Iklan

Novel Lawon Abang (Kafan Merah)

Tuesday, February 27, 2024, 8:46 AM WIB Last Updated 2025-08-19T04:17:25Z

 








Bab 1


Seorang gadis bersurai panjang berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Sesekali, dia menggigit kukunya demi menyalurkan kegusarannya. Dia begitu cemas karena hingga larut malam, Si Mbahnya belum pulang juga.


"Dimana toh, Si Mbah? ini sudah hampir tengah malam, kenapa Si Mbah belum pulang juga ya?" gumam gadis itu bermonolog.


Dia membuka jendela gedeknya lantas melongokkan kepalanya keluar. "Gerhana bulan merah?" gumamnya lagi seraya menatap langit malam.


"Ah, ndak ilok (tak baik) buka jendela malam-malam, nanti yang ndak diundang malah datang.”


Dia menarik kembali daun jendelanya, lantas menutupnya rapat. Lelah menunggu, dia memasuki kamarnya, merebahkan t*buh rampingnya di atas amben hingga akhirnya terlelap. Dialah Mawar Utami, si gadis berparas jelita yang paling dibenci di desa.


Tok … tok … Suara ketukan pintu terdengar. Gadis yang baru saja terlelap itu lantas membuka mata. Dia menggelung rambut panjangnya sebelum menjejakkan pasang kaki mulusnya ke tanah.


“Ah, syukur ternyata Si Mbah sudah datang toh?” Seru Mawar.


Dia segera beranjak dari amben bambu beralaskan tikar lalu berjalan cepat menuju pintu. Sejak tadi, dia memang cemas menunggu satu-satunya orang yang dia punya. Krieeeettt, suara deritan pintu lapuk itu terdengar nyaring, seiring dengan pintu yang terbuka semakin lebar. 


“Kenapa lama sekali, sampean baik-baik saja kan, Mbah?" tanya Mawar.


Dara jelita berusia delapan belas tahun itu tersenyum lebar. Namun, senyumnya memudar dengan cepat. Dia akhirnya menyadari bahwa yang datang bukanlah Si Mbahnya, melainkan beberapa orang laki-laki yang kini berdiri angkuh menatapnya.


"A-ada apa ini? Apa sampean-sampean datang mencari Si Mbah?" Tanya Mawar terbata-bata. 


"Si Mbah belum datang, tadi pamitnya mau ke desa sebelah," imbuhnya.


"Membersihkan rumah dan pekarangan Juragan Sutris, aku benar kan?" sambung lelaki jangkung yang sejak tadi menatap dengan tatapan tak suka.


"Be-benar," Mawar sedikit mengangguk membenarkan semuanya. 


"Kami tau itu, itu sebabnya kami datang sekarang," ujar yang lainnya sambil melangkah mendekat.


"Ma-mau apa kalian? Jangan dekat-dekat! atau aku akan...."


"Atau apa!? Koe mau meng*tuk kami, hah!? Cuih! Doamu ndak akan pernah didengar apalagi dikabulkan," sentak lelaki berwajah garang itu.


Mawar mulai merasa terancam. Dia berbalik dan berlari masuk, tangan putih mulusnya secepat kilat meraih daun pintu lantas menutupnya. Belum juga pintu itu tertutup dengan benar, seseorang mendorongnya dengan kuat.


 Bruakk!! “Akhh!” Mawar jatuh terjengkang. 


“Mau apa kalian!?”


Mawar terus berusaha menjaga jarak. Saat ada kesempatan dia segera merangkak menjauh. Dia lalu bangkit dan berlari melalui pintu belakang dengan cepat.


“Hey! Jangan kabur! Ayo, cepat kejar dia!” seru lelaki bersuara bariton.


Mereka bergegas berlarian mengejar Mawar. Namun, dia menghilang dengan cepat di antara tanaman singkong yang tumbuh subur di belakang rumah. Gelapnnya malam menyulitkan mereka mencari buruan yang lepas.


‘Duh Gusti, kenapa mereka memburuku? Aku ndak pernah mengusik mereka, tapi kenapa mereka terus berniat menggangguku?’ batin Mawar. 


Gadis ayu itu terus berlari. Sesekali dia melihat ke belakang dengan tatapan awas. Dia ingin memastikan bahwa mereka tak lagi mengejar hingga sejauh ini.


"Mbah, sampean dimana? tulung, aku wedi Mbah, (tolong aku takut, Mbah)," lirih Mawar terisak.


Dia terus berlari mengikuti kemana langkah kaki membawanya. Dia berharap bisa bertemu dengan Si Mbahnya di jalan nanti. Dia tak ingin pulang sendirian karena kali ini, dia mulai merasakan bahwa keb3nc!an warga jadi semakin liar. Jika dulu mereka hanya sekedar membenci, tampaknya sekarang mereka mulai berani menyakiti.


“Huft.. Huft…” Mawar merasakan nafasnya mulai terengah sesak, lututnya juga sudah lemas bercampur gemetar. 


“Aku ndak kuat lagi, semoga mereka ndak mengejarku sampai sini,” harapnya sambil bersandar di balik pohon besar.


"Dimana perempuan Iblis itu!? Aku yakin sekali… tadi dia berlari ke arah sini!” ujar salah satu dari mereka.


“Cepat cari dia! mata merahnya itu pasti tak cukup baik saat melihat apalagi dalam gelap!" titah Santoso, pria berbadan tinggi besar itu sambil berkacak pinggang. 


"Huft.. huft.. kami sudah kelelahan, Kang! Lebih baik istirahat dulu," celetuk yang lain.


"Ojo membantah! Cepat cari, kalian berpencar saja.” Santoso menyahut geram.


“Biarkan kami istirahat sebentar, Kang.”


“Ndak usah merengek! apa kalian mau, apa yang diceritakan Eyang terulang lagi!? Kata Eyang … wajah Mawar begitu mirip dengan makhluk itu! Bisa jadi, dia sebenarnya bukan manusia!" Seru Santoso lagi. 


“Benar juga, Kang. Meski wajahnya ayu, tapi kulitnya seputih mayat. Bola matanya juga aneh, merah pekat seperti bukan milik manusia.”


Para lelaki itu menyebar, mencari kesana dan kemari dalam gelap, hanya berbekalkan obor di tangan masing-masing. Mawar yang mendengar suara-suara itu lantas merangkak ke balik semak belukar.


Gadis ayu bermata merah menyala itu merangkak ke balik semak. Satu tangannya membekap mulutnya sendiri. Degup jantungnya mengg!la hingga dia sendiri mampu mendengarnya dengan jelas.


‘Gusti, selamatkan aku,’ batin Mawar.


Warga desa LEDOKOMBO seringkali menyebut Mawar dengan sebutan, "Anak !bl!s". 


**Ssssst ... Ssssst ...** Suara desisan terdengar jelas dalam rungunya. Mata Mawar membelalak kala merasakan sesuatu meliuk melingkari betisnya. Dia menajamkan penglihatannya dalam remang.


"Akhh!" pekik Mawar tertahan.


Dia memekik tanpa sengaja. Tangannya meraih kepala ular yang sudah bersiap mematuknya, dia menarik lantas melemparkannya menjauh. Pekikan tertahan Mawar sampai pada telinga mereka. 


Para lelaki yang mencarinya itu lantas menghentikan langkah. Mereka menyeringai jahat lalu berbalik mendekati semak yang barusan luput dari pengawasan. Mawar berusaha menetralkan degup jantungnya yang menggila, bagai genderang perang. Hening.


"Syukurlah, sepertinya mereka sudah pergi," gumamnya. 


Baru saja dia merasa aman, sebuah tangan terjulur membekap mulutnya.


"Uhmmm! Uhmmm!" Mawar meronta-ronta saat t*buh rampingnya diseret keluar dari balik semak-semak. 


"Krakk!"


"Aaaawwww! perempuan s3t4n!! beraninya menggigitku!" Umpat lelaki yang barusan membekap mulutnya. 


Mawar terlepas dari bekapan, dia kembali berlari dengan kaki t3l@njang. Jalanan begitu gelap nan becek. Akar-akar yang menjulur keluar dari tanah sama sekali tak mendukung pelariannya. 


Jlebb "Aaaakhhh! Bruagh!"


Sebuah pecahan beling menembus telapak kaki Mawar. Dia jatuh tersungkur ke tanah. Tub*hnya gemetar menahan sakit di kakinya. 


"Ssssshhh.. Gusti Allah, ini sakit sekali," lirihnya parau.


Rasa sakit menjalar dengan cepat dari telapak kakinya. Mawar duduk, meraba telapak kakinya dengan tangan yang gemetaran. Napasnya tersenggal antara lelah dan sakit.


“Ugh, ini harus cepat kucabut,” desisnya.


Bibir bawahnya dia gigit kuat demi meredam suaranya. Dia lalu menyentak kasar pecahan beling yang berhasil menembus kakinya. D4r@h menetes semakin deras dari luk@nya yang meng@nga.


"Uuuhhmpppp!!! Hiks hiks hiks!" Teriakannya tertahan namun air matanya lolos tanpa bisa dihalau. 


“Sssttt… lara Gusti, Lara… (Sakit Ya Tuhan, Sakit…)” erang Mawar. 


"Ketemu!" seorang lelaki tiba-tiba muncul di belakang Mawar.


Mawar menggerakkan lehernya yang terasa kaku, melihat siapa yang bicara. Dia kembali gemetaran dan beringsut mundur. Namun sialnya, tangan itu segera menjambak rambut panjangnya.


“Ndak, tolong biarkan aku pergi. Jangan ganggu, tolong,” mohon Mawar dengan bibir bergetar dan air mata yang semakin tumpah. 


"Kita beruntung, para sesepuh menyerahkan tugas ini pada kita! Jadi kita bisa bebas mau lakukan apa saja, iya toh?" seru Pramono.


"Langsung kita hab!s! sekarang, atau …," Johan menggantung kalimatnya sambil menyeringai.


Para lelaki itu saling pandang dengan ser!ng@i yang meng3rikan. Kemudian, tangan-tangan kekar itu mulai menyeret Mawar dengan kasar. Mereka membawanya paksa ke balik semak lantas mulai mengg4g@h!nya secara bergantian. 


"Lepas! B!4d4b!! Cuih!!" Mawar meronta sekuat tenaga. "B*jing@n koe! S3t@n!!" umpat Mawar lagi.


"Plakkkk! Menengo (diamlah) Anak S3t@n!" 


Sebuah tamparan yang begitu keras melayang di pipi mulus Mawar. Saking kerasnya hingga membuat pandangan matanya berkunang-kunang. Telinganya pun ikut berdenging kuat. 


Amarah Mawar kian membuncah. Dia tak dapat lagi menahan dirinya untuk melayangkan kalimat k*tuk@n. Dengan seluruh sisa tenaganya, dia berteriak nyaring sembari menatap langit.


“Seda (m@t!)!” seru Mawar melengking disela t*buhny@ yang sedang dih3nt@k-h3nt@k.


Takkk! "Aarghhh!" 


Seekor ular berbisa mematuk lelaki yang sedang bergerak liar di atas tvbvh Mawar itu. Suara teriakan Pramono terdengar nyaring. Lelaki itu langsung bangkit, mengurai penyatuan mereka dan mengerang memegangi lukanya.


"Ulo Weling! Ah, Kang! sampean dipatuk Ulo Weling!" teriak Johan.


Mereka semua sibuk mengurus Pramono yang baru saja dipatuk ular berbisa. Melihat ada kesempatan, Mawar segera meraih pakaiannya lantas mengenakannya dengan cepat. Tvbvh yang lelah dan remuk dia paksakan melangkah.


Jalannya pelan tertatih-tatih. Bagian inti t*bvhnya terkoyak habis. Hilang bersamaan dengan harga dirinya yang lebur tanpa sisa.


"Robek bajunya, lalu ikat dengan kencang di sekitar lukanya dengan itu. Cepat sebelum bisanya menyebar, kalau terlambat Pram bisa …." Ujar Santoso.


Pramono menggelinjang. "Kakiku panas! Hah.. hahh.. hahh.. aku ndak bisa bernafas, Kang! Hkkkhh …."


Lelaki tadi mengejang hebat. Matanya terbelalak seiring dengan nafasnya yang satu-satu. Kepanikan membuat mereka terlambat mengambil tindakan.


"Ini pasti gara-gara sumpah si perempuan !bl!s itu!" umpatan dari mereka kembali terdengar.


"Dimana dia?" tanya Johan di sela kepanikan. 


"Lha, bukannya tadi di …,” sahut Diki.


"Ayo cari dia, dia sebab utama atas apa yang menimpa Pramono." Santoso memberikan titah.


Para lelaki itu berpencar, meninggalkan Pramono sendirian dalam keadaan s3k@r4t. Sementara itu, Mawar tampak menyeret paksa langkahnya untuk menjauh. Dia masih ingin tetap hidup. Meski harga diri dan k3h0rm@t@nnya sudah tanggal tak bersisa, setidaknya ny@wanya bisa selamat. 


"Hiks hiks hikh … aku ndak mau m@t! sekarang,” lirih Mawar sambil menahan nyeri yang merajai t*bvhnya. D@r4h mengalir, merembes di sela-sela rok selututnya. 


Drap Drap Drap

Dari kejauhan sana, terdengar suara derap langkah mendekat. Mawar menoleh ke belakang, dia gemetaran hebat. Semakin keras usahanya menyeret langkahnya yang tertatih demi menyelamatkan diri. 


Sreeeeeet!!! "Aaakhhhh!" 


Mawar meronta, sementara seorang lelaki menarik rambutnya tanpa ampun. Diseretnya tubuh Mawar ke arah tebing yang tak jauh di depan sana. Saat eks3kusi telah tiba.


“Waktunya koe m@t!, Anak !bl!s!” ujar lelaki itu dengan sorot mata penuh keb3ncian.


****


Sementara itu, di desa sebelah...


"Duh Gusti, aku ketiduran! Langit sudah gelap, jam berapa ini sekarang!?" seru seorang pria paruh baya sambil menepuk keningnya. 


“Kudu cepet balik,” gumamnya.


Dia menatap langit yang sudah menggelap pekat. Suasana sekitar juga sudah sepi. Hanya suara jangkrik yang sesekali terdengar.


“Tunggu Si Mbah yo, Nduk. Mbahe wangsul (pulang).” 


Dia segera meraih pincuk daun jati berisi makanan yang Tuan Rumah berikan padanya. Mbah Karso kemudian menyalakan obor yang dia bawa. Setelahnya dia gegas melangkah pergi menembus kebun mahoni yang terbentang di depan sana.


"Alhamdulillah … Juragan Sutris bawakan makanan bungkus. Mawar pasti suka, ini makanan mewah yang bahkan belum tentu bisa aku belikan meski setahun sekali. Aku jadi ndak sabar untuk cepat sampai rumah,” ujarnya.


Dia mempercepat langkahnya, lalu berbelok di belokan depan sana. Mbah Karso mengambil jalan pintas melewati perkebunan kopi di bawah tebing. Malam begitu dingin mencekam, diiringi desau angin yang membuat dedaunan bergemerisik. 


"Aaaarkhhhh!!! Tolong!" 


Suara teriakan terdengar pilu menusuk gendang telinga Mbah Karso. Mbah Karso sontak menghentikan langkahnya. Dia memutar badan mencari sumber suara.


"Duh Gusti, suara apa barusan? apa suara memedi (demit)?" Gumamnya sambil memicingkan mata memindai sekitar.


"Halah, wis pura-pura ndak dengar saja!" sambungnya lalu melanjutkan langkah. Namun lagi-lagi, suara meminta tolong kembali terdengar.


"Aaaarkhhhh, tolong!"


Mbah Karso menghentikan langkah. Dia yang berada di dekat tebing  mendongak. Dia menatap ke arah sumber suara berasal. 


“Kenapa suaranya seperti suara… Mawar?” ujarnya sambil menajamkan pendengarannya. Tiba-tiba ….


Brughhh!!! Seseorang terjatuh tepat di depan mata Mbah Karso. T*buhnya mendarat di atas bekas pohon tumbang berujung rvncing. Mbah Karso diam mematung, t*buh rentanya gemetaran hebat, degup jantungnya m3ngg!la.


Dia mendekat, menyoroti wajah ayu yang terpercik d4r4h itu dengan seksama. Mendadak mata tua itu memanas. Dia menggeleng tak percaya. Bungkusan daun jati berisi nasi, telur dan ayam balado di tangannya itu jatuh terserak.


“Ndak, ndak mungkin .…” 


"Nduk ...." gumamnya dengan suara bergetar.


"Ndukkkkk!!! Mawar!" Mbah Karso berteriak dengan suara parau.
















Tersedia versi buku cetak dan bisa dibaca di aplikasi baca online seperti Kbm dan Goodnovel


FB Anditha Tritania

Kbm Filanditha Ltf


Komentar

Tampilkan