
KAPAL KERTAS KE WONOSARI
Kuketuk pintu rumahnya. Pada ketukan kedua pintunya terbuka. Dia menyambutku dengan khas. Tersenyum kemudian bertanya.
“Ruang tamu atau di beranda ?“ pandangnya ke arahku.
“Dimanapun asalkan…. “
“Apa Wis ?“
”Kau yang akan menemani.“
Kami tersenyum, tahu kalau ini hanyalah basa-basi.
Ia masuk lagi kerumah. Sebentar kemudian kembali dengan dua gelas air putih ke beranda. Kuambil satu gelas untuk menghilangkan haus. Sepuluh kilometer naik motor rasanya melelahkan juga.
“Jam berapa dari rumah ?“ dia bertanya sambil kemudian duduk di kursi.
Udara di luar sejuk sekali pagi ini.
“Jam delapan tepat dan seperti biasa sepuluh menit naik motor kesini. Papa sama mama di rumah ?”
“Nggak. Lagi di rumah Bude. Kok nggak capek ya, arisan terus tiap minggu.”
“ ……Kalau sudah dewasa paling kita juga seperti mereka.”
“ Nggak kok. Aku mau sering di rumah saja. Menyapu rumah, menata kebun……”
Kata-katanya kemudian membuatku menatap ke depan. Rinata suka merawat tanaman. Beranda dan pekarangan penuh dengan tanaman-tanaman yang ditata rapi. Beberapa di antaranya masih terlihat basah setelah disiram. Disalah satu sisi tamannya, dua Anggrek bulan sedang mekar. Tempat yang paling kusukai bila ke rumahnya.
Kupandang dia kemudian kukatakan.
“Lihat itu Rien……” aku menunjuk ke depan. Pada jejeran tanaman bunga di dekat tangga.
“Tanaman itu……”
“Bukan. Aku tidak melihat ada jejeran tanaman di situ Rie……” kugantung kata-kataku.
“Trus itu apa ……” ia bertanya
“Jejeran dan jumlah impian di dada kita, sayang ……”
Ia tersenyum. Kemudian aku ngobrol dengannya. Tentang teman-teman sekelas. Tama yang jadian sama Risma. Ita yang naksir sama anak dua empat. Sani yang tetap saja pedekate sama Tama walaupun dia sudah menjadi milik Risma. Tugas di kelas yang makin menumpuk. Atau tentang guru-guru yang membosankan. Semua cerita terasa menarik denganya.
Kemudian apabila sudah bosan, Ia akan cukup memandangiku saja. Atau aku yang memandanginya lebih dulu.
Dan ketika lelah bercerita, aku akan pulang. Membawa tanaman bunga yang jumlahnya selalu bertambah dalam hati.
Satu persatu, ingatan tentangnya terus muncul dalam benakku. Persis gulungan film yang di putar kembali. Gulungan film panjang yang berisi cerita bersama selama tiga tahun. Serta ketidaksiapan untuk menerima kenyataan, bahwa mulai saat ini semua bakal menjadi tak lebih dari gulungan film.
Tidak. Rinata ini tidak perlu terjadi. Tak kusangka ia akan memintaku untuk memutuskan hubungan dengannya yang telah berjalan tiga tahun. Hanya gara-gara aku akan berangkat ke kuliah di Jakarta.
“Kamu tidak bercanda kan Rien………” kubuang daun palem yang sebelumnya kujadikan mainan ditanganku
“……Kau akan pergi jauh ke Jakarta.”
“Itu bukan alasan yang kuat untuk berpisah ……“ sanggahku.
“Cukup kuat…Wis, Wonosari Jakarta jauh sekali …..“ dua butiran bening bergulir di matanya.
Memang, aku merencanakan kuliah di sana setelah SMA. Rinata tetap di sini, ia berencana kuliah di salah satu perguruan tinggi di kota kami. Aku tidak paham mengapa ia meminta ini.
“Kucoba membayangkan nasib hubungan kita. Kita akan pacaran jarak jauh selama empat tahun. Aku tidak akan mampu……” ia menambahkan.
“Aku akan sering telepon. Kirim Imel tiap minggu. Menceritakan tentang hari-hari di sana. Aku berjanji.”
“Aku tidak sanggup seperti itu…….”
Aku tidak paham. Untuk pertama kalinya sekaligus terakhir. Suasana taman kelas sepi. Tinggal kami berdua di sana.
“ Bagaimana dengan tiga tahun hubungan kita. Aku pikir itu alasan yang cukup kuat untuk kita pertahankan……” kupandangi wajahnya.
“Kita bisa mengenangnya sebagai masa SMA yang indah.”
“hanya itu?”
“Kamu akan kuat kan ……”
Tidak. Tidak akan pernah Rien. Sementara butiran bening di matanya makin banyak.
“kenapa tidak memberiku pilihan. Jika ada, aku akan memilih tetap di sini saja.” Kupegang tangannya
“demi masa depanmu dan atas nama permintaanku, berangkatlah….” Kelopak matanya semakin basah oleh butiran-butiran bening yang terus mengalir.
Semakin banyak. Hingga aku tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Sore ini suasana terasa murung bagiku. Taman kelas yang pernah merekam hampir semua pembicaraan kami sejak tiga tahun lalu. Termasuk dulu, ketika kunyatakan cintaku padanya. Di sini pula akhirnya kuterima permintaannya berpisah.
Saat kami pulang, Jauh di barat sana matahari mulai merendah. Merubah warna langit menjadi merah jingga. Membawa senja dalam hatiku.
Seminggu kemudian kubaca pengumuman SPMB dan aku dinyatakan di terima. Aku berangkat ke Jakarta.
Pukul setengah delapan malam Senja Utama yang kutumpangi meninggalkan stasiun Tugu. Roda besinya memutar kembali gulungan film panjangku bersama Rinata.
Kukenang kembali saat aku mengenalnya pertama kali. Saat itu aku dan Rinata masih menjadi siswa baru. Melihat taman lama yang tidak terawat. Rinata mengajak teman-temannya membuat taman kelas baru.
Aku terkesan. Kukumpulkan segudang kekuatan untuk memperkenalkan diri.
“……namaku Wisira, aku bantu ya…?” Kuulurkan tanganku
Tangan halusnya menyambut.
“Rinata. Ya, Baguslah kalau ada yang membantu ……”
Jadilah aku asistennya. Mencarikan peralatan, mengantarkan kemana-mana membeli tanaman atau mengambil tanaman dari rumahnya.
“Wis Kamu suka Tanaman……?” sambil menanam sebatang palem di sudut taman.
“….Tanaman adalah satu dari beberapa yang kusukai ketika naik Gunung.” kataku padanya.
Kuantarkan padanya satu ember air. Ia sirami beberapa tanaman di situ. Kemudian masih ada bebarapa tanaman kami tanam. Di sela-sela Ceritanya tentang tanaman dan ceritaku tentang gunung.
Setelah itu akhirnya kami dekat. Aku dan dia paling rajin memelihara taman kelas. Atau hanya sekedar duduk berdua di sana bila istirahat atau pulang sekolah.
Hingga satu siang sepulang sekolah, ketika cerita tentang tanaman telah lama berganti dengan cerita masa lalu kami masing-masing, kami sepakat untuk jadian. Di di taman kelas itu.
……..dan sebuah taman terbangun lagi. dalam hati sayang…….
Setelah itu, kujalani hari-hari yang indah bersama rinata. Seminggu sekali aku main ke rumahnya. Bila pulang dari naik gunung, kubawakan Rinata tanaman baru untuk menambah koleksi tanaman di rumahnya.
Teman-teman sekelas memperoleh manfaat dari hubungan kami. Sejak kami jalan bersama, taman kelas kami menjadi lebih asri. Ya kami berdua memang jadi lebih sering merawat tanaman di sana.
Ah, andai saja mereka juga tahu, taman di hati kami, jauh lebih indah dan tak kalah sering kurawat dan kupelihara.
Rinata sebenarnya tidak termasuk gadis yang cantik. Wajahnya biasa saja. Tidak berbanding dengan Shinta, gadis tercantik di kelas kami. Di pelajaranpun ia kalah jauh dariku. Ia juga tidak suka organisasi, hobiku. Ia biasa saja.
Tapi aku sangat menyukainya. Sebuah kelembutan, yang tercermin takkala jari halusnya menyentuh tanaman, menjadi alasanku paling kuat jatuh cinta padanya. Selebihnya karena ia adalah seorang Rinata. Tidak ada orang lain yang menyamainya.
Dia menjadi tempatmenyandarkan lelahku. Jika aktivistas organisasi sekolah dan belajar menguras energiku. Ia dan Taman di rumahnya adalah tempat beristirahat terbaik. Selama Tiga tahun. Smapai kemarin . Sore kelabu di taman kelas kami.
Di Jakarta, kuncoba menjalani lembaran baruku di kampus. Kuliahku berjalan cukup lancar. Tiga koma selalu kudapatkan. Bahkan, komanya selalu di atas angka lima. Tak sulit bagiku menyesuaikan diri. Kuisi waktu senggangku dengan aktif di organisasi.
Empat bulan sekali aku pulang dan dua kali seminggu kutelepon Rinata dari Jakarta. Dia kabarkan bahwa di sana ia mulai dekat dengan Fendi, teman kampusnya. Dan ia mendorongku mencari pengganti di sini.
Aku memang mengenal banyak orang di sini. Ada Putri, model yang sedang naik daun. Ina yang suka naik gunung. Frisa, temanku di majalah kampus yang pandai bikin puisi.
Namun, seiring perjalanan waktu, kusadari ternyata mereka hanya mengisi sisa ruang an di hatiku. Tidak menggantikan tempat Rinata. Kusadari pula, ruang yang telah dihuninya dulu ternyata paling besar dan paling indah. Dua tahun di sini ternyata hanya mengokohkan perasaan kanngeku kepadanya.
Sore itu di kampus, aku duduk di plasa. Kumpulan bangku dari semen di bawah pohon di salah satu untuk sudut kampus. Inilah tempat yang paling aku sukai. Di sini ini kuhabiskan sebagian besar waktuku di kampus bersama teman-temanku.
Kukenangkan pertemuan terakhirku dengan rinata. Dua minggu yang lalu saaat aku pulang ke Wonosari.
“Aku tidak bisa melupakanmu. Sama sekali tidak bisa……”
“aku tahu Wis. Tapi sudah ada Fendi disampingku.…….”
aku akan melukai cowok lagi kalau memutusnya.” Tambahnya.
Kuakhiri pemicaraanku sebelum air matanya keluar.
Kemudian kupandangi mahasiswa yang sedang berlalu lalang. Beginilah suasana kampus setiap hari. Penuh dengan aktivitas. Tidak seperti dalam hatiku. Kesepian sejak dua tahun di sini.
“Hei, melamun ya ….” Tiba-tiba Kemala sudah berada di dekatku. Aku tidak tahu dari mana ia datang.
Dia duduk di sampingku setelah sebelumnya membersihkan daun-daun kering di bangku kami.
“Kangen lagi…?”
“Ya, dia tetap yang terindahku ….”
Ia teman dekatku di sini. Paling dekat. Selain karena sekretarisku di majalah kampus, ia teman berbagi cerita yang baik. Ia juga mengajariku hobi baru yang asyik. Seni melipat kertas dari Jepang. Aku suka sekali. Beberapa karyanya yang ia berikan, kupajang di kamarku.
“Ari mau sampai kapan seperti ini….?
“Aku tidak tahu …”
“Bagaimana dengan Frisa. Di majalah kampus kalian teamwork paling bagus.”
“Memang. Tapi butuh lebih dari itu untuk berpacaran.”
“Atau Ina. Kalian sering naik gunung bareng. Menurutku kalian serasi.”
“Kami disatukan oleh gunung bukan cinta.”
“Kan tidak boleh kaku seperti itu. Nanti kalau sudah jalan, cinta itu akhirnya akan tumbuh dengan sendirinya….”
Lebih dari mendegarkan, ia juga tak berhenti mendorongku untuk berubah. Dari cara bicaranya yang santun dan lembut, menurutku ia lebih pantas jadi orang solo daripada orang Jakarta. Ia asli jakarta. Lahir dan dibesarkan di sini.
“Besok Wisira jadi naik gunung?” Ia menatapku
“Ya …”
“Dengan siapa , Frisa lagi ?”
“Tidak, Frisa lagi ada kegiatan kampus”
“ Trus Wisira naik gunung sendiri…… ?”
Dia tidak pernah menggunakan kata kamu kepadaku.
“Ya…”
“Ayolah…Wisira tidak perlu melakukan ini, kan ?”
Aku diam dan kutatap wajahnya. Dia tahu berbuat demikian, diam dan tidak menjawab, berarti aku akan tetap berkukuh melakukan apa yang kurencanakan. Ketika kampus mulai gelap, kemala mengantarku pulang ketempat kost dengan mobilnya.
Sesampainya di kamar kunyalakan lampu. Kuambil beberapa lembar kertas. Kemudian kulipat membentuk sebuah kapal terbang. Kutuliskan namaku dan nama Rinata di dua sisi sayapnya. Dan juga sebuah pesan. Rinata Aku kangen kamu
Kuterbangkan dan kemudian menyentuh lantai sia-sia.
Di meja belajar, kubuka buku harianku. Kutulis kangenku pada Rinata. kemudian, lelah mengantarkanku tidur.
Keesokan harinya aku berangkat ke malang. Kemudian naik angkot ke Ranupane. Desa terakhir sekaligus basecamp pendakian ke Mahameru.
Setelah enam jam berjalan kaki dari Ranupane, menjelang sore akhirnya aku sampai di Ranugumbala. Danaunya luas dan asri. Kubasuh wajahku dengan airnya yang sejuk. Kuputuskan bermalam disana. Dan dalam selimut dingin dan damai aku bermalam di tepiannya.
Esoknya dari Ranupane aku terus ke Arcapada. Melewati ro-oro Ombo, Jambangan, Waturejeng, Kalimati, dan Kelik, tempat-tempat yang aku amat mengenalnya. seperti kemarin ketika aku sampai di Ranugumbala, akhirnya menjelang sore aku sampai di Arcapada.
Kubangun tenda dan kusiapkan diri untuk melihat matahari terbenam di dataran awan tepat di bawah kakiku. Sangat Indah. Setelah tiga malam menginap di sana dan kunikmati suasana negeri diatas awan, aku mampir sebentar ke puncak Mahameru kemudian pulang kembali ke Jakarta.
Dua hari kemudain Kemala sudah menungguku di plasa kampus
“Butuh catatan kuliah minggu ini kan… ?”
Aku tersenyum. Ia memang menyiapkannya untukku. Kemala selalu melakukan itu bila aku tidak masuk kuliah. Karen organisasi atau karena naik gunung.
“Wisira ini pendakian yang keberapa….?” sambil memandangku.
“Angka tidak pernah punya makna kemala……”
“O, begitu ya…… “
“Lagipula aku juga sudah lupa yang keberapa……”aku tersenyum kecil ke arahnya.
Kemudian aku bercerita mengenai perjalananku. Sejak dari Jakarta ke Semeru, apa yang aku lakukan di sana sampai perjalanan pulangku ke Jakarta. Dan dia denagan telaten mendengarkannya.
“kapan Wisira memutuskan, setidaknya untuk mencoba berubah…”
“Tidak tahu, Kemala……kapan ya……sepertinya aku serahkan saja pada ketidaktahuanku.”
Ia terdiam.
Kampus mulai sepi dan gelap. Kuajak kemala Pulang.
Dengan mobilnya ia mengantar sampai tempat kostku. Kutawarkan untuk mampir. Ia menolak karena harus segera pulang. Malam ini ada tugas yang harus dia kerjakan.
“Pulang dulu ya Wisira……”
“Iya…”
“ Wisira berhenti kita kangen padanya ya…..”
aku tersenyum. Sebentar kemudian moblinya menghilang di remang-remang gang depan tempat kostku.
Aku masuk dan Kubuka pintu kamarku. Kunyalakan lampu di sudut kamar kemudian duduk di pinggir tempat tidurku.
Kemala yang baik. Dua tahun sudah kamu menemaniku. Kapankah kau lelah untuk menerima cerita kangenku. sampai kapan pula kau akan terus mendorongku untuk melupakannya. Bagaimana jika aku nanti mengecewakanmu.
Ya, suatu akhirnya aku pasti akan mengecewakanmu. Karena akhirnya nanti kau akan tahu, ternyata aku tidak pernah bisa melupakannya. Takkan pernah. Bahkan makin kangen padanya.
Dari meja belajarku, kuambil satu lembar kertas. Kemudian kulipat membentuk sebuah kapal terbang. Kutuliskan namaku dan nama Rinata di dua sisi sayapnya. Kuterbangkan kemudian menyentuh lantai sia-sia.
Kemala,
Bagaimana membuat kamu tahu, Inilah yang kulakukan tiap malam sejak dua tahun lalu. Jika aku kangen padanya, kubuat sebuah kapal kertas dan kuterbangkan. Ku harap salah satunya akan akan mampu terbang jauh ke Wonosari.
Bila kapal kertas itu sampai ketangannya dan dia membaca tulisanku di situ, Rinata Aku kangen kamu, dia pasti akan berubah sikap dan akhirnya kembali padaku. Pasti, karena aku telah mengenalnya lama sekali.
Sampai malam ini semua kertas itu memang hanya terbang sebentar dan kemudian menyentuh lantai sia-sia. Tapi aku takkan lelah melakukannya. Sampai kapanpun aku akan tetap melakukannya. Menerbangkan kapal kertasku ke Wonosari.
bila aku kangen kepadanya. Dari sebuah kamar jika malam turun di Jakarta.Jakarta, 20 Agustus 2002