengantar tidur yang menemani kesunyian di kala gelapnya malam, dan rasa kantuk itupun mengetuk kembali akhirnya Asmaradiya pun tertidur dengan kedamaian hati. 



SEMESTINYA


Pagi menjelang tiba, Asmaradiya terbangun dari tidurnya dan sang kekasih masih tetap terjaga menunggunya di ruang tamu yang sedang menonton kartun favorit di layar ponselnya. Dan selalu menjadi kebiasaanya di temani secangkir kopi yang menjadi partner ia terjaga.


"Selamat pagi sayangku... orang yang paling ku sayang dan paling Nyebelin di semesta. Eh, Kamu belum tidur ya?"

"Kayak anak kecil aja nonton anime. Sekali-kali drama romantis kek, biar gak nyebelin. Atau nonton ceramah, biar kamu tobat rajin sholat". Lanjut ucapnya sembari menghampiri Jico yang sedang duduk di sofa.

"Pagi juga...." Jico yang sedang fokus menonton

"Culas amat sih. HEH!"

"Iya iya maaf, aku sedang fokus nih sayang. Bagaimana caranya dengan satu pukulan bisa menumbangkan seseorang. 


Biar aku bisa melindungimu dari suara-suara yang membuatmu menderita". Lanjut Jico menoleh dan memegang dagu Asmaradiya.

"Udah gila pacar gue. Udah deh... pagi-pagi jangan ngegombal, gak mempan sama sekali sama aku mah. Inget juga kamu tuh udah gede. Jangan banyak ngayal karena nonton anime, sayang". Asmaradiya membelai wajahnya.

"Ngayal kan gratis. Terserah aku dong. Lagian yang tua juga banyak yang nonton..."

"Nonton anime ini? ". Menunjuk ke layar ponsel Jico

"Bukan yang ini. Tapi, video pemersatu bangsa". Jico tertawa

"Ihh...Dasar nyebelin." Mencubit hidung Jico

"Oh iya, kamu asli dari Jepang, masa gak doyan nonton anime sih, aneh banget."

"Aku sekarang orang Indonesia. Dan aku 


sukanya sama kamu doang, gak ada yang lain, titik." Senyumnya yang terus melekat menatap wajah Jico.

"Ya Allah, Jiejie... bisa-bisa aku tergila-gila ini mah" Terdengar nyaring saat kopinya terseruput.

"Ihhh... jangan bilang itu, aku bukan orang China"

"Lha... sama-sama sipit, kan?"

"Nyebelin banget sih jadi orang". Pipinya mengembang layaknya bakpau yang hangat.

"Tapi suka?" Jico menatap lekat wajahnya

"Nggak.... wleee". Menjulurkan lidah

"Yaudah."

"Kamu marah sayang?"

"Ih baperan. Sayang... jangan marah, maafin aku". Lanjut dengan kebiasaanya yang gampang cengeng.

"Aku gak marah sayang... Udah jangan nangis, belekmu nanti kering, lho". Canda Jico yang membuatnya kembali tertawa


"Nyebelin banget sih kamu..."

"Udah buruan mandi dulu ah sana. Nanti aku bikin sarapan deh buat kamu". Ujarnya tersenyum menawarkan

"Gak salah denger nih aku? Emang si paling Nyebelin ini bisa masak? Serasa di bohongi anak biawak?". Mendekapkan tangannya ke mulut.

"Kagak percayaan banget sih jadi anak. Udah buruan mandi."

"Yaudah, ku tunggu menu spesial darimu sayang". Asmaradiya bergegas mandi.


Meskipun lelaki, Jico juga bisa masak sendiri. Tidak masalah baginya, apapun bahannya yang ada di depan mata. Ia bisa membuat menu yang enak. Baik sayur-mayur, maupun lauk pauk lainnya. Jico sudah terbisa memasak saat duduk bangku SMA, ia belajar pada bibi nya saat di kampung halamannya, bagaimana cara perpaduan bumbu yang pas dan lezat agar 


bisa di nikmati dengan lahap. Karena inti dari masakan ialah bumbu yang menyedapkan rasa.

Jico menyiapkan menu buat kekasih tercinta dengan menghidangkan tumis jamur kesukaannya dan telur dadar sebagai pelengkapnya.

Setelah selesai mandi Asmaradiya berteriak, aroma dari masakan Jico tercium sangat lezat. Ia langsung menghampiri ke meja makan dan ia kaget, kekasihnya yang nyebelin ini ternyata bisa memasak juga. 


"Ayaaaangg... kamu idaman banget sih". Asmaradiya kagum

"Lha... Kamu baru nyadar bahwa aku lelaki idaman?".

"Tapi masih nyebelin sih." Asmaradiya tertawa

"Sayang, berarti kamu bisa masak semua menu dong?". Lanjut bertanya


"Tergantung bahannya sih. Yang penting jangan daging babi, karena har..ruammm". Jico tertawa dengan logat pelancongnya.

"Hahaha... nanti aku prank kamu biar mau makan daging itu" Tawanya yang menawan, lepas terbahak-bahak.

"Aku juga prank balik, aku kasih kamu daging anjing, mau?"

"Jahat banget sih kamu..."


Mereka tertawa dengan lelucon tersebut. Dan lanjut untuk sarapan bersama, menikmati masakan Jico yang menggugah selera. Asmaradiya mengakui masakan Jico sangat enak, ia pun ingin belajar padanya memasak menu yang belum ia bisa.

Setelah mereka selesai sarapan, bel rumah berbunyi, pertanda seseorang datang untuk bertamu. Ketika Asmaradiya membuka pintu, ia terkejut. Ternyata tamu tersebut adalah Jatniko.


Jantiko memberi sapaan selamat pagi dan beralasan menanyakan motor siapa yang parkir di depan rumahnya yang sudah menghalangi mobilnya untuk masuk. Motor tersebut kepunyaan Jico, pacarnya. Dan Asmaradiya menjawabnya dengan dasar apa mobil Jatniko yang ingin masuk tanpa di berikan izin olehnya. 

Saat melihat ke ruang tamu, Jatniko terkejut dengan adanya Jico yang sedang duduk. Ia langsung menggubrisnya dengan pertanyaan yang tak mengenakkan hati. 


"Heh... lo yang punya motor di depan kan?! Parkir motor jangan sembarangan kalo di rumah orang. Mobil gue susah buat masuk".

"Lha... lo siapa? Dateng-dateng sewot kek banteng mau nyeruduk kandang aja lo" Jawab Jico dengan santai

"Oh.. gue tau  lo pasti abis nginep di sini kan? Abis di apain si Asmara semalem, 


HAH?!". Jatniko emosi dengan nadanya yang semakin meninggi.

"Heh! Lo kalo punya mulut di bersihin dulu deh, biar gak bau kalo ngomong. Dan lo siapanya si Asmaradiya sih, berani banget nyeramahin gue!". Jico terpancing emosi

"Bangsat! Ngajak ribut lo rupanya?!". Jatniko menyerobot

"DIAAAAMMM...!!!". Teriak Asmaradiya, dan semuanya terdiam.

"Lo ngapain sih pagi-pagi dateng kesini! Udah bertamu ke rumah orang, ngamuk-ngamuk gak jelas. Lo kenapa? Alesan gak bisa parkir mobil lah, nuduh orang yang nggak-nggak. Elo itu tamu! Harus punya etika dong!".

"Yang di depan lo itu, dia pacar gue. Inget, dia PACAR gue! Dia yang punya motor, terserah dia dong mau parkir dimana kek. Ini rumah gue, dan rumah bagi dia juga!"

"Dan satu hal lagi! Gue gak pernah nyuruh lo dateng ke sini. Dan gue gak mau nerima 


tamu cowok kayak lo". Lanjut Asmaradiya yang terus nyerocos 

"Ohh... jadi ini pacar lo itu" Masih sama dengan nada yang tingginya yang mulai songong

"IYA! DIA PACAR GUE. SEKALIGUS CALON SUAMI GUE. DAN YANG GUE MINTA SEKARANG LO PERGI DARI RUMAH GUE, SEKARANG JUGA! PERGI...!!!" Asmaradiya mulai geram terhadap Jatniko dan ia menangis

"Oke, gue balik. Dan ingat kata-kata gue. Lo pasti bakal nyesel berhubungan sama dia, Asmara. Lo belum tau bangsatnya dia kek gimana.". Ucap Jatniko menunjuk  ke arah Jico yang diposisi santai.

"Heh. Lo tuh ya... Udah tampang bencong, ngomong juga banyak cingcong."


Jico langsung berdiri dan mendekap Asmaradiya yang sedang menangis. Serentak Asmaradiya menghentikan 


pergerakan Jatniko yang ingin memukul Jico yang sedang memeluknya. Saat itu juga Jatniko pun bergegas langsung pergi keluar untuk pulang dan terus mengancamnya.

Jico penasaran kepada lelaki banci ini, yakni Jatniko. Bertanya pada kekasinya, ada hubungan apa sehingga ia bisa tahu kenal dengannya. Asmaradiya pun menceritakannya dengan sangat rinci dan jelas.


"Ohh... Si Bencong itu teman masa kecilmu. Yang terus berharap ingin jadi pacarmu, tah? Hadeeehhh..." Jico menggelengkan kepala


Asmaradiya yang terus menangis, meminta maaf karena tidak terus terang pada kekasihnya. Ia sangat kesal, karena Jico terus di tuduh yang aneh-aneh olehnya. Dan berjanji, suatu saat ia akan 


menggubrisnya, agar tidak lagi mengganggu kehidupannya sekaligus hubungannya dengan Jico. Akan tetapi Jico mencegahnya dan menyarankan untuk tidak balas dendam. Yang ia hanya inginkan cuma cukup percaya saja padanya.


"Udah jangan nangis sayang. Kamu gak perlu denger suara-suara lain tentang aku, tentang hubungan kita. Kamu cukup percaya sama aku, cuma itu doang yang aku minta. Dan satu hal, jika ada seseorang yang menyakitimu, tubuhku terasa mendidih. Akan ku ratakan orang itu. Jangan nangis, ya... Aku sayang kamu". Lirih Jico menenangkan, dan Asmaradiya menganggukkan kepala.

"Pake kacamatanya, biar mode imutmu tetap terjaga. Aku suka berpikian jorok kalo kamu udah di mode tempur tuh." Menghibur dengan candaanya.


"Ihhh, Ayaaaang... Nyebelin".


Asmaradiya tersipu malu. Tangisnya mereda karena kekasihnya senantiasa selalu menghiburnya dengan berbagai cara yang ia lakukan. Selalu saja membuatnya tersenyum manis, saat kekesalannya yang sedang memuncak. Dan baginya Jico adalah rumah untuknya berteduh.


Cinta bukan hanya sekadar kata

Melainkan tingkah laku yang nyata

Meleburkan semua beban duka

Cinta itu menyejukkan

Bukan menyakitkan

Cinta itu memiliki

Bukan untuk di sakiti

Dan cinta itu satu

Bahagia yang di tuju


HARAP



"Permintaanku hanya sederhana. Buat oranglain merasa cemburu ketika aku di sampingmu".


Waktu itu Asmaradiya berjanji akan menaiki motor Jico (Roger-nya) untuk jalan-jalan mengelilingi jalan raya kota. Jico pun mengajaknya, kemanapun arah tujuan mereka yang terpenting kemanapun roda berjalan, mereka hanya ingin menghabiskan waktu berduaan dengan bahagia. 

Bagi mereka, macet terasa dunia milik berdua. Bercanda dengan seperti biasanya, waktupun telah di kuasai oleh mereka berdua. Jico menjahilinya dengan mengelus-elus lutut Asmaradiya hingga geli, Asmaradiya pun selalu memukul helm Jico karena ke usilannya.

Debu polusi menjadi pengisi nafas laju mereka, dan cuaca panas menjadi semangat api dalam perjalanan mereka.



"Sayang...Aku punya tebak-tebakan nih." Ucap Jico sambil menyetir

"HAH?!" Sahut Asmaradiya yang tidak kedengaran

"Aku punya tebak-tebakan!". Jico mengulangi

"Iyaaaa...."

"Hadeehhh! Malah iya doang! Budek banget sih cewek gue!". Jico kesal

"Hahahaha... maafin aku sayang. Gak kedengeran sumpah. Kamu ngomong apaan?!". Asmaradiya tertawa

"Apa bedanya, kamu... sama 1,3,4,5?". Jico bertanya

"Hmmmmm...apa tuh. Gak tau sayang". Menyondongkan kepala ke pundak Jico

"Gak ada dua nya...".

"Dih! Inget udah kumisan. Jangan kek anak kecil tebak-tebakan mulu".

"Tapi suka, kan?!" Tanya Jico

"Iyaaaaa... aku sukaaaaa!. Teriak 


Asmaradiya


Saat dalam perjalanan mereka berdua belajar sekaligus mendapat pelajaran hidup. Asmaradiya yang lugu, hatinya memahami, betapa kerasnya hidup di jalanan, melihat keadaan banyaknya orang mencari nafkah dengan berbagai macam cara. Seperti macam-macam pengamen, menjual suara demi logam mulia, dan anak-anak kecil yang seharusnya sekolah, menikmati bebasnya bermain dengan teman se-usianya, kini memiliki tanggung jawab yang mulia meskipun panas bahkan hujan menyirami, mereka semangat berlarian menawarkan tissue dan alat-alat kebutuhan lainnya. Dan melihat sosok ibu-ibu tua yang renta berjualan, dengan matanya sudah rabun dan mungkin berdiri menyangga dagangan saja pun setengah mati, yang seharusnya menikmati masa tuanya dengan damai, tetapi keadaannya 


yang memaksa seperti itu. Ketika sepasang kekasih ini menghampiri untuk membeli dan bertanya tentang keadaannya. Ibu tersebut menjawabnya hanya dengan kata ikhlas. Yang terpenting baginya cuma di beri sehat dan bisa bergerak saja udah bahagia.

Dua sepasang kekasih ini akhirnya mengerti, meskipun sudah tua niatnya ikhlas dan pasrah dengan segala cobaan. Padahal kebanyakan yang se-usianya di atas 80-an lebih sudah tidak lagi bahkan mungkin cuma hanya bisa duduk dan berbaring saja. Akan tetapi mereka salut pada sosok ibu tua yang di temuinya ini, dikatakan jauh dari penyakit karena banyaknya bergerak.

 

Ketika melanjutkan lagi perjalanan, ditengah perjalanan, gerimis pun mulai turun. Mereka akhirnya berhenti dan berteduh di sebuah warung.



"Pas sekali, aku ingin ngopi dari tadi". Ujar Jico menuju warung dan memesan. Sedangkan Asmaradiya memesan mie rebus.

"Gak ngopi, serasa mati". Celoteh Jico ngomong sendirian sambil cengengesan.

"Lebay banget, si Nyebelin". Memukul bahu Jico

"Lha... emang kata filsuf kopi kek gitu". 

"Filsuf-nya yang nyebelin berarti". Asmaradiya tertawa

"Aku laporin ke pecinta kopi seluruh dunia, biar banyak yang ngehujat kamu". Jico menyeruput kopinya yang masih panas itu.

"Silahkan laporin, aku gak takut. Ada kamu yang membelaku, yeeee..." Menjulurkan lidah


"Ya Allah... HEH! Itu cabe udah banyak, malah di tambahin lagi sama bubuk cabe. Dan itu saus nya, Ya Allah... Kamu kan 


suka sakit perutnya. Kebiasaan!"  

"Lagian kenapa sih, doyan banget makan pedes?". Lanjut Jico memarahinya, seraya menghentikan tuangan saus yang sudah luber di mangkuknya.

"Kan waktu itu aku lagi haid, Sayaaaang. Makanya perut aku sakit."

"Dan lagian udah jadi ras cewek kali, makan yang pedes. Segini juga belum pedes kata aku mah". Ucap Asmaradiya tertawa.

"Udah gila cewek gue" Menggelengkan kepala.

"Makanya aku ingin haid lagi, terus makan yang pedeeees... banget. Biar aku bisa mukulin kamu terus." Di makannya mie yang sudah ternodai dengan warna merah itu olehnya.

"Yang penting jangan mumpung-mumpung. Kasihan pedagangnya, nanti rugi". Jico tertawa

"Ya enggak lah, Nyebelin." Memukul kembali bahu Jico. Sedangkan kunyahan 


mie itu masih tetap terdengar.


Tidak sengaja mereka berdua melihat ke arah halte angkot. Pengamen berkarakter badut yang duduk bersandar di tiang sedang melamun dan berteduh karena hujan. Dan ketika topengnya di buka, pengamen lelaki bertopeng tersebut menangis. Jico yang melihatnya heran, langsung menghampirinya.

Sedangkan Asmaradiya masih menunggu di warung, melihat pacarnya yang menghampiri pengamen tersebut.


"Sayaang... kenapa dengan pengamen itu?" Tanya sang pacar penasaran


Jico menceritakan yang terjadi dengan pengamen badut itu, ketika tahu rahasia di balik topengnya belum tentu selalu tersenyum seperti gambar karakter topengnya. Pengamen tersebut 


menceritakan, ia biasa sering joget-joget di lampu merah bahkan berkeliling menuju rumah-rumah. Dari pagi ia belum mengantongi sepeser pun kepingan koin, ia tidak tahu harus berkeliling kemana lagi, sedangkan sekarang sore ini hujan sangat deras. Mungkin sangat berat terpikirkan olehnya, tidak tahu harus dimana dan entah bagaimana nanti. Ia hanya memikirkan nasib keluarga dan anak-anaknya di rumah, takut tidak makan hari ini, karena ia belum mendapatkan uang. Jico yang tidak tega dan merasa kasihan mendengar keluhan pengamen lelaki itu, ia menyisihkan sedikit rezeki tanpa di ketahui olehnya, kedalam topengnya tersebut. Cukup untuk keluarganya bisa makan untuk hari ini, lirih dalam hati Jico.


"Dengerin aku sayang. Aku rispek pada bapak-bapak bercosplay badut itu yang 


ketika ngamen sendirian, dari pada yang sering membawa anaknya yang masih kecil."

"Kamu tahu kan, pengamen badut yang suka membawa anaknya? Kayak tadi, yang kita berhenti di lampu merah sebelumnya? pikiran mereka iti gimana sih, Bukankah orangtua harus melindungi dan mendidik anaknya?".

"Apakah orang-orang melihatnya akan iba? Merasa kasihan ketika orangtua membawa anaknya ikut ngamen? Mungkin sebagian ada yang ngerasa begitu. Tapi kalo aku, hanya ngerasa kasihan pada anaknya, cuma itu doang. Makanya tadi aku nyuruh kamu ngasih ke anaknya aja..."

"Kenapa gak nyuruh anaknya diem aja di rumah? Atau nyuruh bermain dengan temannya, kek? Bahkan lebih baik lagi kalo anaknya udah gede suruh sekolah saja, kalo masih kecil tolong di titipin ke 


saudara nya, atau ke ibunya, neneknya. Jadi, si anak pun tidak perlu tahu profesi bapaknya ketika mencari uang. Bayangkan! Ketika teman-teman seusianya tahu, ketika bapaknya memiliki profesi sebagai pengamen? Pasti bakal ada hinaan. Dan misal jika suatu saat anaknya sekolah, pasti akan lebih parah lagi. Apa peran orangtua gak berpikir kesitu?". Jico yang terus mengoceh dengan pemikirannya

"Udah lah sayang... jangan mencela. Kamu harus berpikir baik, oke?"

"Mungkin udah niat dan jalannya seperti itu. Kita gak boleh seenaknya mengartikan kehidupan mereka. Dan kita cukup dengan memberi kepada mereka dengan ikhlas...". Lanjut Asmaradiya menenangkan.

"Aku tidak mencela sayang. Soalnya dulu di kampung, ketika aku masih kecil, temanku seperti itu, di ledekkin terus karena profesi bapaknya jadi pengamen. 


Aku cuma ngerasa kasihan."

"Udah, udah... sayangku ya? Minum lagi kopinya, ujannya juga mau reda. Mari kita pulang." Ujar Asmaradiya menenangkan hati kekasihnya.


Dan hujan pun reda, mereka kembali melanjutkan untuk pulang. Bagi Asmaradiya, baru kali ini ia merasakan banyak sekali pengalaman yang sangat berharga baginya. Ketika niat yang tadinya hanya untuk menghabiskan waktu berduaan, ternyata di samping tersebut ada kelebihan juga manfaat untuk pelajaran hidupnya. Sepasang kekasih ini, menikmati perjalanannya dengan penuh tawa, canda dan bahagia.


"Jikalau ada orang yang mencela tentangmu, hatiku panas menggerutu. Mereka tidak tahu, baik buruknya dirimu adalah bahagia untukku. Kekasihku... Dia 


tidak tampan seperti Arjuna, dia tidak keren layaknya pria di zamannya, dan dia tidak populer seperti para artis lelaki lainnya. Tapi yang ku suka darinya... Dia itu apa adanya, lelakiku ialah orang yang sederhana. Aku sangat mencintainya". Lirih hati Asmaradiya yang bahagia.


TENTANGNYA


Duhai kekasihku... ketika di dekatmu, aku tak sudi kau tinggalkan. Dan jikalau jauh darimu, aku takut kehilangan.


Pengakuan


Setiap malam aku menangis memikirkanmu. Lidahku kelu untuk mengungkapkan yang terjadi di dalam pikiranku. Aku tak kuasa bila jauh darimu dan tak biasa bila engkau tiada di sampingku.

Kekasihku...


Aku menangis menjerit selalu memanggil namamu, batinku tersiksa diantara pilihan yang ragu. Aku ingin bersamamu, melewati semuanya dengan penuh cinta hingga akhir waktu.

Kekasihku...

Aku memaksamu untuk ikut aku, kemanapun itu. Aku inginkan engkau yang ada di sisiku. Aku benci ada jarak ketika aku bersamamu. Sangat sulit untukku berjarak denganmu.

Kekasihku...

Aku lelah memikirkan semua ini. Aku sudah tak sanggup, yang ku inginkan cuma engkau seorang. Tolong! Bawa pergi aku, agar aku selalu bisa bersamamu tanpa ada orang lain yang mengganggu.


Ketika kami berbincang seperti biasanya, sehabis pulang dari kampus. Entah kenapa, ketika tawamu membuatku haru, candamu membuatku candu, nyebelinmu 


membuatku berteriak keras ingin menangis dalam hati yang tak bisa terima dengan semua kenyataan ini. Membuatku tak bisa berpaling dari wajahmu, sebelum aku mengatakan dengan lantang, lalu apa yang terjadi? Kekasihku ternyata sudah tahu apa yang mau ku ungkapkan yang sedang tersangkut di rongga kerongkongan ini, yang setiap malamnya membuatku bimbang dan tersiksa memikirkannya. 


"Papah-mamahmu kemaren sore mengabariku di telepon. Katanya izin pinjem kamu dulu selama semester-5 ini, untuk kegiatan magangnya agar di sana saja, gak lama cuma 3 bulan. Nenekmu juga rindu katanya. Aku kaget lho sayang. Pikirku, lha... kenapa mereka harus izin dulu ke aku? Dan Papah-mamahmu bilang apa coba? Katanya sambil bercanda, calon isterimu kami pingit dulu untuk sementara 


waktu. Sumpah. Dari ucapan itu, aku jadi malu. Kayak ngerasa jadi suami yang jahat, hahahaha. Ya... kalo aku gak bisa nyangkal apa kehendaknya, sayang. Kamu harus nurut, ya? Mungkin keluarga dan kerabatmu juga disana sangat rindu padamu. Sudah lama kamu tidak kesana, kan? Dan kasihan juga Papah-mamahmu yang rela bolak-balik ke sini, demi untuk bertemu denganmu. Jadi sekarang tinggal kamu yang ke sana, jadikan rindu yang sekian lama tidak menginjakkan di Negara kelahiranmu. Semangat calon isteriku..."  Kata kekasihku, seakan tawanya seperti menahan ketidakrelaan untuk melepasku pergi.


Selalu saja seperti ini, kelemahanku adalah tangisan. Aku langsung menangis sambil memeluknya erat-erat dan tak ingin ku lepaskan selamanya.

Tiga bulan, bagiku serasa 3 tahun. 


Beginikah rasanya meninggalkan belahan jiwa yang tercinta? Tuhan... aku ingin bersamanya selalu, hingga tibanya waktu di jemput oleh-Mu.

Meski terasa berat sekali, aku sepenuhnya meminta izin untuk menceritakan semuanya kembali. Jujur, lidahku masih kaku, tak kuasa meninggalkannya. Setiap malam aku selalu dan selalu saja memikirkannya hingga berderai air mata. Iya, aku anaknya mudah cengeng, ingin selalu di manja, kepada satu-satunya orang yang ku cinta. Tapi tidak dengan sekarang, terasa berat sekali, Tuhan.

Aku selalu berfikir ketika aku disana nanti, apa pola makannya terjaga? Atau siapa yang membangunkan tidurnya ketika kesiangan? Dan aku tidak bisa lagi memarahinya sekaligus memantau ketika ia keseringan begadang? Tuhan... aku bimbang. Aku tidak rela, melewatkan keseharian darinya yang sering 


memanjakanku? Membuatku tersenyum? Membuatku semangat? Dan siapa lagi yang... ahhh! banyak sekali. Sungguh berat sekali Tuhan, aku mengatakannya. Aku tidak bisa....


Kekasihku... bukan hanya luhur pribadimu, tapi dari semangatmu untuk terus mengobati rasa resahku, dengan sengaja kau menghilangkan rasa malu demi aku tersenyum kembali. Menghiraukan hiruk-pikuk orang di sekitar, hingga ketika mereka melihat jadi iri dengan hubungan kita berdua, kan? Oh cintaku... aku tidak sudi engkau di ambil orang. 

Dari caranya yang selalu ada, menyejukan dan menghangatkan dengan candanya yang membuatku ceria semangat kembali.

Kebiasaannya yang tak pernah membuatku kecewa, yaitu selalu membuka kacamataku ketika aku menangis dengan kata-katanya yang sedikit nyeleneh. Tapi dengan cara itulah 


yang membuatku selalu tersenyum kembali bahagia.


Kemarin aku banyak belajar denganmu dari pengalaman kita. Tapi sekarang, aku takut, pasti banyak sekali yang terlewatkan bila tanpamu. Dan itu membuatku duka lara.


Sayapku tak bisa lagi di kepakkan, jika satunya ada padamu yang ku tinggalkan...


Esoknya, saat di bandara untuk mengantar keberangkatanku. Sayup binar di matanya yang menahan tumpahan tangis, berteriak bahwa kau tak rela berjarak untuk menahan rindu padaku, kan? Aku tahu itu sayang, dari caramu memandangku dengan lekat. Dan akupun sama sepertimu. Tangisku sendu, yang tak kuasa jauh dari pandanganmu. Tetap saja engkau mendamaikanku dengan semua 


ucapan tulusmu. Aku tak bisa jauh darimu, itu yang selalu bergema dalam hatiku. 


"Ini bukan akhir. Aku gak meminta lebih padamu sayang. Cukup percaya padaku, dan itulah obat dari segala kerinduanku". 


Ucapanmu yang penuh segala hal, menjadi perisai bagiku untuk banyak hal. Dan tidak ingin ku lewatkan kabar darimu setiap harinya. Akan ku tunggu, kerinduanmu padaku.

Kecupan dan pelukanmu, sangat berat untuk ku lepaskan. Begitu tulusnya kasihmu, membuatku terasa mati bila jauh darimu.


Aku percaya padamu kekasihku. Dan pasti aku sangat rindu akan segalanya padamu, terutama pada nyebelinnya yang kini aku tidak lagi di sampingnya. Ku harap, jika nanti aku pulang kembali, kau tetap 


seperti itu.

Ku kukuhkan kepada semuanya, bahwa dialah pendamping hidupku kelak. Dan akupun belajar untuk bisa menahan rindu padamu, karena jarak yang mengganggu. Karena dirimu, satu untukku. Aku mencintaimu Jico Andrean, kekasihku.

Walau sebuah kaca jendela pesawat menghalangi, pandanganku padamu takkan pernah membayangi.


Tuhan... Jagalah dia untukku di manapun ia singgah, dan aku tetap merindunya.


Singkatnya, Aku mulai kegiatan magang di perusahaan pamanku di Ikkeburo-Jepang, selama 3 bulan. Padahal tadinya niatku ingin magang di sini saja, di Indonesia. Agar aku terus bisa di dekatnya, Jico kekasihku. Dengan terpaksa dan berat hati demi mereka, aku meninggalkannya untuk sementara waktu. Jujur saja, aku tidak 


kuat dengan kenyataan ini, aku dilema. Resah dan bimbang seorang wanita itu sulit untuk menerima. Tapi kekasihku, memberi dukungan dan semangat agar aku bisa menerima keputusan yang diberikan Papah-Mamahku. Mereka menyuruh kegiatan magangku agar di sana saja. Tapi dengan satu syarat, aku bersikeras mau di perusahaan Papah sendiri, dan ternyata mereka berdua tidak mengizinkan, tujuannya agar aku punya wawasan yang luas untuk bersosialisasi dengan banyak orang dan terutama Nenekku yang sangat rindu padaku ingin sekali bertemu, sudah lama tidak melihat wajahku cucu satu-satunya. Ya. Mau tidak mau aku nurut, dan lagipula aku pun rindu kepadanya. 


Ku ceritakan sedikit tentang silsilah keluargaku di sini. Dulu Mamahku ketika kecil lahir dari marga yang berasal dari 


Korea Selatan, lalu pindah ke Jepang bersama Ayah-Ibunya alias Kakek dan Nenekku. Akan tetapi kabar duka dari Kakek sudah lama meninggal, sejak aku masih di sini. Begitupun marga dari Papah yang asli orang Jepang. Kedua orangtua darinya termasuk Ojisan dan Obasan-ku, mereka juga sudah tiada, waktu aku masih dalam kandungan. Karena bencana tsunami yang melanda kala itu di sini. Dan akupun cuma bisa melihat wajah mereka yang terpajang bersih di meja altar rumahku, sekaligus harta terakhir Papah kala berdoa dan mengenang hidup mereka yaitu dari album poto.


Dari lulus sekolah dasar disana, Mamah pindah jadi warga Negara Indonesia untuk sementara, karena tugas kerjanya yang menjadi duta warga Negaranya. Saking kemanjaanku yang berlebihan padanya, karena dulu aku sangat takut bila jauh 


darinya. Dan akhirnya aku ikut beliau hingga dewasa sekarang ini, buktinya aku mampu yang tadinya takut di tinggal olehnya, kini sekarang aku berani hidup sendirian, sekaligus menjajal mental kemandirianku. Meskipun sering ditinggal pulang-pergi, berbulan-bulan bahkan tahunan olehnya. 

Tapi seperti saat sekarang ini, aku lebih memilih tinggal di Indonesia, karena orang-orangnya ramah senyum, mencari teman pun sangat mudah, bahkan merekalah yang ingin menjadi temanku, seperti Hestia dan masih banyak lagi. Dan berutungnya tinggal di Indonesia, aku di pertemukan dengan kekasihku, Jico Andrean dan aku berani bertaruh pada sekian banyaknya lelaki di sini, bila perlu ku bandingkan di belahan dunia manapun, takkan pernah ku temukan lelaki selain dirinya yang satu ini, yang nyebelinnya minta ampun. Dan tentunya satu-satunya kekasihku yang ku cinta dan ku kagumi 


selama-lamanya, dan kaulah pemenangnya, Jico Andrean.

Sangat berbeda jauh dengan kultur di sini 

Meskipun Jepang budaya yang ketat, dalam hal apapun penuh dengan pertimbangan termasuk dalam memilh teman. Dan aku masih ingat ketika kecil dulu, aku punya teman satu-satunya yaitu Miku-chan. Semoga saja dia mengingatku, aku ingin sekali bertemu dengannya lagi.


Karena kekasihku. Sekarang mungkin sudah seharusnya untuk sementara waktu dan sudah sekian lamanya aku tidak menginjakkan kaki lagi di Negara kelahiranku.

Untuk itu, kepada kekasihku. Tunggu aku pulang nanti. Ku rangkai dan ku kemas rapi rindu ini untukmu. Aku akan rindu semuanya yang ada padamu. Aishiteru Jico Andrean, kekasihku.



Kuatkan aku untuk menahan rindu padamu. Jika tibanya nanti, sambut aku dengan kerinduanmu jua...


Irasshaimase. kaerimasu, Tokyo.


TETAP


Tokyo, minggu 24 Mei


Mengaitkan dalam nyanyian-Mu dengan menyebut nama kekasihku, Jico Andrean. Setiap doa aku lantunkan di depan altar. Perjamuanku untuk Sang Kudus, ter-imajinasi oleh wajahmu yang selalu tersenyum padaku, seakan kau ingin meraih dan membelai wajahku, memelukku, menciumku dengan penuh tatapan yang haru dera karena kerinduan yang sangat gila membuat semua saraf jadi tak berdaya. 



Oh Bapa di surga sana... berikan keselamatan untuk kekasihku, Jico Andrean. Jika kerinduanku membuatnya tak berdaya, jadikan aku pula sebaliknya. Ku seru selalu namanya dalam nyanyian-Mu, agar suaranya terus mendengung dalam otakku. dalam keheningan rindu jiwa ini kepadanya, aku mencari berkah darimu dalam bayangan untuk mengisi hari-hariku. Cucuran air mata yang mengalir ketika merindukannya, aku ingin Engkau merekahkan bunga yang layu di dalam hatiku yang penuh bisu. Meminta terisikan oleh namanya seorang dan hadirkanlah ia kepadaku meski bayangan rindunya. Lalu terbangkan aku bersamanya, untuk mengheningkan semua malam. Aku ingin dia mencumbu tubuhku, dan segalanya kupersembahkan hanya untuknya.


Oh Kristus Sang Putera Fajar... indah salib-Mu tergambar oleh kekasihku yang terpatung sedang menangis, menahan segala rasa sakit yang di derita. Demi menebus semua kerinduannya untukku. Buatlah aku tak berdaya, jika nanti aku di sampingnya. 


Setelah ku tersadar, itu semuanya menyakitkan. Aku tidak mau kau menjadi bayangan, Sayang. Yang ku inginkan kau datang dengan wujud penuh kasih sayang. Jadi, jangan menghilang meskipun bayangan, kau itu ilusi terindah yang nikmat ku pandang. Aku rindu padamu... sangat rindu padamu Jico Andrean, kekasihku.


Kemanapun dan di manapun aku berada, aku selalu mengingatmu. Entah kenapa, ketika ingin memulai sesuatu dengan mengaitkan dirimu, semuanya terasa 


mudah menjalankannya. Dengan jarak yang terbentang jauh ini, segalanya aku selalu hadirkan dirimu di sisiku.

Kekasihku... Aku menikmati kerinduan in. Dan ketika di beri persekian detik melamun, aku hadirkan engkau duhai kekasihku. Aku selalu berkhayal sedang  bercanda dan bercinta denganmu. Dan aku tetap menikmati semua ini, kasih...

Aku berjanji, jika ku pulang nanti akan ku persembahkan semua, bahkan segalanya untukmu seorang.


Rindu ini gila, semua indera jadi tak berdaya...


Disini aku rajin ibadah tiap minggu ke Gereja, meski dipaksa oleh Obasan alias nenekku, mau tidak mau, aku harus mau. Karena di depan keluargaku harus kelihatan rajin bukan? Sungguh berdosa sekali aku.


Sudah minggu ke tiga aku meninggalkanmu. Rindu ini semakin bertumbuh layaknya parasit yang terus hidup menyerap nutrisi, sekujur tubuh terasa mati bila tidak bersamamu disini.

Setiap hari kita teleponan bahkan video call, dan masih saja aku semakin tidak berdaya. Setiap kali kita berhadapan, walau dengan perantara layar, kelopak mataku yang hanya segaris ini tetap saja tidak bisa di bendung lagi, susah untuk di kompromi sekuat apapun aku menahan, masih saja batin inilah yang bereaksi seenaknya sendiri, dan aku hanya bisa menangis dan selalu saja menangis ketika melihat wajah dan mendengar suara indahmu itu. Seperti anak kecil yang selalu merengek, berteriak kencang memanggil nama ibunya ketika di tinggalkan. Yang merindukan kasih sayang, bahkan selalu meminta untuk selalu ada di sampingnya setiap saat. 


Seperti itulah aku, kala jauh darimu.


Aku haus akan pelukan tubuhmu yang selalu menghangatkan ketika berderai air mata.


Oh iya, aku dan Mamah pun sering berkabar dengan Ummi-mu lho, sayang.

Ummi sering cerita tentangmu ketika kamu mengabarinya, dan katanya kamu sering curhat tentang kesepian yang setiap hari tanpa aku, kan?

Kenapa kau tidak langsung bilang padaku ketika kita berkabar? Kau itu curang banget sih, tidak mau jujur sekali saja padaku? Jahat sekali kau tidak mau terus terang, kau kenapa sayang?

Tapi aku senang sih, meski ibarat di wakilkan rasa rindu pada Ummi. Sekarang aku tahu, fisikmu yang kuat, tapi tidak dengan hatimu. Bukan? Dasar lelakiku yang nyebelin.



Dan untuk mertuaku, Ummi Rummy. Aku berjanji, suatu saat nanti aku akan bermain dengan anakmu, menginjakkan ke tanah halamanmu. Aku tahu, anakmu jarang pulang semenjak pacaran denganku, kan? Maafkan aku Ummi. Habis anakmu seperti baju bagiku, pelengkap sekaligus pelindung untuk tubuhku. Walau terkadang nyebelin, minta ampun sih... Hehehe maafkan aku. Sekali lagi Ummi-ku, jaga anakmu alias kekasihku hanya untukku seorang, ya....

Ah. Setiap aku berharap, pasti tangisan bahagia ini mengalir dengan sendirinya.

Jadi tidak sabar jika nanti kita semua berkumpul menjadi keluarga besar. Aku sudah siap menjadi margamu. Untukmu mertuaku, ummi Rummy.... Asmaradiya sayang padamu.


Aku pun disini sama, menceritakan 


tentangmu pada Halmeoni (Nenek dari Mamahku). Setelah banyaknya ku ceritakan tetangmu padanya, ia pun ingin sekali bertemu denganmu, sekaligus melihat wajah gagahmu dengan berdiri langsung di depannya.

Ku kenalkan Indonesia juga pada semua sepupuku, terutama pada Paman dan Bibiku, bahwa Indonesia bukan hanya Negara yang kaya akan budaya, tapi Indonesia juga memiliki satu lelaki yang tiada banding, yaitu kamu kekasihku, Jico Andrean.


Tak pernah ku sembunyikan tentangmu pada semua orang. Terutama pada semua keluargaku, bahwa aku bahagia sekali memilikimu. Aku sudah menutup mata dan telinga, cintaku hanya untukmu seorang saja.


Padamu kekasihku, aku selalu merindu. 


Hati ini milikmu...


Hei hari senin! Kembalikan semangatku yang tadi pagi sedang asyik-asyiknya ngobrol sama kekasihku.

Ah! Sayang... Aku masih ingin mendengar suaramu dan melihat wajamu.

Ya Tuhan... Dikira kegiatan magangku di beri keringanan oleh Paman, seminggu cuma bisa masuk 2-3 hari, tetap saja di samakan dengan standar waktu kerja karyawannya. 

Tapi dengan hadirnya peran dia, kekasihku. Yang terus support aku untuk terus melangkah maju, dan aku masih saja terngiang-ngiang dengan kata-katanya yang membuatku kembali bersemangat membara.  ".....semangat terus sayang, jangan banyak ngeluh. Jangan kalah sama ular yang tidak punya kaki, tapi semangatnya bisa terus berjalan kemanapun ia pergi" Katanya tadi pagi 


yang sedikit nyebelin.

"Dan siapa tahu, kamu bertemu dengan seseorang yang bisa membuatmu gembira..."


Dan benar kata kekasihku, saat selesai briefing dan melanjutkan pulang. Aku bertemu salah satu teman lamaku di shinkansen (kereta cepat), yaitu Miku-chan, yang sempat aku ceritakan padamu, kekasihku.

Dan untungnya, Miku juga masih ingat denganku. Yah teman lamaku satu-satunya, akhirnya bertemu. Dia habis kerja sambilan jadi pengisi suara dari karakter anime. Karena Miku seangkatanku, dia kuliah di Universitas Tikyo, Jurusan Desainer. Alumni Universitas yang dulu dipakai almamater oleh Papah-Mamahku dan Ummi-Abinya Jico.

Banyak sekali perbincanganku dengannya, Miku pun sama halnya. Aku bercerita tentang hidupku di Indonesia, dan 


memperkenalkan kekasihku padanya. Ia merasa tertarik dan penuh penasaran, masih banyak lagi pertanyaan yang sempat tertunda untukku. Akan tetapi karena Miku ada urusan penting dengan keluarganya, tidak lupa ia meminta nomor teleponku. Dan jika nanti dia punya waktu, ia ingin bertemu dan mendengarkan ceritaku kembali. Dan kami pun berpisah di stasiun Saitama. 


Ku ucapkan terima kasih pada kekasihku. Berkatmu, semua harapku disini, tersaji.


Seperti biasa, ketika malam tiba aku selalu videocall dengan kekasihku sampai pagi. Gila nggak? Saking rindunya aku yang ingin terus berada di dekatnya, rindu akan nyebelinnya, dan rasa gundahku selalu terhibur olehnya. Ku manfaatkan kebiasaan waktu begadangnya hanya untukku.


Dekat maupun jauh, nyebelinnya itu ketika kami ngobrol walau sekedar lewat maya, dia selalu bilang, dengan candaannya;


"Jangan nangis sayang... mau aku beliin es cream? Atau pancake coklat kesukaanmu? Yogurt? Tiramisu coffee? Burger? Es teh manis sama gorengan di warteg? Apa mie ayam bakso yang pedesnya level 1 juta biar tangismu reda? Apa...? Masih kurang pedes? Ya Allah.... aku tambahin nih levelnya pedasnya jadi 100 juta ya, biar perutmu hancur meledak. Eh tapi jangan lah, kalo perutmu meledak nanti aku sedih, gak bisa ngelus-gelus perutmu lagi. Hahaha. Yaudah, pilih aku aja ya? Biar kamu di manja terus, ok? Udah dong jangan nangis. Jika kau menangis, aku merasa teriris. Jika kau tertawa, aku bahagia. Jadi sekarang tertawalah, tawamu itu mencairkan suasana, sayang. Jika disana ada orang 


yang membuat mu menangis, potoin mukanya, biar aku santet dia dari jarak jauh lagian jangan main-main dengan orang Jawa. Tenang aja, orang Jepang kagak tahu santet. Hahahaha. Bisa-bisanya dia membuat bidadariku menangis, ku tebas lehernya nanti, bila perlu aku ratakan." Katanya yang sering ngomong sendiri dan di jawab sendiri, untuk menghiburku dan dia juga tahu menyebutkan satu-persatu semua makanan kesukaanku, kalau aku orang yang doyan makan. 


Aku memaksa dia untuk tidak pergi kemana-mana saat malam, karena jadwalnya kita berkabar. Kemanapun kegiatan dia di waktu malam, pokoknya harus ada suaraku yang menemani. Kekasihku, sering sekali ngomong sendiri yang tak karuan, dan itu membuatku bahagia sampai tertawa. Tidak pernah 


lepas headset di telingaku, yang ingin terus mendengar suara dan wajahnya, hingga aku terlelap dengan sendirinya. Ya Tuhan... Jahat banget aku. Ku curi waktu malamnya hanya untuk mendengar dan melihat wajahnya saja. Apa aku salah Tuhan? Lantas gelisah menghampiriku, jika dia tak bersamaku. Dan rinduku setiap hari kian tak karuan.

Obat rinduku cuma dia satu-satunya. Dan aku percaya dia sanggup sampai mati mencintaiku, kekasihku dialah lelaki terhebat yang aku miliki. Meskipun kelemahanku sebuah tangisan, tapi dialah yang tau cara menenangkan.


Kekasihku...

Oh cintaku...

Jarak ini menyiksaku

Hampa gairahku jauh denganmu

Sekujur tubuhku kian hari kian membeku

Peluk aku dengan gairah panasmu


Cumbu aku...

Hingga aku tak berdaya di pelukmu

Gapai dan jarahlah surga dalam diriku

Kecuplah bibirku...

Satukan ludah kita untuk menyatu

Ku persembahkan tubuhku hanya untukmu


PERCAYA


Minggu, 31 Mei


Omedetou.... Akhirnya sebulan.

Aku masih bertahan sayang, dan masih ku pegang erat rindu ini untukmu seorang. Letih ku menghitung hari, terjerat dalam rindu yang berat, dan aku masih saja tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis. 

Maafkan aku yang setiap saat berkabar denganmu, aku selalu menangis di depanmu. Karena tangisan wanita sepertiku adalah tangis yang meng-ingin-kanmu, memburu rindu yang tak bisa 


berbuat apa-apa selain menangis dan mengadu padamu. Kau pasti paham kan sayangku?


Andai kau tahu, cinta... Setiap hari yang ku lalui, serasa tersiksa di dalam neraka rindu yang terus menyiksa. Apinya yang meleburkan semua asa, panasnya yang membakar semua rasa. 

Aku ingin mengeluh padamu, tapi kau tetap sangkal aku dengan cara memanjakanku dengan penuh cinta. Jahat sekali engkau kasihku. Kau tak memberiku sekali saja kesempatan.


Kekasihku... cintaku... inilah aku. Aku pun sama halnya denganmu, ingin juga sesekali memanjakanmu. Tapi, memang nyatanya aku tidak bisa dan belum terbisa. Yang aku bisa cuma menangis dan terus saja menangis. Aku wanita payah kan, Sayang? Dan bolehkah aku berniat dengan cara apapun untuk 


memanjakanmu sekaligus membahagiakanmu ketika tiba pulang nanti?


Cintamu yang tulus dan suci, memberikan sebuah kepercayaan yang hebat untukku. Aku pun belajar itu darimu sayang. Tolong, sekali ini saja, beri aku kesempatan. Tibanya giliranku untuk memanjakamu dengan semua tutur kata atau dengan tindakanku jika pulang nanti. Tak pernah ku dengar kata serapah yang terucap di mulutmu kepadaku, tetap saja kau selalu menjaganya dengan baik dan berhati-hati di depanku bahkan tindakanmu sama sekali tak pernah berubah, untuk melindungiku. Aku yang selalu di manja olehmu, sekarang terbentang jauh pun kau masih saja bisa memanjakan dan membahagiakanku dengan berbagai cara. Sungguh lelaki luar biasa.

Aku selalu kalah darimu dengan semua 


perihal itu sayang. Sekali saja, yang ku inginkan adalah kau tidak berdaya bila di depanku. Aku sudah mempersiapkan semuanya untukmu.


Oh iya, kemarin Hestia bilang padaku, kau tidak seperti biasanya, setiap hari tak ada gairah, bahkan semangat pun sudah lelah, dan sering melamun berkepanjangan saat di kampus. Itu semua karena aku kan? Meski aku tidak tahu bagaimana keadaanmu disana, dan tidak tahu kau sedang apa. Tapi ada suara-suara yang memberitahukanku, kau itu tidak sedang baik-baik saja kan sayang? Tolong cerita padaku. Jangan kau sembunyikan rasa sedihmu dengan senyuman yang mengalihkan untuk memanjakanku. Sekali lagi, jangan merasa kuat sayang. Tolong tunjukkan kelemahanmu padaku, jangan terus kau paksa kerinduanmu yang membuatmu merana dan tersiksa. Aku 


tidak mau kau seperti itu sayang. Kau itu lelakiku, dan aku wanitamu yang juga berhak memanjakanmu.


Ku mohon, terus teranglah padaku. Caramu yang tak pernah habis, dan kau seakan merasa ketakutan, karena takut kau berubah, kan? Tidak sayang. Aku adalah kamu, aku lah cintamu dan kau lah cinta pertamaku. Cintaku sudah di habiskan olehmu sampai tak tersisa. Masih saja, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Dan apakah kau masih tak sudi memberiku kesempatan, Sayang?

Baiklah, jika itu mau mu. Aku sudah membulatkan tekad, dengan mempersembahkan tubuhku untukmu. Meski aku tak yakin kau mau, tapi dengan cara inilah aku bisa memanjakan dan membahagiakanmu. Buang jauh, sifat munafikmu. Kau harus mau, dan aku memaksa, jangan pernah menolak 


pemberianku!


Jangan kau sembunyikan lagi kesedihanmu cinta. Tolong, andalkan tubuhku untuk kau bersandar.


Ketika pulang habis beribadah bersama keluarga. Aku meminta kepada Tuhan, semoga kau baik-baik saja di sana sayang. Dan ketika aku berdoa, aku selalu menangis untukmu. Dari pagi tak kunjung datang kabar darimu. Percayalah sayang, aku selalu banyak memikirkanmu. Aku khawatir akanmu, dan aku coba terus mengabarimu dengan berbagai cara, hingga aku melibatkan Ummi-mu. Tetap saja sama. Kau kemana, sayangku? Sekarang aku butuh kamu, aku rindu rindu kamu, dan aku inginkanmu, kekasihku. Jangan bilang tubuhmu sedang tidak baik-baik saja? "Sayaaaaang..." Aku berteriak sekencang mungkin memanggil namamu 


di dalam mobil. Papah-Mamah dan Nenek pun ikut kaget, aku yang menangis berteriak memanggil namamu.


Mereka bilang apa coba, Sayang? Mereka memahami dan mereka tahu, bahwa kerinduanku padamu sudah mencapai batasnya.


Aku takut, sangat takut sekali. Ketika aku pulang sekarang, kau dalam keadaan tidak baik. Aku tidak mau itu, tidak mau sayang...

Kau pun sudah berjanji kan? Ketika aku selesai dengan tugas ini lalu pulang, kau akan menyambutku dengan penuh kerinduan bahagia, bukan? Yang ku harapkan cuma itu sayang.


Tangisku takkan mereda, sebelum kau bersuara.


Aku di kagetkan oleh notif pesan dari 


nomor baru yang mengabariku, dan ternyata itu engkau, Sayang. Rasa khawatir yang tadi memburu, kini seperti tersiram oleh salju. Akhirnya kau mengabariku, dengan memakai nomor teleponnya Rio. Jika kau tahu, aku sangat kegirangan lho, Sayang, ketika tahu tertera nama di akhir pesan darimu, tangisku berhenti seketika. Maafkan aku yang berfikir terlalu dalam untukmu. Aku tidak tahu, mungkin saking paniknya situasi kamu saat ini, karena kabar teman satu kelasmu sedang dalam musibah. Kau sampai lupa membawa handphone mu yang tertinggal di Apartemen. Sesibuk apapun kamu, pasti kau akan mengabariku, kan? Aku percaya itu. Tetap saja kau selalu mengalah sayang, maafmu sudah terlalu banyak untukku. Justru aku yang seharusnya meminta maaf padamu, karena sudah berfikir yang tidak baik tentangmu. Maafkan aku, Cinta... sesalku 


penuh bebal.


Bukan lelakiku, namanya. Jika merasa dirinya selalu benar. Tapi inilah lelakiku. Yang selalu belajar menjadi lebih baik untuk menebar kebaikan kepada yang di temuinya.


Begitu terasa berat sekali perjuanganku. Akhirnya ke dua bulan lebih sudah ku lalui, Sayang. 

Kekasihku... rinduku sudah meluap-luap padamu. Tunggu aku seminggu lagi, dan aku sudah tidak sabar dengan janjiku untukmu.


Facifista Corporation


Banyak yang memujiku ketika di perusahaan tempatku magang dan mendapatkan penghargaan terbaik atas kinerja yang memuaskan. Meskipun 


bucinku berlebihan, tapi kalau soal tanggung jawab dan kewajiban aku selalu fokuskan. Sisi lain, setiap harinya ada kekasihku yang menyemangati. Hehehe...

Aku merayakannya bersama keluargaku. Dan tentunya, kekasihku pun harus tahu dong. Akan tetapi, nyebelinnya itu yang membuatku sangat gemas, serasa ingin mengigit bibirnya. Apa yang dia bilang coba? Dia bilang;


"Omedetou gozaimasu sayang... selamat atas penghargaan terbaikmu. Pertahankan. Bla bla bla". Ucapnya dan baru awal permulaan. Seperti biasanya, dia selalu menyiapkan strategi untuk bikin aku kesel.


"Oh iya. Itukan perusahaan Pamanmu. Ya, emang pantes kamu dapet penghargaan juga. Nih, biasanya kalo anak magang itu pasti kebanyakan jadi kacung, sampai 


kapan pun gak bakal dapet pujian, yang ada hanya suruhan. Wajar, semua karyawan nya pada memujimu. Lha, mereka juga pada tahu kamu Sayang. Dari awal masuk kamu itu sudah jadi anak emas. Makanya mereka memujimu, takut mereka di pecat oleh Pamanmu. Hahaha."


Nyebelin banget bukan?!


Meskipun kekasihku nyebelinnya bukan main. Tapi di akhir cerita, dia selalu membenarkan sebuah fakta. Karena aku tahu, ketika seorang lelaki yang sering bercanda dengan kekasihnya hingga tertawa lepas, percayalah ia sedang meramu bahagia bersamamu. Jikalau tahu dibalik candanya, ia selalu menyelipkan sebuah arti makna. Yaitu, jangan terlalu mudah untuk di puja karena sedang di posisi atas, tapi lihatlah yang membuatmu di atas, sebelum terpuja 


dulunya juga sama-sama membutuhkan, bukan? Bayangin kalau sudah jatuh? Tetap saja tidak dibutukan lagi, alias sekadarnya saja atau mungkin berubah tidak seperti biasanya lagi. Jadi intinya, jangan mengecawakan. Jika sudah membuatnya kecewa niscaya bukan apa-apa lagi baginya. Bukankah begitu maksudmu sayang? Inilah kekasihku, dan akupun banyak belajar darimu.


UNTUKMU SELAMANYA


H-2. Semua laporan sudah selesai ku kerjakan dan tiket pesawat pun sudah di genggaman. Pokoknya beres semua dengan lancar. Begitu senangnya sampai aku kegirangan.

Sudah tak sabar menunggu pulang, rindu akan Indonesia, sangat rindu akan kekasihku yang sudah 3 bulan ku tinggalkan. Rindu yang sudah di ujung 


tombak, padamu duhai kekasihku Jico Andrean. 


Intinya aku ingin surprise kepada kekasihku. Sengaja tidak ku beri tahu tanggal dan waktu kepulanganku padanya. Aku ingin buat dia tak berdaya di depanku, itulah tujuanku.

Lihat saja nanti sayang, aku akan balas  dendam padamu. Dendam rindu yang meredam.


Sebelum pulang ke Indonesia dan sebagai bentuk perpisahan untuknya, Miku mengajakku ketemuan di AI Cafe-Ikkeburo West Gate Park, untuk melanjutkan kembali cerita yang sempat tertunda. Karena waktunya yang terus tersita oleh belajar dan pekerjaan, dia ingin melepaskan kembali rindunya padaku, teman masa kecil satu-satunya. Bisa di bilang, reuni empat mata dengan teman masa sekolah dasar dulu. Hehehe



Dengan menyebut namamu kekasihku, Jico Andrean. Aku menceritakan semuanya tentangmu padanya. Kau adalah lelaki terindah yang pernah aku miliki. Cinta pertamaku, yang tak bisa ku ungkapkan dengan kata, tak bisa ku jelaskan dengan suara. Dengan lantang ku ceritakan kepribadianmu yang luhur, menjunjung dan menghormati tinggi kasta terhadap seorang wanita. Memberikan kepercayaan demi melindungi yang kau sayangi. Lelakiku yang sederhana, lelakiku tiada banding dengan yang lainnya.


Miku terdiam dan terpukau setelah mendengar cerita kisah cintaku yang tulus terhadap kekasihku. Banyak sekali pengalaman dan pelajaran denganmu yang ku ceritakan padanya.

Momen dimana kita di penuhi ke-romantisan setiap harinya dengan 


bahagia. Sama sekali tidak pernah ku ceritakan rasa kecewaku padanya. Memang benar adanya kan? Kau tidak pernah sekalipun membuatku kecewa atau menyakitiku? Kau lelakiku, kelak yang akan menjadi ayah dari anak-anakku.


Banyak sekali dan tak pernah habis topik kisahku denganmu, Sayang. Dan ku kenalkan Indonesia padanya, banyak keragaman budaya dan orang-orangnya yang ramah, murah senyum, saling membantu, dan tak pernah membeda-bedakan apapun itu.

Ketika ku cerita candamu, kebiasaanmu yang melepas kacamataku ketika aku sedang menangis, sampai nyebelinmu semuanya ku ceritakan, Sayang... Tapi jika sekali seriusnya engkau, kau selalu mendamaikan hatiku. Kala itu ketika aku sedang haid, kau sebisa mungkin memintaku untuk tidak mengeluh, karena 


sakit perutku yang melilit, kau tetap saja memamanjakanku dengan mengelus-ngelus perutku dan berkata;


"Mungkin aku tidak tahu sakitnya bagaimana seorang wanita yang sedang menstruasi. Jika bisa, pindahkan rasa sakitmu padaku. Aku ingin merasakan apa yang dialami olehmu. Tak tega melihatmu yang berjuang menahan sakit sendirian. Akupun ingin merasakan itu, Sayang. Aku tahu, sudah kodratnya wanita seperti ini, meskipun fisiknya yang lemah tapi hatinya yang kuat. Maka dari itu, bagiku kau seperti permata yang mahal. Tolong, lampiaskan semua rasa sakitmu padaku, pukul aku sekuat tenagamu, aku ingin meminta rasa sakit yang di deritamu terbagi denganku. Kita sama-sama impas mengalami kesakitan bersama, dan berjuang untuk sembuh pun kita harus bersama lagi."



Aku menceritakan hal berharga itu padanya, Sayang. Miku pun langsung ikut masuk dalam ceritaku, terbuai dengan khayalannya, dan berkata "kawai".

Dan aku percaya diri, untuk kembali menceritakan tentang kita padanya. 

Tak pernah ku tambahkan atau mengurangi cerita kita, sungguh dengan apa adanya. Kau yang mengajariku hidup itu tidak boleh berlebihan atau merasa kurang, bukan? Yang kau ajarkan padaku hanya kesederhanan dan memanusiakan, itu yang membuatku bahagia.


"Nee... bagaimana cara mempertahankan suatu hubungan agar saling percaya, Asmaradiya-san?". Tanya Miku dengan sungguh-sungguh.


Aku jelaskan yang menurutku benar. Aku dan kekasihku tidak pura-pura dalam 


bermain cinta. Aku dan kekasihku bersungguh-sungguh ingin membangun hubungan sebuah cinta, dengan rasa tulus dan apa adanya. Aku dan kekasihku saling memahami, ketika aku marah dengan segala cara dia bisa menenangkanku. Tapi, aku tak pernah sama sekali melihat dia marah-marah atau membentakku. Sama sekali kekasihku tidak pernah melakukan itu. Meskipun aku sudah mengenal karakternya, tapi aku tidak tahu bagaimana ketika marahnya orang sabar, seperti kekasihku. Mungkin pikirnya takut mengecewakan, padahal selama ini ia tidak pernah membuatku kecewa. Sama sekali tidak. Apa yang ia takutkan terhadapku? Kekasihku, cintamu itu memberi ketenangan dan kedamaian untukku. Aku tidak pernah mengungkit siapa masalalumu, dan aku pun tak pernah mempermasalahkan hal itu. Karena kau sedang bersamaku, jadi sekarang akulah masa depan mu. Dari 


kekasihku, semuanya aku belajar. Karena diatas cinta adalah percaya.


Inilah aku. Semuanya telah ku serahkan padamu seorang, kejujuran yang menuntun lidahku tidak kelu. Banyak sekali yang kau ajarkan tentang tingkah laku, maupun berbau hal duniawi, dan semuanya aku belajar darimu. Meskipun kau orang yang tak banyak berbicara tentang "artinya hidup" tapi aku tahu dari cerminan tingkah lakumu yang selalu berhati-hati dalam segala hal, bahkan dalam candamu pula aku selalu mengartikan makna yang berharga. Jadi, yang terbaik itu tidak melulu yang bisa selalu membahagiakan, karena dalam bahagia pun juga terdapat menghancurkan. Tapi, yang terbaik ialah yang tahu bagaimana bisa cara melindungi yang berharga baginya, bahkan menjaga agar tak membuatnya 


kecewa. Menurutku itulah definisi terbaik, semuanya ada padamu kekasihku, Jico Andrean.

Sekali pun itu agama kita beda, tapi yang membedakan itu cuma keyakinan, bukan kepercayaan.


Waktu telah tersita oleh aku dan Miku-chan. Hingga waktu sangat tidak terasa ketika bercerita kisah tentangmu. Masih banyak lagi ingin ku ceritakan padanya. Tapi waktu telah sepenuhnya memihak padaku, ringkas, padat san jelas untuk mengenalkan pribadimu padanya.

Tak berhentinya aku menceritakanmu, Sayang. Dari pagi hingga sore ini, tak lain ku ucapkan segalanya tentangmu dan selalu saja tentangmu, yang membuat Miku salut padaku karena punya kekasih yang paling mengerti, bahkan memberi kepercayaan yang hebat.


"Arigatou Asmaradiya-san. Kau telah memberi pelajaran untukku dari pengalaman lelaki terhebatmu. Aku tunggu undangan pernikahanmu. Aku pasti akan datang di acara bahagiamu nanti. Ini bukan pertemuan akhir dan kita ini teman. Jadi, aku pasti akan selalu rindu padamu temanku. Sayonara... matane.." 


Miku menangis dan memelukku dengan erat. Perpisahanku dengannya akan membuat kenangan rindu yang sangat hebat.

Aku janji, jika nanti aku menikah dengan kekasihku. Undanganku akan sampai ke tangannya. Matane Miku-chan, sayonara...


H-1. Sudah semuanya ku kemas, termasuk pakaianku, tinggal nunggu jadwal terbangku besok pagi. Sebelum perpisahanku dengan keluarga, aku mengajak mereka bertamasya, ke pantai.


Untuk Halmeoni (Nenekku) suatu saat aku akan mengajak kekasihku kesini, bertemu denganmu. Aku pun pasti akan rindu padamu, Nenekku tercinta.

Aku sempat mikir, mau ngasih oleh-oleh apa untukknya. Hmmm... takut dia tak mau menerima, karena kebiasaan dia yang tidak mau dikasih apa-apa dariku. Itu membuatku terbebani sayang. Ya sudah aku putuskan nanti, hadiah untukmu, nanti jika aku tiba disana. Sabar ya, Sayang.

Ummi-mu pun sudah aku kasih oleh-oleh, aku kirim lewat online. Mohon maaf Ummi, aku tidak memberimu secara langsung, maafin Asmara. Hehehe...


Dan akhirnya. Penantian panjang yang sekian 3 bulan lamanya aku meninggalkanmu, finally hari ini aku pulang, Sayang. Aku datang untukmu. Maaf ya, aku tidak mau memberitahukan 


kepulanganku padamu. Bukannya aku tega, tapi ini sudah rencanaku untuk membuatmu tak berdaya. Hehehe...

 

I'm coming Indonesia

Sayonara Jepang


Kekasihku...

Sekian lama aku meninggalkanmu

Dan kini aku pulang untukmu

Akan ku beri kebahagiaan untukmu

Kekasihku...

Gemuruh rindu ini meluap padamu

Layaknya guntur yang memburu

Tanpa henti,

Dan takkan pernah berhenti

Kekasihku...

Akan ku berikan semuanya untukmu

Pelukan hangatku,

Kecupan bibirku,

Bahkan dari ujung rambut hingga kakiku semuanya milikmu


Kekasihku...

Tak sabar ingin segera bertemu denganmu

Tunggu aku,

Tunggulah sebentar saja,

Lalu tibanya mari kita bercinta


KEHILANGAN


Tepatnya sore hari. Kini Amaradiya sudah tiba di Bandara International Nusantara. Rindu yang sudah tak tertahankan, tidak sabar ingin segera bertemu dengan kekasih tercintanya. Tak sempat untuk menyimpan koper dan barang-barangnya ke rumah, dan tanpa memberitahu sepatah katapun pada kekasihnya, ia langsung saja bergegas ke Apartemen Jico dengan memesan sebuah taksi online.


Ketika sampai di depan Apartemennya, menuju ke lantai 8 dan membuka pintu kamar huninya, kebetulan pintunya tidak 


di kunci. Lalu apa yang terjadi, Asmaradiya di kejutkan oleh seorang wanita yang sedang tertidur pulas yang cuma memakai pakaian dalam di atas kasur kekasihnya. 

Dan Asmaradiya ingat dengan wajahnya, ternyata seorang wanita tersebut ialah yang waktu itu duduk berdua bersenda gurau di taman bareng kekasihnya. Dulu ia menangis melihat Jico dekat dengan wanita ini, ketika sebelum jadian. Kini dengan mata kepalanya sendiri ia melihat kembali wanita itu yang sedang tertidur di dalam kamar kekasihnya.


Hati Asmaradiya hancur. Hancur sehancur-hancurnya. Ia menangis pilu dan langsung bergegas pulang kembali, tidak percaya dengan semua kenyataan ini. Kerinduannya pada sang kekasih yang selama ini ia bangun hingga sampai di titik puncak, kini ia terjatuh dengan rasa 


yang amarah, kecewa, sedih, dan campur aduk. Layaknya sebuah kaca pecah yang serpihannya bertebaran kemana-mana.


Dan ketika Asmaradiya menunggu lift untuk turun, ternyata di dalamnya adalah Jico yang keluar sendirian. Jico kaget karena melihat Asmaradiya yang sedang menangis di depan matanya dan tidak memberitahukan kepulangannya dari Jepang. Mungkin fikirnya ia tidak ada, lalu mencarinya. Jico ingin segera memeluknya, akan tapi Asmaradiya membalasnya dengan menampar pipinya dengan keras. 


"GUE GAK AKAN LAGI PERCAYA SAMA LO, BANGSAT! GUE BENCI SAMA LO!!!" Kekecewaanya menyebabkan penuh tangisan dan tidak lagi banyak bicara Asmaradiya langsung masuk lift untuk turun.



Tanpa sekata apapun Jico sudah yakin. Pikirnya, pasti Asmaradiya sudah masuk ke dalam kamar apartemennya, yang sudah melihat ada seorang wanita di dalamnya. 


"Sayang tunggu dulu. Dengerin aku... semua itu gak seperti yang kau pikirkan, Sayang"


Lift tersebut sudah berjalan menuju ke lantai bawah, Jico pun langsung berlari menuju tangga darurat untuk menemuinya.

Dan ketika sampai di bawah dan berhasil mengejarnya, Jico langsung berlari menghapirinya yang sedang buru-buru menunggu taksi di depan jalan. Berusaha menghetikannya agar tidak masuk kedalam mobil, ia ingin menjelaskan kesalahpahaman yang di lihatnya tadi. 


"Sayang aku bisa jelasin, dengerin aku dulu...." Jico memegang tangannya, untuk menghentikan agar ia tidak pergi.

"TOLONG... TOLONG... TOLONG... ADA COPET!!!" Teriaknya menangis geram.


Jico langsung melepaskan genggamannya, karena diteriaki maling olehnya, dan untungnya dijalan sepi tidak ada orang. Taksi pun datang dan langsung melaju pergi. Dan jico pun pula mengejarnya kembali dengan motornya. 

Dengan kecepatan gas penuh, hingga tersusul-lah taksi tersebut, lalu ia menghadangnya di tengah-tengah.


"Pak... tolong bukain pintunya. Aku mau ngomong dulu dengan pacarku. Aku mohon.",Jico yang terus mengetuk-ngetuk kaca mobil.


"Tabrak aja pak sekalian sama motornya, 


nanti aku ganti rugi kerusakan mobilnya. Aku mohon, tolong jangan dibuka pintu kacanya. Lanjut jalan aja, Pak. Aku yang tanggung jawab semuanya." Pinta pada sang sopir, ia masih saja terus menangis tanpa henti.


Sedangkan Jico terus mengoceh, yang terus-menerus mengetuk pintu kaca depan mobil. Memohon kepada sang sopir, agar segera di buka pintunya karena ada yang harus di bicarakan dengan kekasihnya.

Karena sang sopir tidak tahu apa yang terjadi diantaranya, ia hanya menurut pada perkataan pelanggannya. Tidak banyak berpikir, karena pinta sang pelanggan menyuruhnya untuk di tabrak. Sopir tersebut langsung menancap gas, menabrakkan motor yang menghadang di depannya. Jico pun terserempet jatuh oleh spion mobil dengan keras dan menyebabkan luka lebam di tangannya. 


Motornya pun jadi hancur dan remuk.


Akan tetapi Jico yang tak mudah putus asa. Tidak perduli tangan kanannya penuh memar menahan sakit. Meskipun rangka motornya hancur berserakan, stir-nya bengkok, maupun velk-nya penyok. Dan masih beruntung, mesinnya masih nyala. Ia tetap memaksa untuk mengejarnya memakai motornya yang hancur hingga sampai tiba dirumahnya. Dengan keadaan separah-parahnya sampai titik penghabisan pun ia akan terus berjuang untuk bisa menyusulnya lagi.


Ketika berhasil menyusul di depan rumah Asmaradiya dengan motornya yang hancur parah, Jico bergegas masuk untuk menemuinya lagi. Dan Asmaradiya yang terus menangis sambil menarik koper barang-barangnya untuk memasuki rumahnya. Jico menghentikan langkah 


kaki Asamaradiya dan kembali memegang erat tangannya, dengan harap Agar ia mendengarkan penjelasannya. Asmaradiya menepis tangan Jico yang menahan kesakitan itu.


"Sayang dengerin penjelasan aku dulu, plis... Semua itu bukan seperti yang ada di pikirkanmu". Jico yang terus memohon.


"GAK PERLU DI JELASIN LAGI! DAN SEMUANYA SUDAH JELAS. GUE UDAH TAU SEMUA KEBUSUKAN LO!."


"Dia itu teman sekelas ku, namanya Erika. Dan bukan siapa-siapa aku sayang. Tolong percayalah... Dia lagi ada masalah sama....". Jico menghentikan perkataannya, dan terdiam.


"MASALAH APA? LO JANGAN BIKIN BANYA ALASAN DEH! UDAH TAU LO ITU 


BOHONG! DAN APAPUN YANG DI UCAPKAN DALAM MULUT LO, GUE GAK AKAN PERCAYA LAGI!"

"HEH BANGSAT, DENGERIN! GUE GAK AKAN PERNAH MEMAAFKAN APA YANG LO LAKUIN SELAMA INI KE GUE, SEUMUR HIDUP GUE GAK AKAN MAAFIN LO"

"GUE GAK NYANGKA! CINTA PERTAMA GUE, CINTA YANG GUE BANGGAKAN SELAMA INI, SAMPE GUE TAKUT AKAN KEHILANGAN LO, TAPI NYATANYA...."


"Sayang deng..." 


"DIAM!!! GUE GAK NYURUH LO NGOMONG!"

"KENAPA GUE GAK NGABARIN LO, KETIKA GUE MAU PULANG KESINI? NIAT GUE INGIN SURPRISE KE LO, KARENA SELAMA 3 BULAN INI GUE MENINGGALKAN LO DISINI. BETAPA RINDUNYA GUE KE ELO SELAMA GUA DISANA. TAPI INI BALASAN 


RINDU ELO KE GUA? HAH?! BERENGSEK BANGET SIH LO JADI COWOK!"

"INGET SATU HAL! GUE GAK PERNAH DI SENTUH OLEH LO SEKALIPUN, JICO. ATAUPUN ELO NYURUH GUE NGINEP DI TEMPAT LO, TAPI LO UDAH BERANI MENYURUHNYA UNTUK TIDUR DI KAMAR LO SENDIRI. DIA ITU SIAPA KALO BUKAN SELINGKUHAN LO?! OH GUE TAU! LO JADI MERDEKA KALO GAK ADA GUE DISINI, LO BEBAS NGELAKUIN HAL APAPUN KETIKA GAK ADA GUE, GITU YANG ADA DIPIKIRAN LO KAN?! SEMUA OMONGAN LO KE GUE, SEKARANG CUMA SAMPAH BAGI GUE. DAN JANGAN HARAP, GUE  AKAN PERCAYA LAGI SAMA LO."

"GUE BENCI LO! GUE BENCI! NYESEL BANGET GUE NGENAL CINTA, JIKA AKHIRNYA BEGINI. LO YANG GUE KENAL GAK NYAKITIN, TAPI SEKARANG?! LO MAU NGOMONG APA, YANG SUDAH KETAHUAN HIDUNG BELANG LO? HAH?! "


"YANG PINTA GUE SEKARANG LO PERGI DARI SINI, JANGAN KEMBALI LAGI KE HIDUP GUE... GUE CAPEK, BANGSAT!!!"


"Udah marah-marahnya sayang?" Tanya Jico, yang ingin menyentuhnya karena menangis.


"DIAM! YANG GUE MAU SEKARANG! KITA PUTUS!". Ungkap Asmaradiya dengan jelas.


Ketika Asmaradiya mengatakan putus padanya, ia langsung masuk ke dalam rumahnya. Jico berusaha menghentikannya, dan menurutnya masih tidak terima dengan keputusannya, ia ingin tahu penjelasannya dengan semua kata tersebut. Asmaradiya pun langsung menutup dan mengunci pintu rumahnya.


"Sayang dengerin aku... Kamu boleh tuduh 


aku sepuasmu dengan semua yang ada dalam pikiranmu itu. Kamu boleh balas kembali kelakuanku jika yang diperbuatku itu benar. Tapi tolong, jangan dengan cintaku. Karena aku benar-benar mencintaimu, sungguh aku mencintaimu. Aku tidak pernah sama sekali berniat menaruh kebohongan di dalamnya. Cintaku padamu sangat tulus apa adanya... dan jika keputusanmu sudah bulat, yang ku pinta sekarang jangan nangis, Sayang. Aku mohon... Kamu boleh benci aku, jauhi aku, bahkan gak mau kenal lagi sama aku juga gapapa. Tapi, hatiku akan tetap MENCINTAIMU. Aku gak akan pergi dari sini, sebelum kamu keluar dan dengar penjelasanku." Teriak Jico yang terus memohon tanpa henti.


Hingga larut malam, Jico tetap menunggunya di luar. Meskipun hujan mengguyurnya dengan deras, petir bergemuruh dengan keras. Ia tetap berdiri 


menunggunya, bahkan sama sekali tidak berpindah tempat. Ia terpatung di depan rumahnya sembari memandang ke arah jendela lantai 2 kamarnya.


Sedangkan Asmaradiya didalam rumah yang terus menangis tanpa henti, selalu memikirkan apa yang terjadi sore tadi. Ia tak percaya dengan semua itu, bahkan ia merasa terbebani karena telah mengucapkan putus kepada Jico.

Asmaradiya coba menengok di tirai jendelanya, ia terkejut akan Jico yang terus berdiri kehujanan menunggunya untuk keluar. 

Asmaradiya coba menelpon satpam yang bertugas di depan komplek perumahannya. Untuk segera mengusir seseorang yang ada di depan rumahnya yang sedang berdiri, yakni kepada Jico. 


Meskipun hujan deras, satpam tersebut 


bergegas menuju ke rumah Asmaradiya untuk mengusir Jico dengan kejam, dan memaksanya agar meninggalkan rumahnya, dan kalau Jico tidak mau pergi satpam itu menuduhnya sebagai seorang maling. Jico yang hanya melamun panjang, tidak mendengar perkataan satpam di depannya yang sedang memarahinya. Yang ia pikirkan hanya kekasihnya, Asmaradiya seorang. Jico diseret ke luar hingga sampai di gerbang perumahan tersebut. Jico pun sadar dari lamunan panjangnya. Ia memohon maaf pada satpam tersebut karena kesalahannya. Dan meminta agar tidak membawanya ke kantor polisi, karena tuduhan sebagai maling. Dan satpam tersebut, mentoleransinya ia hanya menyuruhnya langsung pulang dan tidak boleh kembali lagi. Dengan terpaksa ia pun pergi meninggalkan kekasihnya, dan motornya yang hancur ia tinggalkan di 


depan rumahnya. Jico yang masih tidak terima dengan keputusan kekasihnya Asmaradiya, di sepanjang jalan pun ia selalu terpikirkan olehnya.

Jika besok masuk kampus, ia akan berusaha meyakinkan kembali dirinya lagi, lirih tekad dalam hatinya.


"Heh Men... lo abis kemana, sampe basah kuyup gitu?" Tanya Rio membukakan pintu.


Jico hanya diam dan langsung masuk, mengganti pakaiannya yang basah dan tanpa seucap kata pun ia langsung tertidur.

Mukanya pucat sekali, pasti ada masalah lagi yang menimpanya. Bisik hati Rio yang khawatir pada temannya.


Keesokan harinya. Jico terbangun pagi-pagi, memaksakan tubuhnya sebisa mungkin untuk bisa masuk ke kampus.  Meskipun meriang menyerang, Jico 


berusah sekuat tenaga dengan menunggu Asmaradiya di depan parkiran untuk menemuinya kembali. Dengan harap semoga saja ia masuk seperti biasanya.

Benar saja, terlihat dari arah jauh mobilnya melaju kearah tempat parkir. Jico langsung menghampirinya, dengan keadaan muka yang pucat dan tangannya yang lebam menahan kesakitan.


"Selamat pagi sayang..." Sapa Jico, dan Asmaradiya mengabaikan.

"Maafin aku ya, aku bisa jelasin semuanya sekarang. Jadi tolong, dengerin aku dulu..."

"CUKUP! GUE GAK MAU DENGER PENJELASAN LO LAGI. DAN TOLONG! ELO SEKARANG BUKAN SIAPA-SIAPA GUE LAGI. JADI, JANGAN GANGGU HIDUP GUE LAGI ". Jawabnya dengan nada penuh amarah dengan menitikan air mata, lalu bergegas berlari meninggalkan Jico.


Jico sebisa mungkin menghentikannya dengan memegang erat tangannya. Lalu Asmaradiya menepisnya dengan sigap dan pas sekali pada luka lebamnya, ia berusaha menahan rasa sakit itu dengan bersikeras meraih kembali tangan kekasihnya.

Padahal dalam hatinya pun, Asmaradiya merasa kasihan padanya. Terlihat dari mukanya pucat sekali dan tangan kanannya yang lebam menahan kesakitan habis tertabrak olehnya kemarin. Dan ia hanya menahan rasa kasihan itu dengan mengalihkan ucapan rasa benci padanya.

Lalu di seberang sana ada dua orang sedang mendengar dan melihat apa yang di ucapkan kebencian Asmaradiya terhadap Jico. Dari arah jauh, Hestia dan Rio merasa keheranan. Padahal Asmaradiya baru pulang dari Jepang sehabis tugas magangnya. Kenapa mereka jadi ribut, padahal ketika berbagi kabar di telepon pun mereka baik-baik 


saja, tapi sekarang ada apa, pikir mereka berdua keheranan.

Rio yang sudah berfikir jauh, dia tahu mengapa Jico waktu malam seperti orang mati, dan ternyata ini lah penyebabnya.


Sisi lain Jatniko pun tahu, mendengar dan melihat mereka berselisih. Ini kesempatannya untuk bisa kembali mendapatkan kepercayaan Asmaradiya. Sekaligus menghasutnya agar selalu benci pada Jico. Padahal belum bertindak, tapi kemenangan sudah di pihaknya. Hatinya berteriak bahagia.


"Ada apa ini Asmara". Tanya Jatniko menghampiri mereka berdua.

"BUKAN URUSAN LO!". Cetus Asmaradiya


"Sayang... Erika itu cuma temenku, tolong percayalah..." Jico yang terus memohon dengan semua penjelasannya.


"Oh... jadi lo selingkuhin dia? Bangsat bener lu jadi cowok ya!". Timpal Jatniko menunjuk ke Asmaradiya yang sedang menangis.


Jico yang hanya diam mengabaikan omongan Jatniko, yang terus memandang mata Asmaradiya, lalu Hestia dan Rio pun menghampiri mereka. 


"Eh lo jangan ikut campur urusan orang ya". Kecam Rio pada Jatniko

"Hestia, lo tolong tenangin si Asmaradiya dulu". Ujar Rio pada Hestia dan ia paham akar dari permasalahan ini.

"Asmara dengerin gue. Jadi pas lo pulang dari Jepang kemaren, terus langsung mampir ke apartemennya dia, lo pasti ngelihat ada seorang cewek yang sedang di kamarnya yang sedang tidur, kan? Dia itu Erika teman sekelas kita, sekaligus teman satu club bareng dan dia bukan 


siapa-siapanya dia. Jadi tolong, dengerin dulu penjelasan dia dengan jelas. Jico teman gue Ra', gue yang sudah tau semua kelakuan dan sifatnya. Dia itu anak yang baik-baik. Dan niat dia cuma ingin menolong, dia hanya merasa kasihan pada si Erika, karena dia sedang dalam banyak masalah sama...." Rio yang mencoba menjelaskan dengan rinci, tapi Jico serentak menghentikannya.

"Dan lo harus tau Ra', Jico tidak        mengajaknya untuk tinggal bareng bersamanya. Tapi dia lebih memilih untuk mengalah padanya, agar tidur sendirian di kamarnya untuk sementara waktu. Jika lo tau, sudah 2 hari ini Jico tidur bareng gue terus".


Asmaradiya hanya terdiam, tidak mau mendengar lagi ucapan dari seorang lelaki. Karena semuanya hanya omong kosong belaka, alias dusta.



"Udah cukup... makasih". Jico menghentikan penjelasan Rio

 "Sayang, maafkan aku jika aku salah. Aku sudah membuatmu kecewa bahkan membuatmu sakit hati. Tapi percayalah, aku sayang kamu..."

"Halahhh...persetan dengan semua ucapan lo. Udah Asmara, yang waktu itu gue katakan semuanya benar kan? Dia itu bukan laki-laki yang baik, alias bajingan! Dan sekarang lo percaya kan sama gue?". Jatniko memotong pembicaraan Jico dan memprovokasi Asmaradiya.

"Heh Niko! Lo kalo ngomong jangan sembarangan ya..." Timpal Hestia

"Bangsat bener lo jadi cowok ya! Lo bisa diem kagak sih, lo cowok apa emak-emak sih?! Demen banget ikut campur masalah orang". Rio menambahkan

"Lo ngajak ribut?". Jatniko terpancing emosi


"Ayo!!". Rio yang tak mau kalah.


Hestia pun memisahkan mereka berdua yang sedang adu mulut.


"Udah cukup! Kalian juga sama saja. Ini masalah mereka, kita yang harusnya menenangkan dan mendamaikan mereka berdua, agar semua masalah ini bisa kelar. Kita selesaikan dengan kepala yang dingin dan baik-baik". Hestia pun terpancing emosi oleh kelakuan mereka berdua.


"Sayang... Aku tidak memintamu untuk percaya lagi padaku. Ataupun kau sudah tidak sudi lagi untuk memaafkanku. Sekarang, aku tidak bisa memaksa apa kehendakmu. Aku percaya, kamu itu wanita terindah bagiku dan aku akan terus menyayangimu. Aku serahkan semuanya padamu. Jika itu mau mu, dan sudah bulat dengan keputusan itu, baiklah... aku ikhlas 


menerimanya. Aku takkan memilih alasan lagi karena menguraikannya terlalu panjang. Tapi aku akan tetap memilih untuk diam, karena percaya dengan seperti itu aku memikirkan untuk mencari jalan keluarnya. Terima kasih cintaku, dan maafkan aku." Kata terakhir Jico untuk Asmaradiya, lalu pergi untuk pulang.


Asmaradiya menangis sangat keras, ketika ucapan terakhir dari Jico untuknya. Hestia memeluk Asmaradiya dengan erat untuk menenangkannya. Dan Rio menemaninya, dengan penuh khawatir karena wajah dan tubuhnya sudah terlihat sangat parah menahan rasa sakit.


"Asmara... kamu baik-bai..."

"PERGI LO!!!" Ucap kekesalannya pada Jatniko, suara tangisannya yang mulai kelelahan.


RINDU RUMAH



Keesokan harinya, meski kondisinya masih tidak baik. Jico bersikeras untuk pulang ke kampung halamannya, tanpa memberitahukan pada teman-temannya, yakni Rio dan Erika yang menghuni kamarnya.

Jico yang tak berpamitan, dia bukan lari dari sebuah masalah, tapi niatnya hanya ingin menenangkan pikirannya untuk sementara waktu. Maka dari itu ia pulang dengan membawa kerinduan, sekian lamanya tidak pernah sama sekali dan bahkan sudah berapa bulan lamanya tidak melihat wajah malaikat satu-satunya, yaitu Ummi nya. Tempat sandaran untuk berteduh yang paling damai.

Jico pulang dengan naik sebuah bus umum yang beroperasi ke kampung halamannya. Tidak terpikirkan bagaimana kondisi motor kesayangannya (Roger) yang ditinggal olehnya di depan rumah 


mantan kekasihnya. Yang ia pikirkan hanya hati dan jiwanya ingin tenang kembali seperti sedia kala.


Ketika Jico sampai di kampung halamannya. Bibi dan Mamang, menyambutnya dengan kerinduan dan penuh khawatir. Karena terlihat wajah Jico yang pucat sekali. Mereka berdua adalah peran penting bagi Jico, karena sejak kecil Jico sudah di asuh oleh mereka berdua, alias asisten rumah tangga keluarganya.


"Aden..kenapah atuh, pucat pisan mukanya. Iya den..." Tanya sang Bibi, Jico yang langsung memeluk mereka berdua. Tambah Mamangnya dengan mengelus-ngelus punggungnya.

"Aden sakit? Ya Allah... Panas pisan badan Aden teh."

"Ya sudah, ayo masuk ke rumah dulu. Biar bibi yang ngerawat aden. Mang... punten 


telpon si Nyai untuk pulang segera, Si Aden udah ada di rumah, gitu." Ujar sang Bibi


"Aden gak sakit, Bi. Aden cuma kecapean aja. Ummi belum pulang emang?".

"Ummi Aden baru berangkat tadi jam 10-an. Ayo berbaring dulu, biar Bibi pijitin. Nanti makan, lalu minum obat. Terus Aden lanjut tidur istirahat ya..." Pinta sang bibi penuh khawatir pada anak lelaki majikannya yang satu ini.

"Ya Allah, Aden... Ini ku naon tangan Aden teh merah begini. Aden abis kecelakaan? Ya Allah, Aden..." Rasa khawatirnya yang kini berlebihan ketika mau memijit tangannya.

"Ohh... cuma jatuh dari motor doang, gak sakit kok. Lagian Aden udah gede masih aja di manjain".

"Aduhh lain kali hati-hati Aden. Jangan ngebut-ngebut kalau naik motor tuh. 


Pantes Aden pulangnya sekarang naik bus. Lagian kapan lagi atuh, bibi manjain Aden? Yang bibi ingin cuma Aden sehat kembali, dan nggak sakit lagi. Bibi seneng kalau Aden sehat mah. Kalau ketahuan Ummi, pasti Aden di marahin, karena Aden tidak bisa ngejaga awak Aden sendiri" Ucap logatnya yang khas.

"Iya iya duhhh... oh iya, Teteh sering ngabarin nggak? Kabar dia baik kan disana, Bi?".

"Alhamdulillah si Teteh sehat, sering sekali ngabarin kesini. Tapi waktu itu teh, si Teteh nanyain Aden terus. Si Teteh minta nomor telepon Aden. Tapi Adennya, waktu itu ngomong ke si Nyai sama Bibi bilang nggak boleh dikasih nomor teleponnya ke si Teteh." Jawab sang Bibi yang lanjut memijit tangan Jico yang lebam.

"Hahaha... iya jangan ya, Bi. Soalnya kalo tau nomor Aden, pasti nanti dia bakal nelpon mulu. Kebiasaan dia mah." Jico 


tertawa

"Eleuhhh... ribut wae atuh Aden sama si Teteh mah". Sang bibi pun ikut tertawa.

"Bibi mau nanya ke Aden boleh?"

"Boleh Bi, silahkan..."


"Den... ini teh manisnya, dan si Nyai juga katanya mau pulang sekarang". Ucap Sang Mamang sembari menghidangkan. Dan Jico berterima kasih.


"Katanya Aden punya pacar yang orang Jepang itu, Ibunya yang dulu temenan sama Si Nyai, kan? Soalnya si Nyai cerita. Terus mana atuh, kok nggak di ajak kesini?" Tanya Bibi penasaran.

"Iya Den... Mamang juga pengen tau. Eh Aden itu tangannya kenapa?" Mamang pun ikut khawatir.

"Jatuh dari motor katanya". Jawab Bibi.

"Biasa mang laki-lalaki..." Jico tertawa "Dan dia belum pulang. Kan masih tugas magang di Jepang, 3 bulan." Lanjutnya 


merahasiakan.

"Eleuh-eleuh... hati-hati atuh Aden, inget kata almarhum Abi Aden. Segala sesuatu jika mau memulai itu ucapkan Bismillah". 

"Iya maaf mang, maaf. Aden teledor."

"Maksudnya magang teh, tugas kuliah gitu?" Tanya Bibi yang tidak tahu.

"Iya Bi, atau bisa di sebut PKL"


Banyak sekali yang di bicarakan mereka bertiga, terutama bagi Bibi Asih dan Mamang Dudung. Sepasang suami-isteri yang penuh kerinduan terhadap anak lelaki bungsu dari majikannya. Meskipun di usia mereka berdua yang sudah menginjak 52-60, ia masih tetap bekerja untuk keluarga Jico dari usia 40 tahun. Dan semenjak mereka menikah sampai sekarang, mereka belum di karuniai seorang anak. Maka dari itu Jico dan kakak perempuannya sudah di anggap sebagai anak mereka sendiri.



Jico yang tidak bisa berterus terang kepada mereka tentang hubungannya dengan Asmaradiya yang sekarang ini kandas. Jico hanya mengalihkan dengan bercerita bahagianya ketika sedang bersamanya saja. Dan Jico berharap, agar Asmaradiya tidak memberitahukan masalah yang telah usai ini kepada ummi-nya.


"Ya sudah. Aden nya istirahat dulu aja ya... Sambil nunggu si Nyai pulang, Bibi mau buatin kue kesukaan Aden." Ujar sang bibi sambil mencium kening Jico.


Baru saja Bibi ngomong, Umminya pun datang, dengan riang hati penuh gembira, menemui anak laki-lakinya yang sedang berbaring di dalam kamarnya. Karena penuh kerinduan terhadap kedua anaknya, yang sudah sekian lama tak memanjakan 


mereka, dan tahu, sekarang kedua anaknya ini sedang jauh untuk menempuh pendidikannya masing-masing.


"Hallo Assalamualaikum. Hey... Ummi kangen banget sama kamu, Jagoanku. Kebiasaan kamu itu, setiap harinya gak ngabarin ummi, kenapa? Telepon dulu kek, atau videocall sama Ummi. Sekalinya ngabarin cuma minta uang doang. Nih dengerin. Ketika Ummi marah karena tak ada kabar darimu. Dengan jarak yang mungkin bisa saja ditempuh, dan jujur Ummi pengen sekali menjengukmu kesana karena khawatir. Jangan disamakan dengan kakakmu yang jauh di Negeri sana. Meskipun jauh, kakakmu malahan sering banget setiap hari dia ngabarin ke Ummi. Tapi cuma kamu doang seorang, berbagi kabar aja jarang, tapi sekalinya Ummi pengen main ke Apartemenmu, tetap saja tidak di 


perbolehkan. Ada apa dengan anak bungsu Ummi ini? Kata Bibi kau sedang sakit ya, Nak? Tanganmu lebam kayak yang habis ke senggol kendaraan. Kenapa kamu tak mengabari ummi ketika kamu mau pulang? Dan kenapa dengan motor kesayanganmu si Roger itu gak di pake untuk pulang? Malah memilih untuk naik bus umum? Apa Motormu hancur abis kecelakaan? Tolong jawab pertanyaan ummi dengan jujur!" 


Banyak sekali pertanyaan sang ibu pada anaknya yang sangat penuh khawatir dengan keadaannya saat ini. Memeluknya untuk memberikan kehangatan, mengusap kepala agar pikirannya tenang. Itulah kasih sayang sang Ibu kepada anaknya. Dan Jico pun memeluk Ummi nya dengan erat. Kata siapa lelaki tidak menangis. Lelaki juga berhak untuk menangis, ketika kerinduan pada sang Ibu yang begitu 


mendalam. Yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Jadi dengan cara menangis di pelukannya, sang ibu sudah paham akan yang di rasakan oleh anaknya.

Jico menjawab satu persatu pertanyaan Ummi nya dengan jujur. Terkecuali pada hubungannya dengan Asmaradiya, sebisa mungkin ia rahasiakan.


"Makanya jangan durhaka sama Ummi-mu ini. Dan sesekali tolong dengarkan omongan Ummi, Please. Kalo butuh apapun, ataupun punya masalah kecil-besarnya, cerita sama Ummi, jangan sungkan pada ibumu sendiri. Ummi akan mendengarkan semua keluh kesah ucapanmu dan yang pasti Ummi akan memberikan segalanya yang Ummi punya kepadamu, Jagoanku. Iya Ummi paham padamu, lelaki akan merasa kuat ketika setiap ada masalah, kan? Tidak sayang... Lelaki itu aslinya lemah. Lemah dalam 


pemahaman, kuat cuma fisik belaka. Tapi jangan pernah menganggap semuanya itu bisa di selesaikan dengan sendiri. Kamu itu butuh orang lain untuk bercerita, seperti Ummi mu ini. Jadi jika masih ada masalah yang membuatmu terus kepikiran, cerita sama Ummi sekarang. Ummi akan mendengarkanmu, Jagoanku. Oh iya ada satu pesan untukmu dari Kakakmu noh, dia nanyain kamu melulu. Dan dia sangat rindu padamu."


Ceramahnya yang panjang untuk mengisi kehidupan sang anak. Jico mendengarkan dengan baik dan memahami bahwa ucapan dari mulut Ummi nya benar semua. Bagi Jico, ummi nya adalah madrasah yang terbaik untuknya belajar. Dan Jico merasa berdosa pada umminya, karena tidak mau terbuka dan cerita masalahnya dengan Asmaradiya yang sudah tidak ada lagi hubungan. Yang Jico bisa hanya diam dan membungkamnya 


sendirian.


"Oh iya... Tentang si Asmaradiya, lima hari yang lalu dia ngirim paket oleh-oleh dari Jepang ke Ummi, lho. Dia memberikan sebuah gaun untuk Ummi. Apa kata dia coba? Dia meminta maaf karena tidak bisa mengasih langsung pada Ummi. Tambah gemes aja itu anak. Dan sekarang Ummi tanya padamu, si Asmaradiya sudah pulang emang? Apa dia tidak mengabarimu? Kata dia kegiatan magangnya cuma tiga bulan kan? Ini udah tiga bulan, kelewat dua hari. Apa dia sekarang lagi dalam perjalan menuju pulang ke Indonesia? Apa ia masih rindu pada Ibu dan Ayahnya disana? Jawab Ummi dengan jujur, Kamu sudah ngelakuin apa sama dia Jico? Inget ya... Ummi memberikan kebebasan kamu untuk pacaran, tapi tidak berlebihan. Ngerti yang di maksud Ummi ngomong kan? Awas aja 


kalo kamu macem-macem ngelakuin hal yang zina, ummi gak akan maafin kamu. Inget.... Hanya sebatas pacaran, tidak harus berpegangan tangan, ataupun mesra-mesraan."


Dari sinilah pertanyaannya yang sulit untuk dijawab oleh Jico. Umminya yang masih tetap memeluknya dengan erat, di tambah lagi banyaknya pertanyaan darinya. Sangat sulit bagi Jico untuk menjawab semuanya. Banyak pertimbangan dan perumpamaan di otaknya. Berbohong demi melindungi nama baiknya, boleh kan sesekali? Seperti membunuh satu orang, yang bisa menyelamatkan ribuan nyawa? Pikirnya masih saja terpicu. Dengan lantang, dan baru kali ini mulut Jico menjawab pertanyaan Ummi-nya dengan rasa berdosa yang telah membohonginya.


"Ayo kita makan dulu, Jagoanku. Kami pasti rindu masakan rumah yang dibuatkan oleh Bibimu kan? Dan Bibimu sudah membuatkan kue kesukaanmu, brownies".

"Tentunya...." Jico tersenyum


Ketika malam tiba Jico tertegun dengan kontemplasinya, memandang kebun luas palawijanya di belakang rumah yang di urus oleh Mamang. Jico yang terus terpikirkan akan Asmaradiya. Dan semua pertanyaan yang menumpuk di kepala, terjawab oleh hati nuraninya. 

Allah pun punya hak meminta pada hambanya. Terlalu sering berbuat baik pada penciptanya, sedangkan Dia-lah yang memberimu kebaikan.


"Aku-lah yang menciptakan cinta.

Lantas, dimanakah kecintaanmu pada-Ku?

Terlalu mencintai ciptaan-Ku, sedangkan 


Aku-lah yang menciptakanmu."


Jico terdiam dari lamunan panjangnya.


Ada jumpa ada pisah

Begitulah kehendak Qalam Sang Kuasa

Kuatkan aku tetap tegar dan tabah

Menghadapi kenyataan ini semua


GETIR

 

"Si Bayor kemana?" Tanya Erika pada Rio dengan menyebutkan panggilan Jico.

"Gue juga gak tau dia kemana. Ketika gue bangun dia udah ngilang, gak tau pergi kemana tuh anak." Rio panik yang sedang mencarinya.

"Gue telpon, handphone nya kagak aktif."

"Eh... Emang bener, Bayor udahan sama si Asmaradiya? Gara-gara ngelihat gue yang tinggal di kamar apartemennya ini? Soalnya gue kemaren dapet info dari 


temen sekelas kita yang ngelihat kalian adu mulut". Ucap Erika dengan mengeluarkan barang-barangnya.

"Eh lo mau kemana?".

"Ya gue pindah lah, udah dapet juga tempat kost-annya. Gak jauh kok dari sini. Lagian gak enak gue, udah numpang 3 hari disini".

"Oh iya. Jika si Bayor balik, bilangin ya... Gue pindah. Dan satu lagi, gue akan menjelaskan kesalahpahaman ini ke si Asmaradiya". Tegas Erika.

"Gue anter ya?" Pinta Rio

"Ya iya lah, sekalian bantuin. Tega bener lo cuma bisa ngelihatin gue doang yang lagi kesusahan".


Rio membantu dan mengantarkannya ke tempat kost-an barunya. Karena Erika sudah dapat tempat, dan merasa tidak enak kepada Jico yang sudah memberinya tempat tinggal. Dan Erika berjanji, setelah ini ia akan menemui Asmaradiya dan 


menjelaskan kesalahpahamannya.

Ketika sudah selesai bersih-bersih tempat, membereskan barang-barangnya dengan rapi. Erika meminta nomor teleponnya Asmaradiya ke Rio. Dan kebetulan waktu itu juga Rio menyimpan kontaknya Asmaradiya.


Erika mencoba menelpon Asmaradiya, lalu di jawablah olehnya. Basa-basi memperkenalkan dan Erika memintanya untuk ketemuan berdua dengannya saja. Dengan harap agar dia mau menerima ajakannya. Tapi Asmaradiya menolak, Dia bilang tidak ada waktu dan sedang sibuk dengan urusannya.

Erika yang merasa bersalah terhadap hubungan mereka. Ia mencoba kembali menanyakan alamat rumahnya dan Rio juga tidak tahu. Dan dia hanya memberikan nomor telepon Hestia padanya. Erika pun langsung 


menelponnya, untuk minta alamat rumah Asmaradiya. Dan kebetulan, dia juga ingin kerumahnya untuk menemani dan menghibur Asmaradiya yang sedang sedih. Kebersamaan wanita itu mudah akrab dari segi positifnya, lalu Erika dan Hestia berangkat menuju ke rumahnya.


"Maafin gue ya, Hestia. Gue jadi ngelibatin elo". Lirih Erika turun dari motor Hestia dan mereka berdua berjalan menuju rumah Asmaradiya.

"Udah tenang aja. Lagian gue juga niatnya mau kesini untuk menemaninya".

"Makasih banyak ya..."

"Udah tenang aja. Ayo kita masuk". Ujar Hestia mengajak dan pintu rumahnya tidak terkunci

"Eh... itu motor si Bayor kan? Kok ancur gitu sih?." Erika melihat ke arah garasi rumah Asmaradiya.

"Si Jico maksudnya?" Hestia penasaran 


dengan nama yang di sebutkan Erika

"Iya. Kan cuma gue doang yang manggil ke dia gitu".

"Ohh... iya deh bener motornya..." Hestia masih curiga terhadapnya, karena penyebutan nama Jico dengan akrab.

"Pantesan gue gak lihat motornya di basement." Erika tertawa.


Setelah masuk. Terlihat oleh mereka berdua, Asmaradiya yang sedang murung di dalam kamarnya menangis sangat tragis.


"Jangan lihat gue. Tolong pergi..." Teriaknya, serentak menutup pintu kamarnya.

"Ra'... bukain dong pintunya, ada yang mau kita omongin". Pinta Hestia yang terus mengetuk pintu kamarnya

"Ini gue Erika. Gue mohon sama lo, bukain dulu dong pintunya. Gue akan jelasin 


semuanya."

"Ra'....Asmara...." Hestia yang terus mengetuk pintu kamarnya

"Gue takut lo kenapa-napa, udah dong bukain pintunya." Lanjutnya penuh khawatir

"Ra'.... kalo lo gak mau ngebukain pintunya. Lo gak bakal tau penjelasan dari gue."

"Dari pagi Jico gak ada, gak tau pergi kemana dia". Lanjut Erika memancing Asmaradiya agar keluar dengan menyebut nama Jico yang sedang menghilang.


Benar saja, ketika Erika menyebutkan nama Jico yang pergi entah kemana, Asmaradiya pun keluar dan membukakan pintu kamarnya. Isak tangisnya yang tidak mau berhenti, kelihatan dari matanya sembab yang terus mengeluarkan air mata.


"Nah gitu dong.... Dah jangan nangis". 


Hestia memeluknya


"Aku bikin minuman dulu ya buat kalian".

"Sekalian cuci muka, biar cantiknya kembali". Tambah Hestia


Saat Asmaradiya sudah menghidangkan dan meletakkan gelas minuman pada kedua tamunya. Erika langsung memeluknya.


"Maafin gue Asmara... udah bikin lo sedih begini".

"Jico kemana Erika....". Tanya Asmaradiya dengan kembali menangis

"Gue gak tau dia kemana. Kata si Rio, pas dia bangun, Jico sudah gak ada". Erika yang memeluknya jadi ikut terbawa menangis.

"Gue akan jelasin semuanya, biar gak ada salah paham antara elo dan Jico" Lanjut Erika melepaskan pelukannya.


"Duduk dulu, biar ceritanya enak". Saran Hestia


Erika menjelaskan semuanya dengan jelas, dari kesalahpahaman antara Jico dan Asmaradiya. Erika yang merasa bersalah atas putusnya hubungan mereka berdua karenanya.


"Ra'.... sebelumnya maafin gue ya. Gue udah bikin lo sakit hati dan menjadi seperti ini. Mungkin niat dia ingin menutup aib keluarga gue. Dan sekarang gue terbuka sama kalian biar semuanya jelas." Erika mulai menjelaskan


Erika wanita yang digolongkan anak broken home. Dia nekat pergi meninggalkan rumah. Karena Ayah-Bundanna setiap hari ribut, tidak ada habisnya. Dia merasa lelah, dan dia harus kemana lagi untuk mencari tempat yang hangat buatnya menenangkan diri. 


Telinganya kebisingan mendengar mereka yang saling mencaci, dan saling memukul satu sama lain. Menyebutkan rumahnya adalah neraka baginya, merasa tidak betah berada di jajaran hidup orangtuanya. Yang dia inginkan hanyalah, menghilang dari kehidupan mereka. Setiap harinya ia berpindah-pindah tempat untuk numpang tidur kepada di teman dekatnya. Fikirnya, mungkin merepotkan, tapi jika tidak seperti ini. Bisa-bisa hidupnya mati dengan cara berdiri.

Hingga pada akhirnya di Jico. Dia menceritakan semua masalah kepadanya dan juga Rio. Mereka berdua itu bukan cuma teman sekelas, tapi juga satu club motor yang sering nongkrong bareng bersamanya. Karena sudah percaya terhadap mereka berdua, maka dari itu Erika berterus terang pada mereka berdua. Dan ia menganggap kepada mereka berdua itu sebagai keluarga, 


termasuk pelindung dari kejamnya panas dunia.


"Bayor menyarankan pada gue, agar kamarnya untuk sementara waktu gue tinggali, hingga pikiran gue tenang."

"Lo panggil dia Bayor?" Ucap Asmaradiya. Pikirannya yang sedang kacau ditambah rasa kesal terhadap ucapan Erika yang memanggil sebutan nama Jico seperti itu, yang menurut otaknya sebutan itu spesial bagi Erika, dan membuatnya semakin cemburu. Begitu pula Hestia sama halnya, penasaran.

"Lo berdua pasti pada penasaran kan, kenapa gue manggil dia Bayor? Erika tertawa, dan mereka berdua mengangguk.


Erika menjelaskan kesalahpahaman dari pikiran mereka berdua. Mengapa dia memanggil Jico dengan nama sebutan itu, sedangkan teman-temannya yang lain 


tidak. Ternyata pemberian nama Bayor untuk Jico ialah di berikan oleh ketua club motornya. Karena mereka akrab, dan tahu akan kepribadian Jico yang baik. Jadi, kedekatan diantara teman pasti timbul sebutan yang ingin ia pahat dalam mulutnya, agar mudah di ucapkan dan terdengar indah. Mungkin begitulah tercipta nama tersebut oleh ketua club motornya dan Erika menuruti. Lalu mereka berdua pun paham dan meminta maaf atas rasa kecurigaan terhadap Erika.


"Ra'... dia rela mengalah untuk tidur bareng si Rio. Karena gue tau, Bayor adalah lelaki yang sering memuliakan sekaligus baik kepada semua wanita. Bahkan dia rela memberikan sisa uang bulanannya ke gue, untuk gue makan setiap harinya."


"Niat dia bukan untuk mendapat pujian, 


tapi karena, menghormati. Tanpa pernah berpikir panjang, apapun dan selagi menurutnya bisa dia akan melakukannya dengan ikhlas. Dia itu orang baik, di mata dia itu semuanya saudara. Dan dia anaknya sangat amanah, menjaga rahasia orang lain sebaik-baiknya. Mungkin dia gak bisa cerita tentang masalah yang gue hadapi sekarang ke elo semua..."


"Kok elo tau semuanya tentang dia sih?". Tanya Hestia penasaran, sedangkan Asmaradiya hanya diam mendengarkan penjelasannya.


"Ya gue tau dari sifatnya. Dan dia juga sering ngobrol, ketika di kelas ataupun di tongkrongan club motor Hollow."


"Meskipun sifatnya yang tidak pernah terbuka di setiap masalah. Tapi gue tau, apa yang dia rasakan. Lo juga sama kan 


'Ra?" Erika menjelaskan kembali.


"Mumpung ada lo di depan gue, sekalian aja gue luapkan semuanya. Jujur, gue cemburu sama elo Asmara... Lo beruntung banget di cintai dia. Dan mumpung di puncak klimaksnya gue akan terbuka lebar sama Elo berdua."

"Gue punya rasa sama si Bayor sampe sekarang pun. Tapi gue bersaing sehat dengan elo. Gue ngalah, gue serahin dan percayakan semuanya sama lo, gue dukung lo, Ra'. Bayor yang gue cinta sudah menemukan bahagianya dengan adanya elo di sampingnya. Jadi tolong, jangan sia-siakan dia. Gue mohon sama lo..."


Waktu itu Erika pernah menyatakan cintanya kepada Jico. Meskipun dia mengakui bahwa wanita merasa gengsi ketika menembak duluan, akan tetapi dia tidak malu untuk menyatakan cintanya kepada Jico, yang sudah di ujung batas. 


Tadinya, dia sangat optimis akan ambisinya, dan berfikir pasti Jico menerima cintanya. Tapi nyatanya, Justru Jico menolaknya. Hatinya sudah terpatri dan selalu menyebutkan nama  Asmaradiya Tamara ketika menolak cintanya.

Jico menolak cintanya dengan halus. Tapi yang aneh bagi Erika meskipun cintanya di tolak, ia tidak merasakan sakit hati ataupun galau. Seakan baginya merasa  seperti biasa-biasa saja. Malahan banyaknya beban hidup yang tadinya numpuk semuanya hilang sirna dengan sekejap. Dan yang Erika salut dari dianya itu, dia lebih memilih kehilangan segalanya dari pada kehilangan seorang teman berharganya. Maka dari itu, dia sudah menganggap Erika sebagai teman wanita terbaiknya.


"Gue gak mau ada keributan antara temen-


temen baik gue. Dan lo tau kan, si David suka sama lo, terus lo tolak dia? Nah yang di khawatirkan gue, gue gak mau ribut soal satu cewek. Cinta itu banyak, dimana saja. Tapi gue gak mau terlibat masalah dalam persoalan cinta. Lo temen gue, sekaligus udah gue anggap sebagai saudara perempuan gue sendiri. Erika, dengerin gue... Gue lagi berjuang untuk mendapatkan cinta si Asmaradiya, dari fakultas Manajemen." Erika menceritakan omongan yang dikatakan Jico ini.


"Dia bilang kek gitu ke gue. Dan gue sadar, terselip menyebutkan nama elo seorang. Dalam hatinya juga sudah di kuasai tentang lo Asmara... dan gue ingin melihatnya bahagia bersamamu Asmara" Erika yang terus menjelaskan tanpa henti.


Banyak sekali wanita yang menaruh rasa sama Jico. Dan Erika mencoba 


membongkar soal mantannya. Karena tahu, jika wanita sudah nyaman dengan tutur kata dari mulutnya, ia akan bercerita sesuai alur cerita hingga sampai ke inti akarnya. Erika mulai bercerita kisah Jico yang tetap kukuh pada rasa setianya. Sebelum ceritanya jadi panjang, Erika meminta izin kepada Asmaradiya sebagai hakim yang menyetujui terhadap saksi yang melihat dengan mata kepalanya, dan Asmaradiya pun mengangguk setuju.


Wanita itu, Luna namanya. Salah satu anggota club motor Hollow bersamanya. Menurut Erika, kalau di katakan cantik, mungkin tidak terlalu, di matanya seperti biasa saja, seperti wanita pada umumnya. Malahan menurutnya cantikan dirinya dari pada si Luna seorang. Tapi Erika tetap mengakui, bahwa ia juga kalah cantiknya dengan Asmaradiya, jika di bandingkan.


"Lha, emang bener adanya, yang paling cantik menurut si Bayor mah, cuma elo seorang Asmara... gue juga kalah" Erika mencoba sedikit bercanda agar tidak tegang.


Akan tetapi, Luna berbeda Universitas dengan mereka. Dan sampai sekarang pun dia ingin balikan lagi dengan Jico. Dia sering cerita ke Erika tentang penyesalan putus cintanya terhadap Jico dan meminta Erika untuk membantunya balikan lagi dengan Jico. 


"Ya gue juga ogah lah. Ngapain coba ngebantu dia? Gue juga punya rasa sama dia, ya kan? Dan kenapa gak dari dulu coba, seandainya dia gak ngecewain dan gak nyelingkuhin si Bayor? Emang dasarnya udah bego, ya bego aja. Jadi kebawa kesel gue sama wanita itu yang ngerasa sok cantik itu" Kekesalan Erika 


setelah menceritakan kisahnya membuat Asmaradiya dan Hestia jadi tertawa.


"Padahal semua temen se-clubnya tahu, bahwa si Luna itu sering banget jalan sama cowok lain. Bahkan jika kalian gak percaya, coba tanya aja sama si Rio yang udah melihatnya dengan jelas. Si Luna yang lagi pelukan, pegangan tangan dengan cowok lain. Dan terus si Rio ngadu ke si Bayor, tetep aja Bayor percaya sama si Luna. Aneh banget... Padahal si Rio teman paling dekatnya lho? Tapi dia lebih memilih percaya pada si Luna. Bayangin... makanya gue heran sama pemikiran dia." 

"Mungkin saking sayangnya dan udah nanem percaya ke si Luna, jadi apapun omongan buruk orang lain terhadapnya, Bayor selalu mengabaikan." Ucap Erika yang penuh gereget atas cerita gosipnya yang semakin mendalam.


Dan Erika membukakan kepribadian Jico, yang ia ketahui dengan sebenarnya. Jico seorang lelaki yang tidak mau berterus terang ataupun terbuka tentang apapun yang menyangkut dirinya sendiri. Akan tetapi atas dasar kata setianya itu luar biasa terpahatnya. 


"Inget. Bukannya gue ngebanggain dia. Ya emang bangga sih, punya sahabat lelaki seperti dia. Tapi gue tau, dia itu satu-satunya lelaki yang paling baik di dunia ini."


Jico ialah orang tidak memilih dalam hal kebaikan kepada siapapun termasuk kepada semua wanita. Meskipun puncak kecewa sudah sirna, tapi dia akan memilih sebaik-baiknya wanita yang sangat dia cinta. Dan Erika mengakui dengan tegas, bahwa semua itu ada pada Asmaradiya seorang.


"Dan satu hal lagi yang belum gue denger 


dan penasaran dari si Bayor itu... Saat bersama lo, dia suka becanda nggak?" Tanya Erika pada Asmaradiya, dan dia mengangguk.

"Ah... Yang bener lo?" Erika terkejut

"Malah nyebelin banget" Tegas Asmaradiya.

"Beruntung banget sih lo Ra'..." Salut Erika terhadap Asmaradiya, ketika tahu Jico orangnya yang suka bercanda.

"Nih ya dengerin. Semua teman-temannya juga gak pernah tau candanya orang diam dan baik seperti dia itu kayak gimana, dan gue belum pernah lihat tuh, si Bayor bercanda dengan si Luna, ataupun dengan teman-temannya. Sumpah."

"Beruntung banget lo, jadi iri gue. Dan gue yakin, jika si Bayor udah seperti itu, dia pasti bahagia banget sama lo Ra'. Dan di beruntung punya lo."

"Ra'.... yang gue minta sekarang, tolong balikan lagi sama dia, ya? Tarik lagi 


omongan lo sendiri. Dan tolong maafin gue, gue salah udah nyakitin hati elo. Dia itu orang baik. Makanya dia terbuka sama lo itu, dia ingin menjemput sekaligus meramu bahagia bareng lo seorang. Gue mohon... yang gue tau, ketika dengan elo dia banyak tersenyum." Ucap Erika memohon.


"Gak nyangka. Ternyata asyik juga lo orangnya. Minum dulu biar tenggorokan lo licin kembali". Canda Hestia, dan mereka semua tertawa


Asmaradiya menangis tersendu mendengar penjelasan secara langsung dari Erika. Ia menyesal dengan ucapan serapahnya pada Jico yang telah menyatakan putus dengannya. Memang dia akui, dia masih sayang dan masih cinta kepadanya, dan dia ingin balikan lagi seperti sedia kala. Lalu Erika 


menyarankan untuk menelponnya, siapa tahu sekarang nomor telponnya aktif, karena dari pagi teleponnya tidak aktif sama sekali. Dan ketika Asmaradiya mencoba menelpon Jico, masih tetap sama nomornya tidak aktif. Lalu Hestia menyarankan dengan menelpon keluarganya, siapa tahu Jico sedang pulang ke kampung halamannya. Erika pun setuju dengan saran Hestia. Karena Erika tahu, seperti yang sesudahnya, jikalau Jico punya masalah pasti dia pulang menemui ibunya.

Lalu Asmaradiya menuruti saran dari mereka, ia mencoba menelpon Umminya. Dan benar saja. Jico sedang ada di sana.

Tak banyak bicara, Asmaradiya langsung berkemas menuju ke kampung halamannya di Parahiyangan untuk menemuinya kembali lagi. Dengan penuh harap agar cintanya bersemi kembali seperti sedia kala. 



"Lo tau alamatnya, emang? Tanya Hestia sedangkan Asmaradiya hanya menggelengkan kepala.

"Lha, Lo gimana sih..." Erika tertawa kebingungan


Lalu mereka nenyarankan kembali  menelpon Umminya, meminta alamat rumah huninya disana. Dan Umminya mengirimkan sebuah lokasi peta yang akurat di map.


"Semangat untukmu, Rival abadiku". Erika memeluk Asmaradiya.

"Semoga bisa kembali lagi dengan sedia kala". Tambah Hestia tersenyum dan memeluk bersama


"Kalian juga ikut ya, temenin gue. Gue malu...". Pinta Asmaradiya menghentikan tangisannya


"Lha, Ngapain kita ikut ya, Erika? Lo itu mau ke mertua sendiri ngapain malu. Udah buru, mumpung masih siang". Kode Hestia pada Erika dan mereka tertawa.

"Lo mau naik mobil umum, apa pake mobil sendiri? Tambah Erika.


Asmaradiya dengan nekat, ia pergi menemui Jico dengan mobilnya sendiri. Akan tetapi pikirannya masih ketakutan. Takut jika nanti tiba di sana Jico jadi gak mau menemuinya lagi, takut Jico benci padanya.


"Gue percaya, Bayor orangnya gak seperti yang ada di pikiran lo saat ini." Tegas Erika

"Tapi...." Asmaradiya masih bimbang

"Udah jangan banyak mikir. Kalo lo masih takut mikir kek gitu, yaudah si Bayor mending buat gue aja lah". Canda Erika untuk membangkitkan.

"Nggak mau..." Asmaradiya menangis


"Adakala lo harus ngalah, demi masa depanmu bahagia." Ujar Hestia menyemangati.


Semua persiapan sudah di kemas, dan Asmaradiya berangkat melaju ke kampung halamannya Jico di Parahiyangan, Bandung. Dengan penuh harap, semoga janji yang dulu dia buat untuk Jico, yang sekarang ini tertunda karena kesalahpahaman. Ia akan menepati kembali mewujudkan janjinya.


Untukmu kekasihku...

Apapun kan ku berikan segalanya

Maafkan aku...

Yang telah membuatmu kecewa

Aku tak ingin semuanya dari awal lagi

Yang ku inginkan kau yang selalu aku awali

Kekasihku...

Beribu maaf untukmu

Mungkin tak cukup untuk mengobati lukamu


Tapi...

Semuanya ku serahkan padamu

Aku ingin kau kembali


KEMBALI


Laju mobil MZD CX-3 yang di punyai Asmaradiya. Tengah mencuri lewat jalan bebas hambatan, agar cepat sampai. Perkiraan dari kota Metropolitan untuk sampai ke kampung halaman Jico hanya menempuh waktu 3 jam saja. Asmaradiya yang terus berdoa, akan keselamatannya hingga sampai tujuan dan semoga takkan ada halangan yang mengganggunya lagi, untuk bertemu kembali dengan kekasihnya yang telah ia kecewakan. 


"Tunggu aku, kekasihku. Maafkan aku...". Mulutnya menggerutu yang selalu memikirkan kekasihnya, Jico.


Sesampainya di perempatan kota Parahiyangan, sore hari. Ia kembali melihat ponselnya untuk membuka maps agar akurat sampai ke alamat rumahnya.

Asmaradiya menelusuri jalan sesuai yang diberikan ummi-nya Jico. Jalan yang di lalui banyak pemandangan kebun-kebun yang luas dan asri. Dan hanya sedikit rumah di tepi jalan tersebut. Ketika pas di ujung jalan terlihat rumah yang sederhana, yang jauh dari khalayak ramainya orang-orang, dengan pekarangan sangat luas, dan pemandangan indah yang ada di depan-belakang rumahnya. Terlihat oleh Asmaradiya seorang ibu yang sudah tua sedang menyiram tanaman di depan halaman rumahnya. Ia berhenti, dan turun dari mobilnya, lalu bertanya pada seorang ibu tersebut.


"Permisi... Mohon maaf Ibu. Ini benar alamat rumahnya ummi Rummy, ya?"


"Iya bener Non. Ini teh rumahnya"

"Anaknya yang bernama Jico Andrean kan, Bu?". Asmaradiya bertanya kembali penasaran

"Betul sekali, Non." Ibu tersebut menjawabnya dengan tersenyum


Hati Asmaradiya lega, setelah mendengar jawaban dari seorang ibu tersebut alamatnya benar. Dan di depannya sekarang berdiri ini ialah rumah yang ia tuju.


"Mohon maaf, Bu. Jico nya ada di rumah?"

"Aduuh... si Aden teh lagi keluar Non tadi, sama dua temannya."

"Ada nya si Nyai, sendiri yang di rumah. Hampura Bibi nya, Enon teh siapanya Aden Jico? Kok kenal dengan si Nyai juga?" Ibu tersebut penasaran.

"Oh iya kenalin. Aku Asmaradiya, pacarnya Jico Andrean." Salaman Asmaradiya 


tersenyum kepadanya.

"Ya Allah.... Jadi ini teh Enon, yang orang Jepang itu? Ya Allah, meni geulis pisan atuh. Ya sudah, ayo masuk. Bibi akan panggil si Nyai dulu, ya". Ujarnya menyambut Asmaradiya dengan hangat


Ibu tersebut adalah Bibi Asih. Dan ia bergegas untuk memanggil yang punya rumah, yakni Ummi Rummy. Dan Asmaradiya yang mengikutinya dari belakang. Terlihat dari pintu rumah, sosok wanita yang cantik memakai kerudung hitam dan masih muda, seumuran dengan Mamahnya. Wajah yang kenal dan sudah tidak asing lagi dilihatnya karena sering sekali berkabar lewat video call dan sangat bahagia sekali ketika tahu gaun dari pemberiannya yang kini sedang dikenakan.


"Asmaradiya Tamara? Anaknya Anna 


Tamara, kan?" Telunjuknya mengarah ke depan. Dan Asmaradiya mengangguk tersenyum.

"Ya Allah, sayang.... Kamu beneran kesini ternyata." Mereka saling berpelukan

"Asala..mu, alaeykum Ummi. Asmara rindu...." Asmaradiya menitikan air mata bahagianya.

"Waalaikum salam. Sayang...." Sambil mengelus-elus rambutnya.

"Ayo masuk dulu ke dalam." Lanjutnya menyarankan.

"Eh... kok nangis sih sayang" Tangannya replek menyapu air mata Asmaradiya.

"Abis Asmara rindu banget..." Ucapnya menggoda dengan manja.


Ummi Jico membawanya masuk ke dalam rumah. Dengan sigap, Bibinya langsung membuatkan minuman dan cemilan, untuknya.

Asmaradiya yang terus menanyakan tentang Jico, sambil menangis. Karena 


nomor telponnya tidak aktif, susah untuk di kabari. Ummi Rummy sebisa mungkin menenangkannya terlebih dahulu, karena Asmaradiya terus menangis yang selalu menanyakan nama anaknya. Pikirnya, mengapa Jico balik ke rumah, padahal libur semesternya masih lama. Dan tumben sekali Jico menonaktifkan ponselnya, dan tidak menyambut disana saja saat kepulangannya dari Jepang. Ummi Rummy sudah paham, pasti kedua anak ini sedang punya masalah. 


"Emang kamu baru tiba hari ini dari Jepang, sayang?". Tanya ummi Rummy dan mencoba menenangkannya


Asmaradiya pun sejenak terdiam dan berpikir, pasti kekasihnya menutupi masalah ini soal kepulangannya dari Jepang. Soalnya, Ummi tidak tahu bahwa dirinya telah pulang dari tiga hari yang lalu.



"Iya ummi. Asmara baru tiba tadi pagi. Dan Asmara sengaja gak ngasih tau Jico ketika Asmara pulang. Niat Asmara ingin surprise kepadanya, tapi saat Asmara ke apartemennya, Jico udah gak ada. Kata temen tetangganya, Jico sudah pulang ke kampung halamannya. Dan Asmara yang tadinya mau surprise, jadi gak jadi. Akhirnya Asmara menelpon Jico dan mau nanyain kabarnya, benar apa nggak nya, dia pulang kampung. Tapi nomornya gak aktif." Mencoba menjelaskan walaupun sedikit berbohong, seraya untuk meredakan air matanya.

"Makanya Asmara nelpon Ummi, minta alamat di sini. Habis... Asmara rindu sama Ummi dan Jico. Sekalian aja langsung ke sini, dan lagian Asmara udah janji ke Ummi waktu itu kan? Pasti Asmara akan main ke sini, dan ingin melihat langsung wajah Ummi yang cantik ini". Lanjutnya 


tersenyum manis


Asmaradiya merasa bersalah karena telah membohongi ummi nya Jico. Jika masalahnya di ceritakan di depannya, ia takut menyakiti keduanya.


"Hiiihh... gemes banget sih kamu, sayang. Udah cantik, persis banget manjanya sama Mamah kamu..." Canda ummi Rummy mencubit pipi Asmaradiya.

"Tapi yang disana, semuanya pada sehat kan, sayang?" Tanyanya kembali

"Alham..delelah... sehat semua Ummi" Asmaradia gagu dengan ucapan yang tidak biasa diucapkannya.

"Ih..... lucu banget sih kamu, sayang" Ummi Rummy tertawa.


Jico yang sehabis bermain dengan teman-temannya. Dari arah jauh, terparkir sebuah mobil di depan rumahnya dengan plat 


nomor polisi, B 45 MRA. Yang sudah tidak asing lagi di lihatnya.


"Pasti si Asmara...." Lirih hatinya


Ketika Jico sampai depan pintu rumahnya, lalu masuk dan mengucapkan salam. Asmaradiya menengok, dan berlari ke arahnya langsung memeluk dengan tangisan pilu penyesalan dengan memohon maaf. Tangis yang tadi mulai mereda, kini kembali seperti ombak yang mendayu dengan cepat.


"Eh...eh...." Ummi Rummy yang kaget melihat reaksi mereka


Asmaradiya yang tidak mau melepaskan pelukannya. Jico hanya nyengir melihat Ummi nya yang kaget lalu bersedekap ketika Asmaradiya menyerobot langsung untuk memeluknya.



"Hey... itu ada Ummi yang ngelihatin, lho" bisik Jico pada Asmaradiya, lalu serentak melepaskan pelukannya.


"Udah jangan nangis lagi ya..." Ujar Jico dengan melepaskan kacamata Asmaradiya untuk menyapu air matanya


"Hmmmm... enak banget nih kayak nya, ya. Di peluk oleh seorang wanita cantik yang bukan muhrimnya." Canda Ummi Rummy yang tetap di posisi bersedekap.


"Hahahaha..." Jico tertawa

"Ummi... Asmara sayang dia" Suaranya yang manja dan kembali memeluknya.


Jico sebisa mungkin menutupi masalah ini kepada semuanya, terutama kepada Umminya. Sedangkan Bibi dan Mamang nya yang nelihat mereka dari arah dapur, 


keduanya bahagia melihat kejadian tersebut. Mereka berdua tahu, bahwa ibu dan anak sama saja. Bukan hanya kelakuannya yang sangat mirip, tapi sama-sama suka bercanda. Pasangan usia senja ini salut kepada keluarga yang satu ini. Meskipun tuan dari lelakinya sudah tiada, tapi kehangatan dan harmoni keluarga ini tetap tidak berubah sama sekali. Karena sudah dari dulu mereka semua tahu dan mengenal kedua majikannya. Yang terus menerapkan pada kedua anaknya dari kecil yang sudah di gembleng dengan taatnya pada agama. 



"Mi... aku ajak main si Asmara dulu ya?" Jico meminta izin dan langsung menarik tangan Asmaradiya bergegas keluar.


"Heh Andrean! Itu tangannya..."


"Assalamualaikum...." Teriak Jico pada 


Ummi nya, sedangkan ia menjawab salamnya sembari menggelengkan kepala.


"Nyai... Nyai..." Bibi dan Mamang menghampiri, dan mereka tertawa.

"Keun weh atuh, Nyai..." Saran sang Mamang.


Mereka berdua pun pergi keluar berlarian. Jico hanya diam dan cuma memegang erat tangan Asmaradiya. Mereka berdua berjalan kaki menikmati pemandangan asri di kampung halaman ini. Dan ketika di tengah jalan, langkah kaki Asmaradiya terhenti. Ia langsung memeluk kembali Jico dengan erat dan kembali dengan tangisannya.


"Aku gak mau di diemin kayak gini..."


Jico yang terhempas dari pelukan Asmaradiya, keduanya terjatuh di 


hamparan rumput hijau yang luas. Tanpa sepatah kata, Asmaradiya langsung mencium Jico dengan penuh haru. Dan mereka berdua pun masuk ke dalam dunianya.


"Sayang... maafin aku." Lirih tangis Asmaradiya yang mendekap lekat di atas tubuh Jico. Dan menciumnya.

"Kamu gak perlu ngomong sayangku. Suara indahmu hanya akan terbuang sia-sia lagi." Asmaradiya menciumnya lagi.

"Sayang... Jika saja aku tidak keras kepala waktu itu. Mungkin aku tidak...." Kembali lagi terus-menerus mencium bibir Jico.

"Sungguh aku menyesal sayang. Maafkan aku. Tolong, perlakukan aku sekarang semaumu..."

"Dan dari ujung rambut hingga ujung kakiku semuanya milikmu.."


Asmaradiya yang terus mencium Jico 


dengan sangat lama. Kecupannya yang sangat berarti. Penuh haru sekaligus rasa penyesalan yang mendalam, takut akan lagi kehilangan, dan memuncaknya rasa kerinduan. Sebagai rasa yang paling terdalam, Asmaradiya tidak mau melepaskan kecupannya. Dan ketika waktu itu pun sudah ia niatkan, akan membuat Jico tak berdaya di hadapannya, memanjakannya dengan penuh hasrat gairah.

Jico hanya menutup mata, dan terbuai dengan khayalannya. Baru kali ini ia merasakan ciuman dari seorang wanita yang di cintainya. Dan begitu pula Asmaradiya yang menikmati, memberikan ciuman pertamanya pada Jico seorang.


"Sayang... kau boleh rebut keperawananku sekarang juga. Akan ku berikan semuanya, termasuk seluruh tubuhku untukmu seorang. Aku sudah siap dengan 


semua itu..." Asmaradiya membelai wajah Jico yang saling beradu pandang dengan lekat.


Nafas mereka berdua kian memburu, jantung berdetak kencang yang terus melaju. Asmaradiya yang menciumnya tanpa henti, dan meraba dada Jico dengan pelan. Jico pun masuk dalam rayuan maut Asmaradiya, ia terlena dengan khayalan indah yang di buatnya. Jico mencoba memasukan kedua tangannya ke dalam baju kekasihnya, memegang dan meraba buah dadanya yang indah. 

Iblis pun tertawa, setelah godaan yang menggoda keduanya. Melihat mereka yang saling menyatukan ludah dan membunuh kesadaran. Tubuh mereka saling menggapai dengan cumbu birahi yang memanas. Padang rumput hijau yang luas itu telah menjadi permadani atas saksi sirnanya kemunafikan dari keduanya.


Di saat mereka berdua terlelap dalam dunianya. Mereka di kagetkan dengan ponsel Asmaradiya yang berdering. Sebuah telepon panggilan masuk dari Hestia. Jico yang terkejut, serentak melepaskan pegangan kedua tangannya. Menghela nafas dan mereka berdua sesegera terbangun.


"Apa sih, ah..." Ucap kekesalan Asmaradiya


Lalu Asmaradiya mengangkat telponnya. Dan Hestia cuma bertanya kabarnya yang sudah sampai atau belum. Di saat itu juga Asmaradiya langsung menutup telponnya karena kesal.

Sedangkan Jico hanya, terdiam dan melongo atas kejadian ini. Dan hatinya terus berkata; Untung... Untung... Untung. Sembari mengelus-ngelus dadanya.


"Sayang...kok diem aja sih"

"Tadi katanya suruh diem". Jico masih 


syok atas kejadian barusan


"Aku gak mau di diemin sama kamu." Asmaradiya kembali menangis.

"Maafin aku sayang. Aku nyesel banget dengan semua yang aku lakuin ke kamu, termasuk omonganku yang sudah membuatmu sakit hati, bahkan sikapku yang membuatmu kecewa. Aku mohon maaf sayang. Tolong maafin aku..."

"Aku tarik lagi ucapanku. Aku gak mau putus sama kamu. Aku gak mau jauh darimu..."

"Kita lanjutkan lagi hubungan ini ya, sayang?". Pinta Asmaradiya menghentikan isak tangisnya.

"Dan satu hal lagi. Aku janji, aku akan selalu percaya penuh padamu kekasihku.

"AKU MENCINTAIMU JICO ANDREAN..." Teriaknya keras terbawa oleh sayupan angin sejuk di sore itu.


"Sayang... kok kamu diem aja sih aku ngomong. Jawab."

"Aku juga mencintaimu" Tegas Jico

"Kok kamu cepet banget sih sayang maafin aku? Kan aku punya salah gede banget lho, ke kamu"

"Sayang dengerin aku. Aku ingin melihatmu marah, kesel, bahkan bila perlu benci padaku. Sekali ini saja..." Pinta Asmara memandang lekat mata Jico

"Kau itu lelakiku yang aneh. Setelah aku sakiti, kau hanya diam menikmatinya dan tidak pernah kau balaskan rasa kecewamu padaku. Dimana nuranimu sayang? Aku ingin kamu juga marah padaku. Luapkan sekarang juga rasa kecewamu padaku. Aku mohon...." Lanjut pintanya dengan sungguh-sungguh


"Ayaaaaang ih... jawab"

"Ya, namanya juga orang cin....."

"Syuuut... Diem. Aku belum nyuruh kamu 


ngomong sayang. Dengerin aku dulu." Menempelkan jari telunjuknya ke bibir Jico

"Kok sekarang jadi kamu yang nyebelin sih. Tadi suruh ngomong, sekarang nyuruh diem. Gimana sih kamu!"

"Kalo kamu ingin lihat aku ngamuk. Yaudah sekarang aku ngamuk nih. Jadi serba salah gue!" Lanjut Jico dengan kesalnya.

"Hahaha. Iya iya sayangku...cintaku. Maaf. Nanti aja tapi kalo di atas kasur ya ngamuknya, oke?" Ujar Asmaradiya tersenyum

"Tapi kamu ikhlas kan maafin aku, sayang?" Dan lanjut memeluknya

"Aku gak ikhlas, soal nya tadi tanggung banget. Teleponmu tuh ganggu aja." Canda Jico kembali

"Apa yang tanggung sayangku?" Asmaradiya tertawa dengan polosnya

"Pokonya aku pengen megang itu lagi..." Manja Jico sambil menggerakan kakinya 


seperti anak kecil

"Bener, kamu mau sayang?" Tanya Asmaradiya serius dengan membelai wajah Jico.

"Masa ginian di kebon sih. Yang ada badan jadi gatel-gatel". Jico tertawa

"Yaudah. Sekarang ayo kita ke hotel". Pinta Asmaradiya tersenyum.

"Gak jadi lah, soalnya aku masih sakit hati." Canda Jico

"Maafin aku sayang, ih..." Asmaradiya memeluknya lagi

"Oke. Cium aku sekarang" Pinta Jico

"Kok kamu sih yang manja sayang. Harusnya aku, ih."

"Kemaren aku yang ngemis-ngemis kan ke kamu, buat ngejelasin?".

"Ayaaaaang ihh... udah cukup" Asmaradiya Cemberut 

"Yaudah... kalo gak mau mah" 

"Iya, iya..." Kecupan bahagia itu mulai menyebar ke seluruh saraf mereka berdua.



"Perasaan, kok gak kayak tadi ya?" Jico yang terus usil kepadanya.

"Ayaaaang...ihh. Terus aku harus gimana lagi..." kepolosan Asmaradiya mulai kebingungan

"Yang aku minta. Tolong percaya saja sama aku, gak lebih. Cuma itu" Tegas Jico tersenyum

"Sekarang tinggal aku yang minta padamu, sayang." Tanya Asmaradiya

"Minta apa....?" Penasaran

"Jangan tinggalin aku lagi. Gak lebih, cuma itu." Asmaradiya yang berbisik ke telinga Jico.


Cinta mereka berdua tumbuh kembali dan kembali lagi ke setelan pabrik mereka. Mereka berdua sudah kembali berjanji akan terus melanjutkan hubungan yang sempat terhenti. Asmaradiya dengan manjanya yang ingin selalu menang, dan 


Jico pun kembali dengan nyebelinnya. Asmaradiya berjanji, mulai dari sekarang ia akan sangat percaya pada kekasihnya, Jico Andrean.


Senja di sore hari terlihat indah ketika di pandang. Menandakan sang fajar telah berpamitan untuk pulang. Dan adzan magrib menuntun mereka untuk kembali ke rumah. Hati mereka yang telah tercurahkan semuanya dan kembali dengan seperti sedia kala. Asmaradiya yang bahagia karena Jico telah kembali berada di sampingnya lagi, dan Jico pun sama hal nya, kembali dengan penuh semangat yang kemaren sempat loyo karena sebuah masalahnya dengan Asmaradiya.


"Hmmm... abis kemana ini anak-anak Ummi. Magrib, baru pulang" Ummi Rummy yang menunggunya di depan pintu dengan bersedekap.


"Ummi..." Asmaradiya langsung memeluk

"Masa aku di panggil sama anak ummi JieJie sih. Emangnya aku orang Cina apa" Candanya mengadu

"Heh..."

"Hahaha... mungkin matamu yang sipit kali sayang. Makanya jagoan Ummi bilang gitu". Ummi Rummy terhibur

"Jangan dengerin dia Ummi, bohong itu..." Ucap Jico

"Buru mandi, terus ke Masjid. Nanti keburu telat sholat magrib berjamaahnya. Itu Mamang udah nungguin kamu di dalem, untuk berangkat bareng". Ummi Rummy menyarankan pada anaknya, Jico.

"Iya ummi...." lirih Jico sambil melihat Asmaradiya yang menjulurkan lidah, meledeknya.


Jico bergegas mandi dan pergi ke masjid untuk sholat magrib berjamaah. Karena takut di marahi Umminya yang tidak mau 


menunaikan sholat. Di sini Jico selalu taat, bahkan tepat waktu menjalankan ibadah sholat 5 waktunya. 


"Ummi... Asmara juga ikut sholat ya, bareng Ummi?" Pinta Asmaradiya yang lugu.

"Sayaaaang... Dengerin Ummi. Bukannya Ummi ngelarang kamu, tapi ini belum saatnya buat kamu" Saran ummi Rummy yang membelai wajah Asmaradiya.

"Noh... Bibi udah sholatnya. Ngobrol dulu gih sama Bibi Asih. Ummi mau sholat dulu sebentar ya sayang, nanti kita lanjut lagi ngobrolnya". Pintanya tersenyum pada Asmaradiya, yang menoleh ke arah bibi Asih.

"Sini Non..." Sahut bi Asih


Asmaradiya menghampiri bi Asih yang sedang menyiapkan bahan-bahan masak di dapur, mempersiapkan untuk makan 


malam. 


"Hallo Bibi... Asmara bantuin, ya?" Pinta Asmaradiya tersenyum

"Eh gak usah Non. Enon mah diem aja ya, duduk. Bibi buatin minuman ya, buat Enon" Lanjut bi Asih menawarkan.

"Nggak Bi, ah.... Asmara pengennya bantuin Bibi" Ucap Asmaradiya manja

"Ih si Enon mah...."

"Sekalian Asmara pengen belajar masak ke Bibi. Oh iya... Asmara inget, katanya Jico juga bisa masak belajar sama Bibi dari waktu SMP, ya?" Lanjutnya

"Kok Enon tau sih?"

"Soalnya dia cerita. Meski bahan-bahannya sederhana yang Jico masak, tapi enak banget Bi, sumpah. Asmara jadi ketagihan" Kedua sudut bibirnya perlahan menaik dan tersenyum manis


Keakraban mereka sudah mulai terbiasa dan saling terbuka satu sama lain. Asmaradiya yang ingin tahu tentang mereka, yakni Bibi Asih dan Mamang Dudung. Meskipun ia sedang menyiapkan masakan untuk makan malam buat majikannya, ia terlihat sangat terhibur bahagia. Sekarang ada lagi seorang anak perempuan yang mau menemani dan mengajaknya mengobrol, teringatkan oleh kakaknya Jico yang dulu sering membantunya dan menghiburnya, ketika masih di sini. 

Asmaradiya yang masih polos terus bertanya, yang sejak kapan Bi Asih dan Mang Dudung mulai bekerja dengan keluarga Jico. Lalu bibi Asih perlahan  menceritakan yang pertama sosok Mang Dudung adalah suaminya. Dilanjutkan lagi dengan pengalaman tentang kehidupannya yang sudah lama mengabdi di sini. Ketika tahu, Bi Asih dan Mang 


dudung bekerja sudah dari zaman sepasang Almarhum kakek-neneknya Jico dari Umminya, hingga sampai sekarang ini.


Asmaradia merasa tertarik, ketika Bi Asih bercerita tentang Jico kecil yang sudah di asuhnya dari bayi. Yang diucapkan Bi Asih atad salutnya ketika saat Jico kecil ialah, anaknya penurut dan tidak banyak omong. Bahkan ada satu kisah yang menarik, ketika ia masih sekolah dasar dulu. Suatu ketika obrolannya yang sedang asyik dengan teman-teman sebayanya saat bermain, lalu terdengar oleh bibinya. 

Ketika tahu, salah seorang temannya bercerita yang terus mengeluh dan mengatakan akan berhenti sekolah. Salah satu temannya itu sering di hina oleh anak-anak sekelasnya, karena profesi bapaknya yang jadi pengamen. Temannya yang mengeluh, mengatakan pada Jico dengan cara itu agar hidupnya tenang dan 


tidak ada yang mengganggunya lagi. Jico yang merasa kasihan padanya, ia memberikan sedikit saran padanya. Dan Jico menjawabnya, dengan perkataanyya yang masih terngiang-ngiang dikepalanya yaitu, kunci ketenangan hidup adalah jangan pernah merasa paling menderita di dunia ini. Lalu Jico pun beranjak berdiri dan mengatakan, "Aku akan hadapi semuanya". Sambil menangis.

Mungkin di maksud Jico, Jico memahami perasaanya dan merasa kasihan. Karena niatnya yang ingin membela, Jico langsung menggubris kepada teman-teman sekelasnya untuk jangan pernah lagi menghinanya.

Dan Asmaradiya sekarang jadi tahu dan paham yang dikatakan Jico waktu itu. Jico selalu merasa kesal, jika bertemu dengan salah satu seorang pengamen yang membawa anaknya. 


Jico anaknya yang tidak pernah banyak meminta ataupun ingin di manja, layaknya bocah tapi sudah bisa berfikir dewasa. Apa yang ia pakai, ia cuci sendiri. Apa yang dikumpulkannya sudah penuh, ia tak lupa untuk menaruh. Dan apa yang ia pelajari, ia sudah cepat memahami dan mengerti. Bahkan uang jajannya pun sering di kumpulkan untuk di berikan kepada yang membutuhkan, tak lain untuk selalu bersedekah.

Karena mungkin sudah di tuai dan ajarkan berperilaku baik oleh kedua orangtuanya, dan begitu penting peran orang tua terhadap anak-anaknya.


"Itu yang di poto bareng Jico, siapa Bi?" Tanya Asmaradiya penasaran

"Oh... yang itu teh, si Teteh. Kakanya si Aden Non".

"Pantesan mirip Ummi mukanya". Asmaradiya tersenyum.



Bi Asih menceritakan kembali kisah kakaknya Jico, Humaira Aylin Magdalena. Yang sedang menempuh pendidikan S2 nya di Kairo, Mesir. Selisih umurnya yang beda 4 tahun dengan Jico. Kakaknya sering sekali memanjakan Jico ketika dekat dengannya. Dan meskipun menurut Jico risih akan perlakuan manja sang kakak terhadapnya. Tapi Jico selalu menurut apa yang dilakukan dan di ucapkan oleh kakaknya. Bahkan Jico berjanji, akan selalu maju paling depan untuk membelanya, jika ada seseorang yang berani menyakitinya perasaannya. Bagi Bi Asih dan Mang Dudung, mereka berdua adalah sosok malaikat kecil yang periang di keluarga ini, sekaligus pelengkap kekosongan bagi mereka dan menjadikan bagian dari hidupnya juga.


Lanjut adzan Isya, dan semuanya telah 


menunaikan ibadah. Jico dan Mamang nya tiba di rumah sehabis dari masjid. Lalu melanjutkan makan malam bersama-sama.


"Tumben banget. Kalo mau makan, biasanya minta di suapin aku terus kamu, sayang."


Canda Asmaradiya pada Jico. Dan Jico pun tersedak saat minum. Semua yang ada di depannya melongo, ketika Asmaradiya mengatakan itu.


"Noh Ummi lihat. Kalo disini dia malu-malu karena ada Ummi". Lanjut dengan candanya. 


"Nih ummi suapin...." Ummi Rummy serentak langsung memasukan tempe goreng pada mulut Jico. Bibi dan Mamangnya tertawa melihat kelucuan 


mereka.


"Heh...." Jico yang mengunyah tempe menatap Asmaradiya, dan Asmaradiya meledeknya dengan menjulurkan lidah.


Hingga selesai makan malam, mereka mengobrol dan menghabiskan waktu malam bercanda gurau dengan bersama-sama. Karena esok hari Jico dan Asmaradiya kembali untuk beraktivitas masuk kampus seperti biasanya. 

Ummi Rummy, menyarankan agar Asmaradiya tidur di kamar kakaknya Jico yang kosong.


"Awas aja kalo macem-macem". Ujar Ummi Rummy pada Jico

"Iya Mi...." Jico mengangguk, dan Asmaradiya hanya tertawa

"Jangan cuma iya iya nya aja" 

"Iya Ummi-ku sayang. Selamat malam..." 


Asmaradiya terus tertawa melihat keakraban mereka.


Saat aku mengenalmu,

Pikiran tersesat yang tadinya buntu

Kini lebur menjadi debu

Seakan beban telah musnah di kepalaku

Saat aku mengenalmu,

Ada satu rasa yang membuatku layu

Ketika rasaku tak lagi merasakan kehangatanmu

Aku tahu, cinta yang kau tanam telah mengakar dalam hatiku

Maka dari itu,

Jangan pernah lagi berpaling dariku

Dan sejak aku sudah lebih mengenalmu,

Aku berharap kepada Tuhanku

Dan namamu selalu ku sebut dalam doaku

Bisakah engkau terus tinggal bersamaku?



MILIKMU


Berseminya kembali cinta mereka berdua seperti sedia kala. Pagi hari dengan penuh semangat bahagia, mereka berdua berpamitan kepada semuanya. Meminta izin restu, untuk berangkat kembali melanjutkan kewajiban aktivitas kuliahnya di ibukota Jakarta.

Ketika dalam perjalan, mereka pun banyak perbincangan yang romantis. Tidak pernah sedikit pun berubah dari mereka berdua, tetap dalam keadaan yang sama. Asmaradiya yang merasa bahagia kembali dengan adanya Jico di sampingnya, dan masih ada yang mengganjal di pikirannya  penuh rasa sesal dengan memandang lekat kekasihnya yang sedang menyetir mobil. Bertanya-tanya kepada sosok kekasihnya, padahal Asmaradiya telah menyakiti dengan perkataan yang membuatnya kecewa, tetapi Jico selalu memaafkan tanpa pernah membahas masalahnya. Apakah Jico tidak 


mempunyai rasa amarah bahkan rasa kecewanya tidak pernah ia bisa di ungkapkan dengan cara terbuka, ataukah kecewanya selalu ia nikmati dengan cara diam dipendam. 

Dan ketika tahu Jico lah sendiri yang memohon maaf duluan. Jico hanya mengatakan, masalah yang berlalu biarlah lebur dengan sendirinya. Padahal Asmaradiya lah yang sudah salah sangka terhadapnya. Karena cinta, Jico hanya berasumsi pada Asmaradiya yang menjadi masa depannya kelak, dan tidak perlu membahas yang berkesudahan, cukup fokus menjalankan hubungan dengan penuh rasa percaya. Yang diungkapkan Jico, sebenarnya ia banyak mimpi, jadi Jico hanya meminta tolong pada Asmaradiya, kekasihnya. Jangan pernah membahas tentang masalah yang lalu, cukup hanya menemani dan meraih mimpi itu bersama-sama hingga benar-benar 


bahagia itu tiba.

Asmaradiya yang terus tertegun oleh pikiran sesalnya dan tetap memahami apa yang di ungkapan Jico tadi, ia langsung mencium pipinya yang sedang fokus menyetir.


"Hey..." Jico menoleh

"Kenapa sayang..." Asmaradiya tersenyum menatapnya

"Aku lagi fokus nih. Eh.. tapi lagi dong sayang..." Pinta Jico tertawa

"Huuu.... dasar Nyebelin." Mencubit pipi Jico


Di saat mencubit pipi dan membelainya, Asmaradiya langsung kaget. Karena wajahnya memerah dan sekujur badannya yang sangat panas, terlihat raut wajahnya yang sedang menahan rasa pusing. Dan Asmaradiya sangat khawatir padanya, menyarankan untuk beristirahat 


sementara di rest area terlebih dahulu. 


"Abis ngapain sih semalem? Bukannya aku tidur, kamu juga tidur kan?" Tanya Asmaradiya penuh khawatir ketika sudah sampai di rest area. Dan Jico hanya nyengir.

"Jawab Sayang..." lanjutnya yang mulai menangis.

"Maaf Sayang ya... semalam aku keluar lagi dengan temen-temen". Jico nyengir

"Ya Tuhan... Jadi, sampai saat ini kamu belum tidur? Pantesan dari tadi nguap muli. Pusing kepalamu kan, makanya jadi demam gini?"

"Kebiasaan banget sih kamu. Pasti gak izin dulu ke Ummi, saat kamu keluar lagi tengah malam, kan? Sayaaaang... bandel banget sih jadi anak"

"Aku khawatir Sayang.... kenapa gak bilang dari tadi kalo kamu belum tidur."


Asmaradiya terus memarahinya seraya menangis karena khawatir.

Saat Asmaradiya beranjak turun dari mobilnya untuk membeli minuman larutan isotonik, Jico langsung menarik tangannya.


"Mau kemana..."

"Mau ke warung dulu beli minuman sayang."

"Jangan lama-lama ya..."


Jico berbaring di kursi belakang mobil, lalu tertidur. Ketika Asmaradiya sudah membeli minuman, dan menghampiri ke parkiran mobilnya. Terlihat Jico yang  sedang meringkuk pulas, dan Asmaradiya pun masuk untuk menemaninya. Memindahkan posisi kepalanya yang salah takut lehernya kram. Paha Asmaradiya yang menjadi sanggaan bantalnya dan terus memandang lekat dengan membelai wajah Jico.



"Tetap saja kau tidak berdaya jika tak ada aku di sampingmu, sayang..." lirih hati Asmaradiya


"Rambut ikal mu ini, yang selalu ingin aku elus setiap harinya. Ketika kepalamu terasa pusing bahkan ketika ada pikiran yang menggajal ataupun mengganggumu, aku akan segera mendinginkannya dengan mengelus-elus manja kepalamu ataupun mendaratkan kecupan sejuk di keningmu. Mata ini, yang selalu menatapku penuh bahagia. Hidung ini, yang ingin aku adukan dengan hidungku sambil beradu menggesekkannya bersama-sama. Pipi ini, yang menjadi singgah bantalan ciuman bibirku. Bibir ini, yang selalu menjadi akhir rasa resahku ketika kita saling berciuman. Telinga ini, menjadi pendengar baik untukku. Tanganmu ini, yang selalu membelaiku. Ketika aku menangis, 


perlakuanmu yang membuatku bahagia dan membuatku tersenyum kembali. Dan aku ingin meminta rasa egoisku padamu, tolong serahkan semua tubuhmu padaku agar kita saling menyatu..." Ucapnya ngomong sendirian, mengarahkan telunjuknya ke semua organ yang ada di wajah Jico dan terus membelainya.


20 menit berlalu, akhirnya Jico terbangun tidurnya. Ketika membukakan kedua matanya, terlihat Asmaradiya yang sedang tersenyum di atas kepalanya.


"Udah cukup tidurnya sayang?" Tanya sang kekasih sambil membelai wajahnya

"Aduhhh maafin aku sayang. Kakimu pegel ya?" Jico langsung beranjak bangun.

"Nggak sayang. Kalo masih pusing, lanjut lagi aja gapapa."

"Udah ah, takutnya nanti aku pulas tidur di pahamu."


"Gapapa sayang. Tolong sekali ini saja aku minta, aku ingin memanjakanmu". Pinta Asmaradiya

 

Jico yang melongo ketika Asmaradiya mengatakan itu dengan sambil memegang kedua tangan Jico, lalu mengarahkan pada kedua buah dadanya.


"Sayaaaang...." keterlenaanya mencium  Jico penuh gairah


Disini hanya ada kita berdua

Takkan ada orang lain yang menghakimi

Dan aku suka saat kau menyentuhku tanpa henti

Ku persembahkan untukmu


Dentum desahan Asmaradiya karena kegeliannya, dan nafas Jico yang terus menarik ulur dengan sangat cepat. Yang terus mendaratkan kecupannya tanpa 


henti pada leher Asmaradiya. Dan mereka berdua pasrah pada keadaan sekarang, yang ada hanya kata, lakukanlah dengan penuh bahagia.


Tangan mereka saling meraba satu sama lain, menandakan kenyamanan dan kehangatan sudah di atas puncaknya. Saat Jico melepaskan kacamatanya dan membisikkan di telinganya. Jico ingin membukakan semua yang menghalangi pada tubuhnya, dan Asmaradiya mengangguk pasrah. Mereka tidak perduli pada sekelilingnya. Mobilnya yang terparkir di rest area menjadi arena pertempuran kedua hasrat mereka. ketika Jico memandang, tak pernah sekalipun mengkedipkan kedua matanya, serasa terkena sihir oleh kedua buah dada Asmaradiya yang indah. Hingga dibatas terakhir Jico telah menemukan titik terang benderang, terus melajutkan kemauan 


ambisi yang ada di kepalanya saat ini untuk melepaskan semua yang mengganggu pada di tubuh Asmaradiya.


"Tiiiiiiinnnnn...." Suara klakson mobil mengagetkan mereka berdua.


Jico yang tadinya terbuai akan memuncak nafsunya, kini langsung tersadarkan oleh klakson mobil yang sangat keras mengagetkannya. Jico kembali mengelus-ngelus dadanya karena kekhilafan nafsu yang membuat hatinya mati tak berdaya dalam kedunguan. Terus menyebutkan Asma Tuhan untuk memohon ampun atas perlakuannya.

Sedangkan Asmaradiya yang sudah dalam keadaan terpejam pasrah, hanya menarik ulur nafasnya dengan pelan. 


"Sayang maafin aku...." 


Jico langsung menutup tubuh Asmaradiya dengan pakaian.

Dan perlahan Asmaradiya membuka matanya, langsung memeluk Jico dengan erat.


"Kenapa gak dilanjutin sayang... kan gak ada yang melihat kita." Lirih pinta Asmaradiya


Jico sebisa mungkin menyadarkan Asmaradiya, meminta untuk kembali memakaikan pakaiannya. Dan menyarankan untuk melanjutkan kembali perjalan mereka pulang ke kota.


Laju mobil telah berjalan kembali, tak sepatah kata yang mereka berdua ucapkan. Hanya canggung dan rasa malu yang ada di pikiran mereka berdua.

Saat mereka menoleh bersama saling memandang, mereka berdua akhirnya tersenyum kembali.



"Aku sudah tahu dari awal bahwa kamu tidak berdaya sayang. Terkadang wanita sepertiku itu suka memaksa. Tapi aku juga tahu bahwa kamu sangat bisa di andalkan, kuat dan baik bahkan memaafkan. Jadi saat kau bersamaku, biarkan aku saja yang memanjakanmu." Lirih hati Asmaradiya.


ANGKUH


Pagi hari, hirup nafas suasana di areabkampus. Jatniko melihat Asmaradiya yang sedang bergandengan tangan dengan Jico. Pikirnya yang sudah tahu bahwa mereka kembali balikan.

Rasa kesalnya selalu berambisi untuk menghancurkan, terkadang berbagai upaya cara dengan penuh optimis, tetap saja Jatniko selalu gagal.


Dan ketika kelas sudah bubar, Jatniko melihat kembali Asmaradiya yang kini hanya berjalan sendirian ke arah parkiran mobilnya, dan tidak ada Jico yang menemani di sampingnya. Dia mencoba mendekati Asmaradiya, dan ingin menanyakan banyak hal.


"Hallo Asmara..." Sapanya tersenyum, sedangkan Asmaradiya hanya menoleh.

"Tumben si Pacar kagak bareng hari ini, kemana?" Lanjutnya penasaran

"Kepo banget sih lo jadi anak" Cetus Asmaradiya


Jatniko langsung memegang kedua tangan Asmaradiya, menghentikan yang sedang mau membukakan pintu mobilnya.


"Asmara... dengerin gue, kali ini aja. Plis..."

"Lo mau apa sih! Lepasin ah!" Asmaradiya mencoba melepaskan cengkraman dari 


tangannya.

"Gue gak mau lepasin. Lo harus dengerin dulu."

"Sakit tau...! lo maunya apa sih!? Lo itu cuma temen masa kecil gue, inget cuma temen masa kecil, tidak dengan sekarang ini! Lo gak berhak ngelarang gue dan lagian lo siapanya gue sih!? Gue mohon jangan ganggu gue lagi!" Lanjut Asmaradiya yang mulai menangis, karena cengkraman keras dari tangan Jatniko.

"Justru itu, gue sebagai temen masa kecil, ada yang mau gue ceritain ke elo. Ini penting Asmara".

"Lepasin!!!" Pinta Asmaradiya menangis kesakitan.


Serentak Jico datang, langsung menepis tangan Jatniko untuk melepaskannya.


"Heh lepasin! Dia ini cewek, gak bisa ngelawan. Dan lo udah bikin cewek gue 


nangis" 


Jico terpancing amarahnya dan melayangkan pukulan ke arah muka Jatniko, lalu dua teman Jatniko melihatnya menghampiri dan berteriak untuk menghentikan. 


"Ini dia yang namanya Jico, yang sering gue ceritain sama lo berdua". Ucap Jatniko pada kedua temannya.


"Oh jadi ini..."

"Gue udah gak asing ama muka lo. Dan lo anak club motor Hollow kan?! Bangsat lo..." Ucap salah satu teman Jatniko yang mau menghajar Jico


"Woyy...!!!" Teriak suara kencang dari Rio, berlari menghampiri mereka yang mau adu jotos.

"Ini kampus, bukan arena tinju."


"Ohh gue tau... Lo anak club motor Destroyers, kan?" Lanjut Rio menunjuk salah satu teman Jatniko


"Udah men, sekarang kita cabut aja dulu. Ini belum saatnya..." Ujar Jatniko pada kedua temannya

"Dan inget kata-kata gue, Asmara... lo pasti bakalan nyesel sama dia". Lanjutnya menunjuk ke arah Jico.

"Maksud lo apaan?!" Jico terpancing emosinya, dan Rio mencoba menenangkannya agar tidak terjadi perkelahian.

"Awas aja lo berdua, kalo ketemu di jalan!"

Ancam satu teman Jatniko, menunjuk ke Jico dan Rio, lalu mereka bertiga pun pergi.


Jico penasaran kepada salah satu temannya Jatniko yang mengancamnya. Ia pun bertanya pada Rio, dan Rio yang sudah tahu tentangnya lalu menjelaskan. 


Salah satu dari teman Jatniko, dia adalah Antoni, wakil ketua divisi 1 dari club motor Destroyer yang sekarang menjadi berselisih, atau sering bentrok dengan club motor Hollow.

Ketika tahu, di katakan meskipun beda lambang, dari dulu kedua club motor ini adalah partner konvoi touring dan sudah saling mengikatkan tali perdamaian.

Akan tetapi waktu itu, salah satu dari anggota club motor Hollow membuat kesalahan, dan memutuskan tali perdamaian tersebut yaitu oleh David, 

adik dari pendiri sekaligus ketua club motor Hollow. 


Dan malam ini, mereka berdua mendapat undangan grup sekaligus kepada semua anggota club motor Hollow untuk sebisa mungkin bisa kumpul, karena ada yang ingin di musyawarahkan penting oleh ketua club. Dan hanya Jico seorang yang 


di beritahukan langsung oleh ketua club yaitu bang Alex sang pendiri, untuk bisa hadir di acara resmi sore ini.


"Motor lo udah bener 'Co?" 

"Tanya nya sama anak ini nih..." Canda Jico mengalihkan kepada Asmaradiya yang sedang anteng memeluknya.

"Hehehe... baru aja kemaren di bawa ke bengkel." Asmaradiya tertawa

"Hehehe maafin aku sayang ya..." Asmaradiya yang lekat memeluk Jico

"Dah lah, gue cabut duluan ya. Kalian berdua itu bikin gue iri aja."

"Kabarin aja ke gue ya. Kalo motor lu belum bener, lo bareng gue aja" Lanjut ujar Rio

"Oke...."


Asmaradiya yang berfikir jauh pada kekasihnya, dengan adanya acara resmi ini di takutkan akan berujung bentrok 


dengan club motor lain. Ia meminta pada kekasihnya Jico untuk ikut membawanya kumpul. Karena motor Jico yang belum selesai di reparasi, Asmaradiya menyarankan untuk menaiki mobilnya saja.


"Ayang... kita makan dulu yuk. Perutku sudah tidak lagi bisa dikompromi?" Pintanya

"Kemana?"

"Hmmm... aku pengen banget deh makan ramen,".

"Jangan ramen ah... takut ada daging babi nya" Canda Jico

"Hahahaha... gak ada sayang. Ini halal kok"

"Awas aja kalo ada"

"Ih nggak ada. Ayo..."

"Yaudah oke..."


Selepas isya. Mereka berdua menuju ke tempat acara yang sudah di tentukan. Dan 


ketika sudah sampai, Asmaradiya kaget karena banyaknya anggota club motor Hollow yang semuanya hadir, sekitaran 100 orang lebih. Dan 4 wanita yang salah satunya ia kenali, yaitu Erika. Asmaradiya di sambut hangat olehnya dan memperkenalkan satu persatu ke empat anggota wanita yang ada disana. Yang memakai hijab bernama Rossa, wanita tomboy yang memakai topi, Bella. Dan satu lagi yaitu Luna mantan Jico yang dulu di ceritakan kepadanya.


"Hallo..." Sapa Rosa dan Bella

"Oh... jadi kamu pacar Jico sekarang". Ucap Luna sinis

"Panggil aja aku Asmara atau Rara. Iya aku pacarnya sekaligus calon isterinya kelak". Lanjutnya yang tidak mau kalah menyinggung pada Luna, sisi lain Erika hanya tersenyum dari keberanian Asmaradiya.



Semua anggota telah berkumpul dan merapatkan barisan. Alex, pendiri club sekaligus ketua, langsung membuka suara dan semuanya terdiam karena kewibawaannya sebagai jiwa pemimpin. Ia menyatakan ingin pensiun dari club motor ini, karena waktunya yang tidak bisa lagi seperti biasanya dan sudah punya keluarga. Dan dibalik acara resmi ini, ia ingin menyerahkan dan mempercayakan jabatan sebagai ketua kepada Jico. Karena Alex sudah tahu kepribadian Jico, yang mempunyai jiwa kepemimpinan yang besar, bahkan ke rispekan nya kepada semua anggota yang saling menghormati, dan bisa memberikan masukan hal positif. Menurutnya, Jico yang patut untuk meneruskan perjuangannya. Selama ini ia selalu berfikir ingin menyerahkan kepada adiknya, David. Tapi apa yang di perbuat adiknya tidak sesuai yang diinginkan, 


bahkan jadi biang benalu dalam club motor Hollow ini. Dan semua anggota pun setuju dengan keputusan Alex. Jico lah yang berhak mendapatkan jabatan itu.


"Bang... jangan gue. Gue belum siap untuk ini" Ujar Jico yang melongo dengan keputusan semua anggota

"Yor... semua yang ada di sini juga udah tau, bahwa elo lah yang berhak. Gue percayain semuanya. Tolong jaga tali persaudaraan kita, dan jaga nama baik club kita. Selamat ya".


Ucap Alex, dengan menyebutkan nama panggilan terbaik darinya untuk Jico seorang, yakni Bayor. Diambil dari nama sebuah arti jiwa ke rispekan. 

Semua anggota yang ada disana berteriak senang, mengucapkan selamat pada Jico, yang telah menjadi ketuanya sekarang. Dan merayakannya malam ini.

Tentu saja di balik itu ada kecemburuan 


sosial bagi David dan fraksinya. Atas dirinya yang tidak ditunjuk sebagi ketua pemimpin oleh kakaknya sendiri. Mereka tidak terima dan tidak mengakui Jico sebagai ketuanya. David dan dua fraksinya langsung pergi meninggalkan acara tersebut.


"Yor... gue yakin lo pasti bisa. Tolong rubah kebiasaan buruk dari adek gue,ya." Harap Alex dan Jico hanya terdiam.


"Selamat ya Jico..." Ucap Luna dan memegang kedua tangan Jico.


Asmaradiya cemburu melihat perilaku Luna yang ganjen dan kegatelan pada kekasihnya. Ia langsung merebut kembali kedua tangan Jico yang sedang di pegangnya.


"Ayang... kalo udah acaranya kita pulang 


yuk." Ujar Asmaradiya yang kesal terhadap Luna.

"Oh jadi ini toh, pacarmu Yor?" Tambah Alex

"Iya bang..."

"Gila... beruntung banget lo Yor. Ini benar kan yang katanya orang Jepang itu?" Tanya Alex kembali.

"Hahaha kayak pemain kan bang?" Canda Jico dan semuanya pun ikut tertawa

"Heh..." Asmaradiya mencubit pinggang Jico

"Oh iya, untuk semuanya. Kenalin, aku Asmaradiya pacarnya Jico sekaligus calon isterinya kelak" 


Asmaradiya mengenalkan dirinya dengan penuh percaya diri kepada anggota lelaki yang ada di depannya, menoleh dan tersenyum pada Luna yang ada di sampingnya.

Sebelum acara ini bubar dan pulang, Jico 


memberikan amanat terbaik bagi anggotanya.


"......Terima kasih kepada Bang Alex dan semuanya. Tanpa kalian semua, gue bukan apa-apa. Tolong, tegur gue jika melakukan salah. Dan pukul gue, ketika gue kehilangan arah. Tetaplah selalu ada di samping gue, jangan pernah di belakang ataupun di depan. Karena bagi gue kalian semua itu adalah keluarga. Gue banyak kekurangannya, jadi tolong bimbing gue bersama-sama dan tolong kerja samanya"


Alex sebagai mantan ketua club motor Hollow, menutup acara ini dengan penuh rasa terima kasih. Semua anggota pun bubar dan pulang kembali ke rumahnya masing-masing, berharap selesainya acara ini tidak ada yang nongkrong di luaran lagi, dikhawatirkan club motor 


Destroyer sedang mengospek anggota yang baru untuk mencari masalah.


Di dalam mobil, Asmaradiya selalu bertanya pada kekasihnya yang merasa risih terhadap Luna.


"Mantan kamu nyebelin banget sih, sayang... ih amit-amit ganjen banget!"

"Kok kamu tahu, si Luna mantan aku?"

"Waktu itu, Erika cerita tentang dia. Dan itu membuatku benci. Eh sekarang, ketemu langsung dengan wujudnya, malah makin tambah benci." Asmaradiya cemberut

"Hahahaha... jangan gitu sayang, ya. Kamu gak perlu lihat masalaluku. Kamu hanya fokus ke depan denganku. Tidak perlu melihat sana-sini yang membuatmu kesal dan merasa overthinking. Gak lebih, cukup percaya saja padaku". Tegas Jico

"Dikira kamu aja yang nyebelin. Tapi mantanmu juga sama-sama nyebelin" 


"Tapi kamu suka kan?" Lirih Jico merayu

"Ke mantanmu? Ih.. najis banget. Dan aku sukanya cuma ke kamu doang seorang..."

"Jangan genit, dan jangan tinggalin aku sayang, ya? Aku percaya padamu kekasihku" Asmaradiya membelai wajah Jico dan menciumnya

"Bagaimana bisa aku memandang yang lain, sedangkan wajah cantikmu berbeda dari yang lain?" Jico serentak menghentikan mobil, dan membalas kembali ciuman Asmaradiya.


Senyumanmu...

Kesedihanmu...

Adalah tanggung jawabku


KESEIMBANGAN


Seperti biasa, romanis selalu ada. Bukan karena terpenuhi oleh rasa cinta, tapi rasa percaya yang bisa menciptakan segalanya.

Ketika sepasang kekasih ini berangkat 


menuju kampusnya. Karena sama-sama semester tahun ini masuk pagi. Di lampu merah, empat anak marjinal yang sedang mengamen ketika menyanyikan lagu, salah satu dari mereka suaranya terdengar lesu dan sedang menyangga perut menahan rasa lapar. Jico yang tahu ketika melihatnya, ia merasa iba.


"Sayang...aku turun dulu sebentar. Tunggu aku aja di depan ya?" Pinta Jico

"Kamu mau kemana ih... bentar lagi ijo itu".

"Ayaaang, mau kemana..." Lanjut Asmaradiya penasaran.

"Udah tunggu aja bentar ya..." Jico turun dari mobil


Asmaradiya hanya melihat kekasihnya dari dalam mobil sembari menunggu lampu hijau menyala. Terlihat aneh dan penasaran, ketika kekasihnya turun dari mobil berlari menuju ke pedagang 


gerobak nasi kuning yang ada di pinggir jalan tersebut, sekaligus membeli air mineral pada warung sebelahnya. Kemungkinan Jico masih lapar, padahal tadi pagi sebelum berangkat ia sarapan bersama dulu, pikir Asmaradiya.


Setelah empat porsi nasi kuning terbungkus, dan air minum. Jico menghampiri keempat pengamen tersebut dan memberikan kepada mereka. 

Asmaradiya yang sudah menunggunya di depan. Kini rasa penasarannya itu terbayar dengan senyuman manis, karena telah melihat tindakan mulia kekasihnya ini.


"Maaf ya kalo lama..." Ucap Jico ketika menghampiri Asmaradiya yang sudah menunggunya dan memberikan minuman. 

Asmaradiya hanya tersenyum memandang lekat wajah Jico dengan bahagia. 



"Kok diem. Kamu marah ya? Yaudah kalo gitu, aku jalan kaki aja lah".

"Nggak sayang..." Langsung memegang kedua tangan Jico

"Maafin aku ya. Terima kasih juga sudah mengingatkanku". Lanjutnya.

"Makasih buat?"

"Karena kamu selalu ada disampingku. Yaudah yuk, nanti kesiangan sayang." Pinta Asmaradiya mengalihkan.

"Oh iya. Ada dua anak bernama Lazuardi Gatra sama Meysha Rindu..."

"Siapa... ?" Asmaradiya penasaran

"Itu adalah nama untuk kedua anak kita kelak". Jico tersenyum, dan Asmaradiya kegirangan.


Materi pelajaran sudah selesai. Ketika Jico ingin menemui sekaligus menunggu kekasihnya di depan kelas seperti biasanya. Suara panggilan teleponnya 


berdering, yang tertera nama dari layar handphonenya yaitu Able, bendahara dari anggota club motornya. Memberitahukan bahwa salah satu dari anggotanya, yakni David dan jajaran fraksinya. Barusan mereka telah menabrak seorang ibu yang sedang menyebrang di jalan, atas tindakan dari balapan liar di jalan umum bersama fraksinya, David yang tidak mau bertanggung jawab atas perlakuannya, ia langsung pergi begitu saja, meninggalkan tanpa menolong ataupun meminta maaf pada korbannya seorang ibu tersebut. Dan kebetulan Able melihatnya ketika sedang menjemput pacarnya yaitu Bella. Lalu Ibu korban tersebut di bawanya ke rumah sakit, untuk di rawat lukanya yang parah.

Mendengar kabar musibah tersebut, Jico langsung bergegas menemui Able yang sudah menunggu kedatangannya di rumah sakit.


"Sayang kamu dimana? Aku cari sana-sini gak ada, lagian mau ngambil motormu di bengkel kan?" Asmaradiya yang khawatir terus mencarinya dengan menelpon.

"Aku ada urusan bentar. Kamu duluan aja ya, sayang. Soal motor nanti aku aja yang ngambil". Ujar Jico


Able mencoba menghubungi semua anggota club motornya atas arahan dari Jico. Malam nanti untuk sebisa mungkin hadir dan berkumpul untuk memusyawarahkan perkara ini, termasuk David dan fraksinya yang bersangkutan.


Seorang ibu yang dirawat tadi sudah baikan dan bisa berjalan kembali. Jico sebagai ketua club, memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian musibah ini. Dan berjanji akan bertanggung jawab penuh terhadap sang korban.


Ibu tersebut diantar oleh Jico untuk pulang ke rumahnya dengan taksi online, sedangkan Able membuntuti dibelakang dengan motornya. 


Sesampainya di rumah Ibu korban yang mereka berdua antar, Jico berpesan kepada ibu tersebut. Jikalau luka di kakinya masih berlanjut, ia menyarankan untuk menghubungi ke nomor teleponnya. Memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian ini, lalu Jico dan Able berpamitan pulang. Sekaligus Jico meminta tolong kepada Able untuk mengantarkannya ke bengkel, mengambil motornya yang sedang di reparasi.


Telepon Jico kembali berdering, dari Asmaradiya yang sudah menunggu kepulangan Jico di rumahnya. 


"Hallo sayang. Kamu sekarang dimana? Udah belum dengan urusannya? Aku 


khawatir. Hari sudah gelap, kamu belum juga pulang. Dari siang kamu belum juga makan, kan? Ayo pulang dulu sayang. Aku menunggumu di rumah." Ucap Asmaradiya yang terus menghawatirkannya. Dan Jico pun menurut, lalu segera menemuinya.


Manusia itu mudah di pengaruhi, tidak dengan memahami.


Malam hari, sekitar pukul jam 08:00. Anggota club motor Hollow telah semuanya berkumpul hadir, termasuk David dan fraksinya.

Jico sebagai ketua club, ia membuka rapat clubnya dengan menyuguhkan sebuah alembar kertas pegeluaran uang kas bulan ini, dan nota pembayaran administrasi rumah sakit.


"Ini biaya rumah sakit siapa, Yor? Kok mahal banget" Ucap salah satu 


anggotanya.


Able sebagai bendahara, menjelaskan dengan rinci termasuk biaya administrasi rumah sakit. Yang menguras habis semua uang kas club motornya, sekaligus uang tabungan pribadinya Jico. Begitu pula tentang perkara kejadian siang tadi, maksud Able hanya menyinggung kepada seluruh anggota, meminta rasa kedewasaanya untuk bertanggung jawab di setiap ada masalah, dan menyelesaikannya dengan cara bersama-sama. 


"Maksud lo apaan?! Lo nyinggung kita?" David dan fraksinya tidak terima.

"Lo tadi pada kemana, hah?! Bukannya tanggung jawab, malah kabur."  Ucap Able. Dan semua anggotapun jadi tahu, biang dari masalah semua ini.

"Sudah cukup. Jangan saling 


menyalahkan. Dari semua masalah ini kita jadikan pelajaran saja. Dan mohon kepada semua anggota jika ada suatu masalah tolong cerita dan hubungi saya..." Amanat Jico kepada semua anggotanya dan mengakhiri musyawarah pertemuan saat ini.


Sebagai terpilih atas jiwa kepemimpinan yang begitu berpengaruh pada semua anggotanya, memikul rasa tanggung jawab yang sangat besar dan bebannya terasa berat. Ia tahu akan ada cobaan yang banyak berdatangan baik dari anggotanya maupun di luaran sana. Jico selalu memikirkan banyak cara untuk kedepannya, agar semua club motor disini, tidak lagi di pandang oleh masyarakat sebagai musuh ataupun kelompok kejahatan.


Setelah mengambil motornya yang sudah 


di reparasi oleh montir. Jico kembali menemui kekasihnya di rumah.


"Aku kangen...." Berlari memeluk Jico seraya memandang wajah kekasihnya yang terlihat muram lalu membelainya.

"Mukamu kenapa sayangku, kayak yang lelah begitu?"

"Aku pengen di cium kamu" Ucap Jico dengan candanya, menutupi masalahnya dengan senyuman pada kekasihnya.

"Hih... kebiasaan." Asmaradiya memukul pundaknya.

"Aww... sakit, tau."

"Eh... maaf sayang" Kecupan itu serentak mendarat di pipi kanannya. Dan Jico pun sama halnya.


Memang benar, sebanyak apapun pikiran yang terpicu akan sebuah masalah. Yang menjadi penyemangat membangkitkan kembali sekaligus tempat berteduh yang 


efektif menenangkan diri ialah bersama sang kekasih. Sebanyak apapun masalah dan seberat apapun beban yang menimpa di kepala, obat yang paling mujarab tak lain ada pada sang kekasih belahan jiwanya. Senda gurau sebagai pereda rasa lelah dan kemesraan sebagai akhir pembangkit semangat jiwanya.


"Nginep di sini kan, Sayang?" Ujar sang kekasih

"Emang setan itu masih mengganggu tidurmu lagi?"

"Nggak ih. Maksudnya ini udah larut malem, Sayang. Aku takut kamu kenapa-napa di jalan..." Kekasihnya khawatir, yang masih teringat dengan kata ancaman dari teman Jatniko pagi tadi.

"Bener nih... kamu gak kegoda, lihat aku yang sudah melepas kacamata dan piyama seksi ini?" Mencoba merayunya

"Nah ini dia, yang aku khawatirkan dari tadi" Jico tertawa.


"Mau ya...." Sang kekasih terus menggoda, mendekapkan pelukannya ke tangan kanannya Jico.

"Hmmm... kalo misalkan cara mainku kasar gimana?" 

"Gapapa, aku suka yang seperti itu" Sepasang kekasih itu tertawa bersama.


Akhir dari percakapan tersebut, Jico izin berpamitan untuk pulang ke apartemennya. Tidak jadi menginap di rumahnya, sebab Jico tidak mau mengganggu waktu persiapan kekasihnya besok pagi untuk fokus menjalankan sidang. Ucap salam keselamatan dari kekasihnya kepada Jico yang masih khawatir penuh kepadanya. Dengan rasa terpaksa, lambaian tangannya seakan pertanda bahwa lelaki tercintanya sedang tidak baik-baik saja.


HILANG ARAH



Sudah seminggu, maraknya peperangan dari kedua club motor itu sering terjadi di setiap harinya, bahkan sampai merusak fasilitas warga di sekitar yang menjadi pelampiasannya. Kedua club motor ini telah berada di puncak klimaks dendam dan sepakat menaikan bendera perang. David beserta fraksinya merekrut banyak anggota tanpa sepengetahuan dari pemimpinnya yang sekarang, yaitu Jico. Dari kedua club motor ini, telah masuk ke daftar penjahat masyarakat bagi polisi. Karena maraknya perang dari kedua musuh bebuyutan club motor ini di berbagai tempat, dan sering terjadi bentrok di jalan, bahkan warga setempat juga jadi sasaran. Mereka telah menjadikan warga sebagai target pelampiasan bagi kedua club motor tersebut. Polisi juga sudah mencatat nama-nama dalang dari biang kerusuhan 


ini. Dari club motor Hollow, polisi mencatat buronan kepada David, sedangkan dari club motor Destroyers tercatat nama Antoni. Mereka berdua adalah penjahat yang memulai dari maraknya terjadi peperangan ini.


Sebagai seorang yang amanah dan merasa memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga nama baik club motornya. Jico selalu merasa gagal di posisinya saat ini, lebih menyalahkan diri sendiri ketimbang dalang dari munculnya perang ini. selalu memikirkan cara untuk membawa teman-temannya sekaligus club motor yang sedang jadi musuh bebuyutannya saat ini, untuk kembali berdamai dan mementingkan keadaan masyarakat agar menilai bahwa club motor itu tidak arogan.


Banyak waktu dan tenaganya tersita. 


Termasuk belajar, serta waktu dengan kekasihnya, Asmaradiya. Mengabari bahkan ingin kencan pun, ia rela menepikan rasa keinginannya itu, hingga semua masalahnya pudar. Sebaik-baiknya kesabaran adalah saat ia lebih memilih diam, padahal emosinya sedang meminta ingin di dengarkan. Dan sebaik-baiknya kekuatan adalah ketika ia lebih memilih tersenyum, padahal jeritan yang sejak lama telah ia kulum.


Amanah itu ternyata berat baginya, tidak selalu seenak jidat menunjuk salah satu itu-ini untuk mendengarkan saran yang menurutnya baik. Tetap saja banyak sekali cobaan yang menimpa, tak lain banyaknya bermunculan seorang pembangkang. Pikirnya terus terbebani oleh banyaknya masalah setiap hari. Belum lagi pertanggung jawaban dari korban masyarakat yang menjadi salah sasaran, 


biaya rumah sakit dan menebus teman-temannya yang masuk penjara dan masih banyak masalah lainnya. Dan masih saja Jico memikulnya dengan kesabaran yang lapang serta mencari jalan keluarnya dengan pemikiran yang sehat. Meskipun perannya tidak di anggap, ia tetap merangkulnya kembali teman-teman pembangkangnya dengan sigap.

Jika memang benar cobaan seorang pemimpin di suatu organisasi sama beratnya memikul dunia dan seisinya, dengan lantang Jico terima tantangan dari semua cobaan ini. Jika perdamaian tidak bisa di selesaikan dengan jalan baik-baik. Jadi contoh tumbal adalah yang terbaik.


"Aku bisa saja menjadi penjahat yang meratahancurkan kalian"


Beban semakin berat, menyerah bukan berarti mengakui kalah, mental pun mulai 


terasa gerah, menantang keadilan pada pikirannya yang kian hari semakin goyah. Ia perlahan membuka dan melepaskannya secara paksa. Hawa yang panas mulai nyengat menghitamkan hatinya penuh dengki. Berdalih pada diri sendiri, bahwa dengan sendiri menjadi seperti ini, tanpa pengaruh orang lain jadi saksi, berbagai tujuannya yang penuh ambisi, ia tetap sendirian dengan percaya diri.


"Aku letuskan magma yang sudah meluap ini kepada kalian, agar semua para bajingan itu menyadari. Bahwa tindakan akan datang penyesalan dan pertanggung jawaban. Menghancurkan kalian untuk ku satukan kembali"


Mesin di dalam tubuhnya banyak yang rusak, tetap ia paksakan sekuat tenaga untuk mempersiapkan di hari gemuruh itu tiba. Senyuman yang lalu ia bagikan kepada semuanya dengan tulus dan 


hangat, kini ia tutupi dengan senyuman palsu penuh ambigu. Kedua matanya yang dulu menyala penuh tatapan bahagia setiap harinya, kini penglihatan itu hanya tertuju pada di titik jurang kegelapan, kelopaknya sudah sayu menahan berat segala kilau cahaya.

Mulut yang dari dulu terjaga tutur katanya  layak manusia biasa, kini dengan terpaksa ia kunci rapat, agar teriakan itu mendengung dalam tubuh sampai perut meledak. Dan wajahnya yang dulu berseri tertata rapi dengan kewibawaan, kini seperti sedang diambang kematian.


"Terasa damai bagiku. Ketinggian ini mengambil alih semua peran jiwaku. Sekarang ku temukan kedamaian dalam kesendirian. Tertawa dan menangis, hanya aku merasakan. Bukan mereka, dan bukan pula kalian. Di sini damai, sangat damai sekali... Semesta telah menjadi milikku. 


Mulia kah aku? Hingga harus memusnahkan semua manusia yang mengganggu...?"


Pikiran dan jiwanya telah terkontaminasi oleh berbagai asupan senyawa kimia yang sudah merasuk dalam kehidupannya. Waras ketika mencari jalan keluar itu sangat sulit, malah rumit mempersulit. Tapi dengan terus seperti ini bersama khayalannya, baginya sangat mudah untuk mencari solusi. Jatuh tenggelam menenelusuri dasar kedalaman, menyelam penuhi rasa dendam.


Jico tetap memposisikan cara itu ketika ia sendirian, tapi ketika diluaran ia tetap seperti biasanya tanpa beban. Bertindak sendirian, berjalan perlahan dengan diam. 


"Jika ini di sebut akhir dari perjalananku, aku ingin berakhir dalam pelukanmu, 


Asmaradiya..." lirih hatinya membulatkan tekad.


REDUP


"Kemana hilangnya lagi kekasihku?"


Asmaradiya selalu mencari keberadaannya kemanapun. Ke tempat biasa club motornya nongkrong, tetap saja tidak ada. Bahkan salah satu anggotanya memberitahukan, bahwa Jico keluar dan mengundurkan diri sebagai ketua di club motor Hollow ini, dengan banyak rumor perilakunya sudah berubah drastis, sekaligus di cap pengkhianat bagi anggota-anggotanya. Dengan perkara balas dendam membantai habis-habisan David serta fraksinya dan teman dekatnya lainnya pun menjadi imbasnya. Jico yang sekarang, seperti binatang buas yang haus akan mangsa di depannya. Dan bahkan teman dekat sekaligus partnernya yang ingin menghentikan tindakannya yang brutal itu, ia pukul dengan keras. Yaitu Rio. 

Berkabar dengan Umminya pun, tetap saja nihil, Jico kembali menghilang entah kemana. Seperti tertelan masa, kekejaman seseorang bisa meratakan dunia. 


Tangis keputusasaannya yang tak pernah berhenti, sebab rasa salah yang selalu menghantuinya setiap hari. Merasa berdosa dan menyesali atas perilakunya terhadap kekasihnya yang selama ini ia lakukan. 

Asmaradiya sudah tidak ingat lagi akan kesehatan dan penampilannya, yang ia pikirkan hanyalah tertuju pada kekasihnya Jico seorang, yang kembali menghilang.


Hestia juga Erika ikut andil kepadanya, terasa menyedihkan dan berusaha untuk  menghentikan tindakan cerobohnya yang Asmaradiya lakukan. Sering sekali melukai dirinya sendiri dengan banyak sayatan luka di tangannya, karena berniat bunuh diri. 


"Ya Tuhan... udah dong Asmara." Ujar mereka berdua yang selalu mengawasi dan menjaganya.

"Dan lo kenapa sih. Kenapa sikap lo bisa berubah begini pada dia?"

"Lo juga udah tau si Bayor, kan? Dan gue sering bilang ke elo, dia itu sebenernya orang yang banyak sekali pengertiannya. Lo harusnya ngerti, meskipun banyak masalah yang ia pikirkan, tapi gue yakin dia tetep memprioritaskan elo juga. Ketika elo sekalinya bikin dia kecewa, dan gak nyangka juga gue terhadapnya, si Bayor bisa berubah dengan sekejap dan sekejam itu. Melampiaskan amarahnya kepada semua anggota Hollow"

"Iya Asmara... Lo ini kenapa sih sebenernya? Lagian, kenapa lo mau aja jadi pengisi kesepian CEO bajingan itu? Udah tahu dia punya pacar dan lo juga punya si Jico. Elo ini kenapa? Gue gak habis pikir sama elo, kenapa bisa? Dan mau aja ajakan si Bryan itu? Lo kenapa, Asmara?"

"Gue gak mau elo seperti ini terus. Udah deh pokonya jangan ngelakuin hal gila lagi"

"Udah... intinya kita cari dia lagi bersama-sama, ya?" Ujar Hestia

"Dan gue yakin. Bayor gak pernah jauh dari sini" Tambah Erika menyemangati.


Rasa sesal di hati, rasa bersalah dalam jiwa. Gairah hidup mati, mati pun tak apa. Langkah kaki sudah berat untuk bergerak, badan terasa seringan kapas dan hanya air mata yang berderai layaknya ombak, tak pernah kering dan surut. Sungguh berat penyesalan, dosa yang tertancap rekat, rapat, dan kuat. Putus asa menjadi warna, dan sekujur badan menjadi taruhannya. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, terjaga yang mengoyak, minum terasa serak, dan kesehatan menjadi bengkak.

Dalamnya cinta, telah berkobar dalam dada. Luasnya kasih sayang, telah menebar dalam rasa. Seperti adidaya yang tertelan kekejaman masa, dan di akhir hanya ingin menghilang dari dunia saja.


Hestia dan Erika yang selalu setia menemaninya, dan selalu mencari keberadaannya Jico dimanapun singgahnya. Sebelum menemukan semangat gairah hidupnya meskipun berdarah dan bernanah, bagaimanapun caranya dan seperti apa ke depannya, Asmaradiya sangat ingin sekali bertemu dengan kekasih tercinta, yang telah ia sakiti dan kecewakan dengan luluh lantah parah.

Tepatnya, di jalan perjuangan. Terlihat banyaknya segerombolan club motor baru dan dari setengah dari mereka memakai atribut club motor Hollow dan Destroyers, yang sedang kopdar lalu lalang dengan membawa parang panjang. Mencari mangsa, perihal ritual menumpahkan darah segar bagi siapa saja yang ada di depannya.

Diantara salah satu barisan konvoi club motor tersebut, ada Jico yang sedang menggerakan sekaligus memberi instruksi kepada semua anggota, alias pemimpin.

Asmaradiya yang melihatnya, langsung berlari menuju ke arah Jico, lalu berteriak memanggil namanya dengan sekeras mungkin. Hestia dan Erika membuntuti untuk mengejarnya. Rasa khawatir dan takut kepada salah satu temannya, karena saat ini belum waktu yang tepat untuk Asmaradiya menemui Jico. Ketika tahu, segerombolan club motor itu sedang membawa alat dengan garang, seperti binatang buas yang tidak ada belas kasihan untuk menebas siapa pun yang berada di jalanan.


"Sayaaaaaang...." Teriak Asmaradiya turun dari mobil, berlari mengejar ke arah Jico. Dan serentak club motor itu terhenti dari laju motornya. Ada yang menoleh dan ada juga turun dari motor yang memegang parang dengan kuatnya.

"Woi... jangan! Biarkan saja. Kita lanjut lagi aja.." Teriak Jico memberikan instruksi kepada semuanya.

"Sayaaang berhenti... tolong dengarkan aku dulu..." Teriaknya kembali dan terjatuh. Hestia dan Erika mencoba menenangkan dan membantunya untuk berdiri. Atas aba-aba Jico, segerombolan club motor tersebut kembali lagi melanjutkan perjalanannya.


Bila perlu. Sekalian saja lumpuhkan kedua gerak langkahku. Begitu kejamnya kau tak memberi kekuatan padaku untuk menggapainya kembali. Kau selalu membuatku menderita hingga separah ini, dan kau sangat tidak adil padaku, Tuhan!.


"Ini belum waktunya yang tepat, Ra..." Hestia memeluknya.

"Lo yang tenang aja dulu. Sabar, kita ikuti aja lagi. Ketika mereka selesai operasi genosida ini, kita langsung samperin dia" Erika mencoba tenangkan situasi dan Asmaradiya pun mengangguk.


Pah, Mah... maafkan aku. Aku janji, ku tanam rasa salah ini sebagai bentuk peringatan dan akan ku ingat sampai mati. Aku tak ingin mengulangi, aku hanya ingin dia kembali lagi.


Jam menunjukkan pukul 00:00 dini hari. Bisingnya knalpot dan asap motor dari sekian banyaknya gerombolan club motor ini yang masih terus berkeliaran dengan aksi anarkis, dan mengundang bunyi sirine polisi untuk mengejar dan mencoba menangkap. Beruntungnya malam ini jalan begitu sepi, alhasil tidak ada seorang pun lewat yang menjadi korban.

Dan akhirnya kopdar pun terhenti. Dari sekian banyaknya gerombolan club motor ini, ada sebagian yang langsung pulang dan ada pula yang masih kumpul di markas tongkrongan.

Mereka bertiga langsung menghampiri Jico yang sedang melamun panjang. Hestia dan Erika yang menemani, sekaligus membantu Asmaradiya untuk menjelaskan kesalahan yang di perbuatnya. 


"Maafin aku..." Ucap tangis Asmaradiya menghampiri di depannya. Jico yang hanya terdiam melamun dengan menikmati sebatang rokok yang dihisapnya.

"Yor... kenapa lo jadi begini? Iya..." Tambah Erika, dan Hestia masih berusaha menenangkan tangis Asmaradiya. 


Sedangkan Asmaradiya masih terus saja menggerutu memohon maaf padanya. Tidak ada respon bahkan sepatah kata pun dari mulut Jico, ia hanya berdiam mengabaikan. Lalu beranjak pergi meninggalkan.


"Lebih baik aku mati, dari pada terus begini..." 

"Huusst... gak boleh bilang gitu lagi ya? Mungkin saja si Jico masih memikirkan cara memaafkanmu. Jadi tolong, kamu gak boleh gegabah lagi. Sabar dan tenang dulu" Ujar Hestia

"...Aku gak tau lagi harus gimana. Aku cuma inginkan dia" Putus asanya yang menyiksa batin. 


Mereka bedua kembali membuatnya tenang, mengajaknya untuk pulang. Karena dini hari yang kian larut, dan patut mengistirahatkan rasa lelah yang semakin kalut. Dan mereka harap dengan menggantungkan harapan kepada hari esok, semoga saja Asmaradiya bisa merapikan dan merekatkan kembali kaca hati yang sudah ia pecahkan.

Bisa saja seorang laki-laki membungkam ucapannya agar tidak terjadi amarah yang meledak yang sudah seharusnya ia tampung. Terkadang ucapan dari mulutnya untuk kita, sebisa mungkin ia lontarkan dengan sebaik mungkin, memberikan pelajaran kepada kita kebaikan. Namun percayalah, dibalik ucapannya yang kasar, ia sedang dalam keadaan tidak sadar. Dan kita yakin, setelahnya ia akan menyesal dan menyalahkan diri sendiri, meski kita yang jadi benalu membuatnya sering terpojokkan. Dari sepengetahuan yang kita lihat, padahal yang ia inginkan menyuruh kita untuk berperilaku baik, agar tidak menjadi sepertinya, dan terkadang kita tidak tahu arti apa sebenarnya yang tak pernah tahu dalam hatinya yang sedang dilandarasakan. Karena kapasitas anugerah sabarnya yang sudah tertanam di dalam diri laki-laki. Sebelum bertindak pun, ia sudah memikirkan jauh untuk kedepannya. Dia lelaki yang paham akan terbaik untuk kita, meski hati, jiwa, dan pikiran taruhannya. Kecewanya bisa menjadi bencana, rasa sabarnya telah menjadi ancaman untuk kita dari cara diamnya, dan bohongnya ia sedang memporsikan masalah pribadinya agar kita tidak menjadi pelampiasannya. Bukankah dengan melihat wajahnya saja untuk kita mencoba belajar menenangkan pikirannya, yang sudah tergambar jelas? Dan bukankah terciptanya kata peka itu untuk kita, para wanita? Sudah sepantasnya, kaum hawa seperti kita menjadikan rumah baginya untuk tempat ia berteduh, bersandar, dan mendamaikan isi kepalanya, ketika rasa lelah menghampirinya. Dan seringkali memaksa terhadapnya, tetapi kita yakin, dari sejak awal pun sudah tahu apa yang harus dia lakukan, jika senantiasa ucap kita terbiasa dilandasi dengan kejujuran apa adanya. Lelaki itu makhluk simple dan penuh logika, dan mereka akan lakukan semua itu pada orang yang ia cintai. Ucap nasihat mereka berdua kepada Asmaradiya.


GEMARANA


"Maafin aku sayang..." Asmaradiya mengagetkan Jico yang sedang memanaskan motor dengan memeluknya dari belakang.

Pagi hari, berani menghampiri menemuinya kembali dengan keadaan belum tidur sama sekali, terlihat mata yang sembab menampung banyak di air mata di kedua kelopaknya. Dekapan Asmaradiya pun ia hiraukan, dan masih saja Jico terdiam dan terpatung tak bicara, hanya fokus memegang stang stir motornya.


"Sayaaang... maafkan aku."

"Tolong hukum aku, dengan cara yang setimpal denganmu. Tolong maafkan aku..."

"Bila perlu siksa aku semampumu. Tapi tolong, jangan siksa cintamu sendiri sayang"

"Gara-gara kebiadabanku, kau jadi seperti ini. Maafkan aku..."


Asmaradiya terus berusaha meyakinkannya kembali, meminta ampun untuk dimaafkan kesalahannya atas perbuatnya selama ini. Ia terus menyalahkan diri sendiri. Bahkan ia beranikan diri bersujud dibawah kakinya dan mencium bibirnya yang mematung, dan dalam tetap yang sama, Jico masih berdiam tanpa reaksi sedikitpun. Selelepas Asmaradiya terjatuh lemah, Jico dengan tega pergi meninggalkannya dan beranjak untuk masuk kedalam apartemennya.


"Sayang... aku harus gimana, agar kamu memaafkanku?" Teriaknya yang terus menangis histeris

"Lebih baik aku mati, dari pada terus seperti ini"

"AKU MAU BUNUH DIRI"


Disaat Asmaradiya mengucapkan kata itu, akhirnya Jico menoleh ke arahnya. Dan dengan kayu runcing yang ditemui di depannya, telah siap di tusukkan di perutnya. Jico reflek, dan kembali berlari ke arahnya untuk menahan tindakan gilanya. Ia membuang ranting kayu yang runcing itu, lalu membantu Asmaradiya untuk berdiri. Dan masih saja di porsi yang sama, tanpa mengeluarkan sedikitpun suara dimulutnya, diam dan selalu bertindak mecegahnya.


"Maafin aku..." Memeluknya kembali dengan erat. Dan terlihat dari wajahnya pula, mental Asmaradiya sudah berantakan. Air mata yang kering tiada lagi diteteskan.

"Maafin aku sayang ya, ya... yaah?" Mendekapkan kedua tangan di pipinya, lalu mencium bibir Jico. Dan Jico masih saja diam tak bereaksi sedikitpun.

"Sayaaang... aku udah ngomong ke Papah-Mamah. Aku ingin segera menikah saja denganmu." Senyum depresinya sudah tergambar jelas dari cara bicaranya pun melantur. Mental jiwanya yang sudah tidak stabil. 

"Nanti, kalo kita udah menikah. Aku ingin hidup di kampung halamanmu di sana bersama Ummi."

"Lalu kita hidup bahagia. Terus kita punya anak dua, terus cucu. Terus kita berdua menjadi tua dan mati bersama-sama."

"Bila perlu, jika mati nanti. Aku ingin, satu liang kubur bersamamu. Dan aku tidak perlu lagi memakai peti, riasan, dan wangi-wangian. Yang aku mau kita berdua itu terikat dengan satu kain kafan." Tak hanya tersenyum, tapi sekarang Asmaradiya mulai tertawa cekikikan. Dan Jico hanya memandangnya fokus dengan lekat.

"Jadi....." 


Melihatnya sudah tak tega, Jico memeluknya dengan erat, dan masih saja tidak mau mengeluarkan sedikitpun suaranya. Hanya gestur tubuh yang mewakilkan rasanya.


Rasa sakit lebih indah dari pada kesepian

Dan kematian yang mewaraskan

Aku tahu,

Meski neraka telah menunggu

Yang akan meleburkan semua beban derita di kalbu


Tak disangka, ternyata Hestia dan Erika memantau dan melihatnya dari kejauhan. Lalu mereka berdua menghampiri ke arahnya. Menjelaskan semua depresi berat yang dialami Asmaradiya setiap harinya memikirkan Jico. 


"Tolong, kasih gue waktu buat berduaan sama dia" Akhirnya Jico membuka suaranya, dan berujar pada mereka berdua.

"Gue mohon jangan bikin dia makin parah lagi, Yor." Ucap Erika

"Iya, Jico... seenggaknya keluarin suara elo buat ngomong dan ngejawab dia" Tambah Hestia. Sedangkan pelukannya masih tetap mendekap erat pada tubuh Asmaradiya yang tertidur karena letih tubuh dan pikirannya, sudah tiga hari ia terjaga tanpa makan dan minum sedikitpun. Dan akhirnya mereka berdua pun beranjak pergi, memberikan waktu untuk berduaan kembali.


"Hey bangun." Ucap Jico perlahan membangunkan dengan melepas kacamatanya.

"Sayang..." lirihnya terbangun dan pelukan itu semakin bertambah merekat.

"Maafkan aku. Tolong hukum aku, bila perlu siksa aku sepuasmu. Aku mohon, jangan cintamu yang terus tersiksa" Tangisnya kembali mengalir deras.

"Sayang... kamu boleh memiliki perempuan lain lagi selain aku, demi balas dendammu terbalas untukku dengan setimpal. Aku siap, dan aku sudah siap di duakan olehmu. Aku gak mau hubungan kita usai. Hidup dan matiku, aku ingin selalu bersamamu selamanya. Aku menyesal sayang. Aku sangat menyesal. Tolong beri aku kesempatan sekali lagi, untuk memperbaiki ulang hubungan yang telah ku hancurkan ini. Maafkan aku..."

"Lo enak banget kalo ngomong!" Timpal Jico

"Udah kita sekarang ke rumah sakit, buat ngecek kesehatan lo lebih dulu." Lanjutnya

"Nggak mau..."

"Aku gak mau di tinggalin kamu, aku ingin terus bersamamu, sayang..."

"Heh! Lo mau nurut nggak?" Ucap Jico kesal

"Iya, iya sayang. Maafin aku. Aku nurut sama kamu. Maafin aku..." Asmaradiya ketakutan, dan Jico memakaikan kacamatanya.

"Aku ingin bersamamu..."

"IYA BARENG GUE!" Sentak Jico. Membantu menuntunnya untuk berdiri dan pergi ke rumah sakit.

"Iya sayang. Maafin aku... maafin aku..." Takut dan menuruti perkataannya.


Dan di bawalah Asmaradiya ke rumah sakit. Erika dan Hestia, ikut menemani. Ketika sesampainya di rumah sakit, mengecek keadaan Asmaradiya, dan kabar baiknya ia tidak apa-apa, hanya saja dokter menyuruh Asmaradiya untuk mengistirahatkan pikiran dan tubuhnya dengan ketenangan.


"Jangan tinggalin aku sayang, ya? Aku gak mau sendirian. Aku gak mau..." Tangis kecemasannya dengan memegang erat tangan Jico.

"Nggak Asmara, dia akan tetap disini menemanimu." Hestia menenangkannya.

"Iya Ra'... lo di suruh istirahat doang disini sementara waktu, sampe tubuh lo fit kembali. Dan Bayor gak akan pergi lagi" Tambah Erika.


Ketika Asmaradiya sudah terlelap dan terbaring dengan tenang. Lalu Jico bertanya kepada mereka berdua, seraya beralasan untuk menawarkan sarapan, mereka pun menjawab, "sudah". Dan Jico meminta izin keluar, pergi ke kantin untuk sarapan, padahal niatnya ingin pergi meninggalkan.


Hingga sore, Jico tak lagi muncul. Pikir mereka berdua sudah paham dan mengerti bahwa Jico takkan kembali lagi kesini. Erika coba menelpon Jico, tetap saja nomor teleponnya tidak aktif, dan ia coba mencari ke apartemennya untuk memastikan keberadaannya. Sedangkan Hestia menelpon kepada orangtuanya Asmaradiya, yakni ibunya. Mengabarkan bahwa anaknya sedang di rawat di rumah sakit. Dan ibunya pun bergegas akan pulang ke Indonesia sore ini juga.


Menewaskan kesadaran, tertawan dalam kegelapan, mengarungi bahaya demi kebebasan.


Erika mencari keberadaan Jico dengan tepatnya ia langsung bertemu di kediaman apartemennya, dan beruntung pintunya kamarnya tidak terkunci dan terlihat kamarnya yang berantakan, bukan hanya banyak sampah berserakan, bahkan puntung rokok lintingan, dan botol minuman keras berserakan. Jico tergeletak tidak berdaya dengan menangis tersendu, sekarat kesakitan, dan wajah pucat pasi ketakutan alias sakaw. Erika kaget, saat melihat ke arah mejanya, banyak macam-macam narkoba di atasnya. Jenis obat-obatan, lintingan ganja, dan serbuk heroin beserta jarum suntik yang tersusun rapi olehnya.


"Ya Tuhan! Bayor..." Ucap Erika menangis, mengunci pintu dan berlari menghampirinya yang tergeletak sakaw untuk membangunkannya.

"Kenapa lo jadi begini sih, Yor? Lo gak perlu sejauh ini untuk menyelesaikan masalah. Yang ada masalah lo bakalan gak kelar-kelar." Dan Erika mencoba menyadarkannya.

"Coba kalo lo cerita ke gue, dan pasti lo gak bakalan sampe terjun seperti ini. Elo yang gue kenal dulu gak seperti ini, tapi sekarang...." Tangis yang mengalir deras, dengan memeluknya sangat erat.

"Gue paham, dan gue ngerti dengan keadaan lo yang sekarang. Tapi gue gak terima, elo jadi seperti ini..." Kecupan haru membuat kekhawatirannya semakin meledak, takut Jico overdosis.

"Dan tolong, kalo sudah merasa berat dengan semua beban masalah, cerita ke orang lain, jangan di tanggung sendirian. Lo juga butuh orang lain, seperti gue. Dan gue gak terima elo jadi begini, Yor..."

"Gue sayang sama elo, gue gak mau lo seperti ini. Dengan semua masalah yang membuatmu semakin terpuruk menderita, gue gak terima... gue sangat gak terima" Tangisannya semakin merana, yang juga mewakilkan rasa yang dirasakan dalam hatinya sekarang ini.

"Gue cinta elo, Yor. Tolong sadarlah, ini gue Erika. Erika yang lo anggap keluarga sendiri." 


Wajahnya seperti orang mati, kedua matanya yang sudah terbalik putih, dan tubuhnya bergetar menahan rasa sakit dan ngilu kedinginan. Semakin erat pelukan Erika, Jico hanya terbuai dalam dunianya sendiri. Tidak banyak berpikir, dan dengan nekatnya, ia mencoba menghisap dan menusukkan jarum ke tangannya. Dan ia ingin merasakan perderitaannya.

Senyawa kimia menyebar keseluruh saraf semakin terhanyut dalam dunianya mereka. Dan di akhiri memberikan kepasrahan milik mereka pertama kali, bercinta dengan penuh nafsu yang semakin menggila. Desahan birahi memanas, ritual telanjang menyatukan tubuh dengan sangat beringas dan menikmati dosa surga dunia.


SUMPAH PERJANJIAN


Biarkan aku terbang!

Putuskan rantai itu yang mengikat ku pada bidang realitas untuk mengubah hukum. Dan lepaskan aku dari gravitasi Penindasan terhadap daging dan tulangku! Izinkan aku mengunjungi zona lain, alam lain, dan dimensi yang lebih tinggi.

Biarkan jiwaku menuntut kenaikan yang dijanjikan dalam mitos umum.

Tidak ada harapan dalam janji yang gagal Izinkan aku naik ke atas lumpur ini dan melihat ke dalam pandangan mata Tuhan, dan merasakan potensi gelombang otakku yang tak terbatas mengalir melalui esensiku, seperti ledakan sambaran petir!

Biarkan aku menaiki riak waktu seolah Tuhan mencelupkan jarinya ke dalam kolam kosmis.

Hancurkan rantai yang selamanya membuatku terhambat di negeri bodoh ini! 

Siapa yang lebih menghargai mamon daripada logika, siapa yang meninggalkan cinta alami, yang bersukacita atas kelaparan orang lain, dan memberi makan keserakahan dengan menumpahkan darah. Tolong, biarkan aku bebas. Membiarkan aku terbang...


Apakah kau pernah merasakan berada di titik rendah? Yang membuatmu semakin tak berdaya dan membuatmu jatuh dalam jurang putus asa? Dalam keramaian terasa sepi, bahkan kesendirian pula sama saja menjadi semakin gelap dan hilang kendali? Yang terpatri hanya ingin mengakhiri diri? Andai saja sebuah masalah bisa dibeli dengan uang, berapapun nominalnya akan ku bayar demi sirnanya masalah dalam kepala.

Apakah kau juga pernah merasa tak berguna dalam menjalankan hidup, seraya hidup ini tak adil? Di saat kesadaran tiba, apakah masih ada yang mau menemanimu saat engkau gagal, hancur, tak memiliki apa-apa atau dalam keadaan buntu? Jika ada, cepat beritahu aku. Dan yang pasti kau hanya ingin berteriak sekeras mungkin, dan menghilang dari dunia ini.

Bagaimana kau menyikapi? Dan bagaimana kau bisa mengatasi semua masalah yang membuatmu semakin hari semakin terjatuh dalam jurang mati?

Kau pun juga ingin bercerita, kan? Tapi egomu masih seperti tak terima untuk mengungkapkan sebuah kata.

Dan kau juga ingin bersandar kepada pundak seseorang untuk menceritakan semua masalah agar tenang, kan? Tapi hatimu mengukuhkannya, kau ragu dan takut akan masalahmu mempertambah masalahnya jadi ikut dan terbebani dalam masalahmu. Dan kau juga tahu setiap orang punya masalahnya masing-masing, dan kau tak mau itu kan?


Beritahu aku cara melupakan semua masalah, seperti melupakan banyaknya dosa padahal akulah manusia yang sangat hina tanpa punya rasa takut akan perbuatan salah dengan mengacuhkan begitu saja?

Beritahu aku cara berdamai dengan banyaknya masalah, tanpa harus bergantung pada senyawa kimia yang semakin hati semakin terasa parah saja. Yang katanya sebagai teman menuntaskan masalah, malah tambah memperkeruh menyuruhku mati dengan meninggalkan banyak resah.

Tolong, beritahu aku jalan yang damai menurutmu. Aku ingin bebas, seperti burung yang terbang diatas sana. Mengepakkan sayapnya, menghiraukan badai, hujan, bahkan panas, aku ingin terus melaju menempuh arah tujuan yang di janjikan.

Jika gila adalah tujuan akhir, tertawa lepas tanpa beban, bersyukur untuk menikmati hidup saat ini. Lantas, bukankah gila adalah bahagia yang penuh derita yang berani menghilangkan karunia waras?

Dan jika saja otak ini bisa di perbaiki, aku hanya ingin hilang ingatan tanpa tahu lagi siapa itu dan siapa ini.


"Mati, mati, mati dan cepatlah bunuh diri."


Ketika sendiri, banyak suara-suara yang bergemuruh menyuruhku untuk membenci nyawa sendiri, tetap ku tahan walau menyiksa tak berdaya melawan nurani diri. Aku berani melangkah, berharap siapa saja yang mengerti akan diriku sendiri. Terkadang sering sekali aku berteriak, berharap hingga pita suara ini putus jadi bisu. Siapa saja, seseorang tolong aku. Bantu aku keluar dari kegelapan ini. Aku sudah keluar dari frekuensi hidup sesungguhnya, tidak tahu harus apa lagi ku lakukan. Gelap dan terasa gelap sekali. Aku lelah, aku muak dengan semua ini. Aku ingin berhenti. Aku belum siap mati!


"...Sebelum algoritma diakhir wacana. Biarkan aku mati di basahi luka, di penuhi beban derita yang tak pernah habis terbilang masa."


Apakah aku di bunuh oleh imajinasiku sendiri? Tidak, bukan. Imajinasiku benar, bahkan terlalu benar. Aku dengan benar mengimajinasikan semua yang ku inginkan. Satu hal yang tidak bisa ku imajinasikan adalah tubuh ini. Tubuhku sendiri...

Yang ku tahu, mereka yang menciptakan nuklir pun karena adanya imajinasi. Jadi apa yang dikatakan mungkin akan bertentangan dengan ajaran Tuhan. Jika hal terpenting di dunia ini adalah kepercayaan, maka hal terburuk adalah menghina atau mengkhianati seseorang bukan hanya merusak reputasi, tapi menempatkan dalam situasi yang sangat sulit. Aku takkan bertarung atau mempertaruhkan nyawa demi uang, kekuasaan, dan jabatan. Demi kedamaian, aku akan mempertaruhkan nyawa jika di hina dan di khianati. Aku percaya, membunuh pun akan dimaafkan Tuhan.

Jika berani, artinya naluri bertahan hidupku masih berfungsi, aku tak perlu takut. Kekuatan manusia sendirilah yang membuat manusia itu bisa berubah. Dan dengan lantang aku berteriak... Bebas!


Alasanku selalu menengadah ke atas langit bisa melihat bintang di langit malam adalah karena alam semesta mempunyai batasan. Banyak yang bilang, jika alam semesta ini tak terbatas dan bintang bersinar dalam jumlah tak terhingga, maka langit akan terus bersinar terang benderang sepanjang waktu. Tapi, nyatanya bukan begitu. Seperti yang sudah ku ketahui langit malam begitu gelap, ada jarak diantara bintang-bintang. Itu membuktikan kalau alam semesta adalah ruang yang terbatas, bukan ruang tak terbatas. Alam semesta yang seluas itu pun mempunyai batasan. Bintang-bintang tak terhingga pun mempunyai batasan. Itu sama dengan kesempatan tiap orang, meski terlihat seperti tak terbatas, namun sebenarnya terbatas. Itu sebabnya aku tidak usah ragu demi keputusan yang telah tertulis dalam ambisiku.


Mulutku tak bisa berkata jujur dalam menuaikan masalah. Aku lelaki dengan sejuta frustrasi, dan aku lelaki yang berani menantang takdir walau diakhir mati.

Aku sudah mengarungi gelap yang begitu dalam, yang tak pernah ku temukan cahaya tapi dengan daya tahan yang merasa paling kuat, aku bisa melewatinya dan bisa mencari jalan keluarnya. Kehendak-Nya telah ku sangkal yang bahkan tidak mungkin berjalan sesuai keinginan, tapi demi sebuah ambisi hati. Akan ku ratakan dendam damai ini. Jangankan manusia, binatang buas sekalipun akan ku injak rata.


Biarkan aku menjadi antagonis diantara semua teman-temanku. Dan jujur saja, sebenarnya aku juga tak ingin seperti ini. Tapi, jika tidak seperti ini aku hanya akan menjadi pecundang seumur hidup, perkatataan inilah yang menjadi ambisiku saat ini. Dan aku laki-laki, yang pantang berhenti.

Untuk semua teman-temanku yang telah aku sakiti, tak perlu kalian memaafkan perbuatanku yang biadab ini, biarkan dosa ini ku tanggung sendiri.

Aku ingin bebas, kemanapun dan dimanapun tanpa perselisihan diantara kaum-kaum lainnya. Mereka selalu menertawakan seseorang yang tidak bisa melakukan apapun, dan hanya bisa berimajinasi. Tapi saat melihat langsung bisa melalukan apapun dengan hanya berimajinasi. Dan itu membuatku sadar, betapa damainya dunia, saat mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Memang ini sulit, dan sangat jelas tujuannya tidak mulia. Aku akan memberikan pemahaman kepada mereka semua, bahwa kedamaian lebih indah daripada perang.


Aku tak sudi memaafkan kalian. Aku tak sudi memaafkan mata kalian yang melihatku seperti tatapan najis.

Mulut kalian yang berdoa dan menggunakan bahasa yang sama dengan manusia lainnya, aku tak sudi memaafkan mulut kalian. 

Aku tak sudi memaafkan wujud kalian. Yang terus menistakanku dengan keberadaan kalian.

Aku tak sudi memaafkan kalian yang terus memanjangkan umur.

Aku tak sudi memaafkan tujuan hidup kalian.

Kesenangan, kesedihan, dan perbuatan kalian akan terhenti disini sampai kalian berubah menjadi abu dan tertanam di dasar tanah. 

Aku tidak sudi memaafkan keberadaan kalian.

Aku terlahir untuk tidak melupakan semuanya, demi hari ini, dan demi saat ini.

Sudah setelah apa aku menunggu?

Aku tidak sudi memberikan kalian waktu untuk mempersiapkan diri. Aku akan membasmi kalian semua.

Mari kita mulai, pecundang!


BEBAS


"Anjing! Gue udah muak dengan semua ini. Lo semua maju lawan gue!!!" Jico lepas kendali saat pertemuan terakhirnya memutuskan untuk cabut dari club motor Hollow dan keluar sebagai ketua.

"Si David dengan anjing-anjingnya dimana? Ngomong sama gue, dimana mereka sekarang!" Lanjutnya dengan mengancam kerah baju salah satu anggotanya.

"Tenang Co, bukan gini caranya menyelesaikan masalah" Able dan Rio mencoba menenangkan amarahnya.

"Lo kek anak kecil aja sih, udah diem dulu" Tambah Rio

"TAI..."

"Heh Co, udah. Gue juga sama, ikut pusing. Sana-sini masalah club kita nambah banyak, belum lagi masyarakat ngecap kita berandalan penjahat, bahkan polisi juga udah buron semua anggota kita..." Ucap salah satu anggota.

"Lo tenang dulu Co, kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin. Gue percaya kita semua pasti bisa cari jalan keluarnya" Able sebagai penengah.

"Gue cape anjing!" 

"Heh emang elo doang, Co! Gue juga sama. Coba lo jadi gue..." Tak banyak bicara, Jico mendaratkan pukulan pada salah satu wajah anggotanya yang sempat berkata seperti ini.

"Sini anjing! Sini lo jadi gue sekarang. Lo mau ngebandingin hidup sama gue, ayo sini! Anjing belagu banget lo"

"Co udah lah, plis..." Dan kedua kali pukulannya tertuju pada Rio, yang mencoba ingin menenangkannya. Dan terjadilah adu jotos antara mereka berdua. Able mencoba memisahkan mereka, tak hanya itu seluruh anggota ikut berdiri dan berteriak saling mendamaikan.

"GUE CABUT!" Teriak Jico kepada semua anggotanya, lalu pergi.


Seminggu sesudah keluar dari club motornya, Jico akhirnya memutuskan untuk membuat club motor baru dengan merekrut anggota berandalan anak jalanan dan nama club motor tersebut ialah Killroad. 

Disaat perjanjian kedua club motor tersebut dengan mengibarkan bendera perang, antara club motor Hollow dan Killroad. Jico sebagai pemimpin dari club motor barunya, juga melibatkan club motor Destroyer. Karena tahu, diantara dua club motor tersebut, Hollow dan Destroyer adalah musuh bebuyutan. Perjanjian perang itu, Jico menyarankan bertempat di sebuah lapangan yang jauh dari khalayak masyarakat agar tidak terjadi kerusakan fasilitas.

Jico tercengang disaat kehadiran club motor Destroyer, ternyata pemimpinnya ialah Jatniko. Dan disaat semua terkumpul di arena, lalu datanglah club motor Hollow yang dipimpin oleh David. Dari ketiga club motor ini, semuanya musuh. Bahkan Jatniko dan David kaget, pertemuan ini pertanda sebagai pertempuran gladiator,  semua akan bertempur tanpa adanya kawan, hanya yang kuatlah menjadi pemenang.


"Heh bangsat! Ngapain club banci satu ini ikut kesini?" Teriak David kepada kubu club motor Destroyers

"Hah!? Apa lo bilang? Yang jelas lo segerombolan club tambal ban, ngapain hadir disini?" Jawab Antoni, dari kubu club motor Destoyers

"Woy cukup! Club kita berdua ini udah di adu domba oleh Killroad. Kalian juga tau, masyarakat telah menilai club motor kita berdua sebagai sampah, dan nama club motor kita sudah terdaftar di catatan penjahat oleh polisi. Kita gak mau kan, di cap sebagai penjahat oleh masyarakat, kemana-mana sudah tidak aman lagi? Kita satuin aja kekuatan club motor kita, agar bisa menghancurkan club motor penjahat sesungguhnya, yang telah mengadu domba kita semua" Ucap salah satu anggota club motor Hollow, yaitu Able.

"Iya bener juga tuh, lagian kita ke sini sama-sama mau ngehancurin club motor Killroad kan?" Sahut Anggota club motor Destroyer.


Sempat kedua club motor itu sejenak terdiam. Akhirnya Jatniko sebagai ketua club motor Destroyer, angkat bicara. Maju menghampiri kubu sebelah kepada David ketua club motor Hollow nya. Dan akhirnya kedua club motor tersebut telah sepakat untuk kembali berdamai, dan berambisi bersama-sama menyatukan kekuatan pasukan untuk menghancurkan club motor Killroad yang ada di depannya. Karena Jatniko sangat benci kepada pemimpin club motor Killroad, begitu pula David sama halnya. Dan tujuan mereka berdua tak lain, yaitu Jico.

Dari peperangan ini sudah sepakat, tidak diperbolehkan membawa senjata tajam. Hanya bermodalkan adu pukulan pukulan tangan hingga babak belur.


"Hahaha... bagus. Lo semua pada takut lawan pasukan gue, kan? Dan gue gak akan lari meski kalian telah bersatu dengan banyaknya pasukan. AYO MAJU PARA PECUNDANG!" Teriak Jico dari kejauhan.

"SERAAAAAAAANG..."


Saat kedua club motor Hollow-Destroyer telah bersatu, pasukan mereka sebanyak 120 orang beratribut warna Biru dan merah. Sedangkan club motor Killroad hanya 32 orang dan belum punya atribut jaket resminya. Akan tetapi klimaks di pukul mundur.


"Woy anjing! Kita kan udah damai ngapain lo pukul gue, bangsat!"

"Eh sorry, men! Gue buta warna. Jadi mata gue gak tau warna atribut"


Ketika jatniko mengendap secara diam-diam menghampiri pada tujuannya, yaitu Jico. Ia mengeluarkan sebuah belati yang terselip menyembunyikan dari celana belakangnya. Saat berhadapan dengannya, tangan Jico di pegang oleh kedua temannya. Dan terjadilah penusukan di perut Jico sampai terkapar sekarat. Able yang berteiak untuk menghentikan pertempuran ini karena perjanjian tempur ini telah sepakat agar tidak membawa senjata tajam. Dan ketika Jico tergeletak bercucuran darah, semua orang terdiam dan langsung berlari kabur meninggalkan. Disisakan hanya Jico sebagai korban, Able, Jatniko, dan David.


"Mampus lo anjing! Mati aja sekalian" Ucap Jatniko pada Jico yang terkapar di tanah lalu meludahinya

"Ayo kita pulang, David. Kita rayakan kemenangan dan perdamaian ini". Dan mereka berdua pun pergi. Hanya disisakan Able seorang.


"Co'... Jadi ini tujuan elo sebenernya?" 


Able merangkul badan Jico tergeletak di tanah, sekaligus menutupi tusukan dalam perutnya yang bercucuran banyaknya darah. Dan seketika Able menangis dan sangat takut Jico mati di tempat. Ia mencoba menghubungi pihak rumah sakit untuk mengirimkan pertolongan ambulan untuk membawanya supaya segera dapat perawatan dengan cepat. 


"Tanpa adanya penyesalan... sekarang aku bebas!"


Duhai lelaki pujaanku... 

Segalanya telah ku serahkan hanya untukmu, ku berikan hak yang paling istimewa padamu seorang. Akan ku jaga cinta terlarang ini tanpa diketahui oleh siapapun. Hanya Tuhan, kita, dan iblis yang tahu. Dan jikalau benih yang engkau tanam telah berbuah, akan ku rawat ia dengan penuh cinta. Akan ku sayangi dia seperti aku menyayangi engkau yang selalu ku damba disetiap saat. Dan akan ku ceritakan padanya ketika ia besar nanti, sosokmu yang gagah pemberani, yang telah menaklukan kejamnya dunia dari para manusia durjana. Dia akan menjadi penyemangat hidup, sekaligus pengganti sosokmu kala aku rindu padamu. Suatu saat nanti, engkau adalah sosok seorang ayah yang akan terus menjadi pahlawan di hidupnya kelak.


Duhai lelaki pujaanku... 

Aku akan pergi jauh yang tak bisa lagi engkau tempuh dan waktu yang mengharuskanku pergi menjauhimu. Sungguh berat rasanya meninggalkanmu, yang sudah menancapkan benih cinta meski kau berat mengatakan cinta. Ini demi kebaikanku, dan ini demi engkau pula, aku akan tega dan akan selalu rela agar engkau bahagia bersama kekasihmu tercinta. Aku pamit dan undur diri meski berat hati tak kuasa mengakui, aku akan tetap mencintaimu dan selalu tetap mencintaimu. Dan aku bersumpah! Takkan lagi bersanding dengan lelaki lain, cukup engkau yang terakhir di hidupku.


Duhai lelaki yang paling baik... 

Jangan cari aku kemanapun, cukup lupakan semua yang terjadi diantara kita berdua. Aku tak ingin menjadi benalu diatas kebahagiaanmu dengan kekasihmu. Lupakan semua tentang kita, aku ingin engkau menerima segala yang ku pinta. Lupakanlah, biar aku tak menangis mengingatmu. Lupakanlah, biar aku semangat menjalani hidup. Aku selalu mencintaimu, dimanapun dan setiap saat. Demi namamu yang telah terukir di dalam lubuk hatiku.


Jico Andrean pujaanku... 

Ku ucapkan terima kasih. Aku pamit dan undur diri. Setelah badai berlalu, engkau tidak akan ingat bagaimana caramu melewatinya, caramu bertahan. Engkau bahkan tidak bisa sepenuhnya yakin bahwa badai itu sudah benar-benar berlalu Tapi yang jelas, saat engkau selamat dari badai, kamu bukan orang yang sama lagi dan memang itulah tujuan badai. Yang selalu mencintaimu, Erika Natalia Anatasya. (Pesan terakhir Erika, pada E-mail Jico)


Haus dahaga kekeringan yang telah melanda jiwa, kini telah kau sirami dengan sangat sejuk terasa lega. Kini kaulah yang terpatri, bidadari penyelamat hati.

Aku ingin bersamamu, mencintaimu, menyayangimu, dan mensejahterakanmu.

Janjiku, bukan sekadar yang mulut terpaut. Ku pertaruhkan segalanya, waktu, pikiran, tenaga dan masa depan denganmu. Dan aku banyak mimpi, tolong temani aku meraih mimpi itu bersamamu. Jangan pergi, kemanapun kau berlayar tetap akan ku kejar, dan kemanapun kau menepi akan ku cari.

Aku akan berhenti berharap kepada Tuhan, sebab yang ku harap tidak pernah sesuai harapan. Sebab Tuhan andil dalam rencananya, sebelum aku berharap Dia Yang Maha Mengetahui.

Ternyata yang ku banggakan dan ku idamkan selama ini, justru kebalikan. Yang tadinya ingin ku sejahterakan dia, kini kau yang mendapatkan perannya. Untuk itu, akan ku akhiri semuanya.


Erika, terima kasih. Adanya kamu yang telah memberikan segalanya, langkahku jadi tak pernah ragu. Tunggu aku...


Komentar

Tampilkan